Kisah Jenaka Para Petinggi PRRI/Permesta
Para politisi dan perwira militer yang menjalani penahanan sebagai tahanan politik ada kalanya mengisi hari-hari selama penahanan dengan guyon dan lelucon.
Kala berjibaku menentang pemerintah pusat, tersua anekdot mengenai kelakuan pentolan Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia). Seperti dituturkan Abdullah Nazir, wartawan koran Masyumi, Abadi, kepada kawan masa kecilnya Ganis Harsono, perjuangan yang dilakoni PSI dan Masyumi menyiratkan ironi perjuangan yang aneh dan menggelikan.
“Kalau pemimpin-pemimpin Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara tekun sembahyang lima waktu sehari semalam, mohon doa kepada Tuhan agar membantu perjuangan mereka di tengah-tengah hutan sekitar Bukittinggi. Sementara itu, pemimpin-pemimpi PSI enak-enak bersantai di meja judi di Jenewa, Roma Monte carlo, dan Beirut,” kata Nazir sebagaimana dicatat Ganis dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno.
Kepentingan PSI dan Masyumi sejalan dengan para panglima daerah yang juga membangkang terhadap kebijakan pemerintah pusat. Mereka kemudian bersama-sama menyalakan pemberontakan PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi pada 1958. Di luar negeri, tokoh-tokoh PRRI-Permesta memproklamasikan Republik Persatuan Indonesia (RPI) untuk mengkoordinasi semua aksi pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Sjafruddin Prawiranegara ditunjuk menjadi presiden sekaligus perdana menteri dan menteri keuangan.
Baca juga: Beda Cara PSI dan Masjumi
Namun, pemberontakan yang disebut-sebut setengah hati itu tak berlangsung lama. Pasukan PRRI-Permesta menyerah kalah setelah ditumpas TNI yang dipimpin Jenderal Abdul Haris Nasution pada 1961. Rasa senasib sepenanggungan baru dialami para petinggi PRRI-Permesta ketika menjadi tahanan negara.
Letkol Ventje Sumual, eks Panglima Teritorium VII/Wirabuana-Indonesia Timur yang kemudian menjadi Panglima Permesta, menuturkan pengalamannya waktu dijebloskan ke rumah tahanan di Cipayung, Jawa Barat dalam Memoar Ventje H.N. Sumual. Di situ sudah masuk lebih dulu Zulkifli Lubis, Nun Pantouw (asisten intelijen Ventje Sumual), dan mereka yang menyerah di luar negeri seperti Tan Goan Po, Ir. Herling Laoh. Penghuni baru datang lagi silih berganti. Kolonel Ahmad Husein, Mayor Sahala Hutabarat, dan dedengkot PRRI lainnya dari Sumatra. Yang dari luar negeri ada Willy Pesik, Daan Mogot, Boy Junus, Anwar Muin, dan lain-lain.
Sementara itu, Mohammad Natsir, Duski Samad, Kolonel Maludin Simbolon, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, dan Mr. Assaat ditempatkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. “Mereka sempat dikumpulkan bersama-sama kami, lantas kemudian disebar ke berbagai tahanan militer di Jawa,” kata Ventje.
Baca juga: Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Kolonel Maludin Simbolon
Selama dalam tahanan, banyak kisah suka maupun duka. Mereka kebanyakan para politisi maupun perwira militer yang biasa membicarakan persoalan serius. Tapi, di sela-sela itu, tetap saja mereka manusia biasa yang punya sisi kocak dengan segala rupa gurauan. Misalnya waktu Sjarifuddin Prawiranegara mengobrol berdua dengan Dr. Soumokil. Nun Pantouw berceloteh ke sesama tahanan yang sedang duduk-duduk di tempat terpisah.
“Lihat...! Dua Presiden sedang berunding. Presiden RPI dan Presiden RMS (Republik Maluku Selatan)!” kata Nun Pantouw ditirukan Ventje. Semua langsung terbahak-bahak. Apalagi ketika melihat gaya dua tokoh yang ditunjuk Nun itu betul-betul persis seperti sedang merundingkan masalah gawat.
Baca juga: VOC di Balik Penangkapan Sjahrir cs.
Pada Agustus 1963, sebagian tahanan politik PRRI-Permesta dipindah ke Rumah Tahanan Militer (RTM) di Jl. Budi Utomo dalam pengawasan Kejaksaan Agung. Zulkifli Lubis bahkan dipisahkan dari kawanan lantaran harus menempati sel isolasi bawah tanah di Kejaksaan. Menyusul kemudian masuklah Sutan Sjahrir ke RTM Budi Utomo, pindahan dari rumah tahanan di Jl. Keagungan. Saat itu, kondisi kesehatan Sjahrir memang agak terganggu karena tekanan darah tinggi.
Ventje menuturkan, waktu Sjahrir terkena stroke, ia yang pertama kali melihatnya jatuh terduduk dalam kamar mandi. Sjahrir segera dipapah beramai-ramai. Para tahanan melakukan apa saja untuk menolongnya. Ada juga yang melapor ke petugas tahanan untuk diangkut ke rumahsakit. Sementara itu, Natsir dan Burhanuddin Harahap sibuk memijat tangan Sjahrir.
“Kami semua berkerumun di sekitarnya. Suasana tegang. Perasaan was-was. Tiba-tiba ada yang nyeletuk, “Lihat..! Masyumi sudah berkoalisi dengan PSI!’,” kenang Ventje.
Baca juga: Lelucon Para Kadet
Ventje lupa siapa yang berkomentar demikian. Tapi yang jelas, gurauan itu terasa amat lucu. Namun, tak semua candaan berunsur politik. Ada juga lelucon ringan-ringan mirip gurauan anak bocah. Apalagi setelah berbaur dengan tahanan politik lain macam Mochtar Lubis, pemimpin redaksi harian Indonesia Raya. Mochtar dipenjara karena tuduhan bersekongkol dengan Zulkifli Lubis atas kekacauan politik di Sumatra. Meski demikian, selama sepuluh tahun perkaranya tak pernah disidangkan atau diadili.
Sekali waktu Mochtar bercanda tentang nama panggilan masing-masing tahanan. Dia bilang yang paling jelek ialah Burhanuddin Harahap. Nama panggilannya: BH.
“Ganti saja,” kata Lubis, “BH kan kutang, perabotan wanita.”
Mendengar itu, Natsir langsung menambahkan, “ Sama dengan Nun Pantouw, sudah punya istri dan anak tapi masih saja dipanggil Nun, Biarawati!”
Baca juga: Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik
Maludin Simbolon tak mau kalah. Dengan nada meledek, ia menyahut, “Sama dengan Boyke Nainggolan, selamanya tetap anak kecil, boy.” Gelak tawa yang lainnya langsung mengikutinya. Mayor Boyke Nainggolan adalah anak buah Simbolon. Dialah yang memimpin Operasi Sabang Merauke yang menguasai kota Medan sebagai operasi militer pertama yang mendukung PRRI.
Simbolon sendiri kerap bikin ulah dengan akal-akalan bikin kompor buatan dalam tahanan. Kreasi itu sebagai wujud protes atas menu makanan tahanan yang tak enak. Jadi, kompor buatannya itu berguna untuk memanaskan makanan kiriman keluarga yang membesuk. Biasanya dibeli dari restoran. Perkara kompor Simbolon itu sempat ketahuan dan jadi percekcokan dengan petugas. Tapi, Simbolon memang panjang akalnya.
Baca juga: Di Balik Upaya Penangkapan Kolonel Simbolon
“Ia meminta para pembezuk/keluarga-keluarga jika datang membawa lilin setiap kali. Lilin-lilin tersebut dilelehkan dalam wadah, ditaruh beberapa sumbu, jadilah kompor. Suatu hari ketahuan petugas dan dirampas! Tapi Simbolon buat lagi yang baru,” tutur Ventje.
Masa penahanan berakhir ketika rezim Sukarno lengser. Penguasa Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto membebaskan Ventje Sumual dan kawan-kawan pada 1966. Ventje sendiri setelah bebas meniti kariernya sebagai pengusaha. Ia bersama Simbolon dan Ahmad Husein tetap menjadi kompatriot dalam PT Konsultasi Pembangunan, perusahaan yang mereka bentuk bersama.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar