Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Kolonel Maludin Simbolon
Pesta malam Natalan mendadak jadi operasi penangkapan. Sekelompok perwira berkomplot meringkus Kolonel Maludin Simbolon.
MEDAN 62 tahun yang lalu. Malam itu, Kolonel Maludin Simbolon menggelar hajatan di kediamannya. Para perwira penting Teritorium I/Bukit Barisan beramai-ramai menyambangi rumah sang panglima yang terletak di Jalan Walikota No. 2 tersebut. Simbolon mengundang mereka semua dalam jamuan makan malam. Aneka makanan lezat disajikan, mulai dari yang umum sampai penganan khas Batak.
“Bagi saya makanan enak terasa hambar, hati tidak tenang. Takut kalau gerakan bocor dan saya ditawan disitu juga,” kata Soegih Arto dalam memoarnya Sanul Daca: Pengalaman Pribadi Letjen (Pur) Soegih Arto.
Baca juga: Mengapa orang Batak suka daging anjing?
Soegih Arto ketika itu masih letnan kolonel yang menjabat komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan. Pada jamuan hari natal yang seharusnya bersukacita itu, Soegih Arto berencana untuk menangkap Simbolon. Pikirannya begitu kacau karena harus meringkus panglimanya sendiri.
“Sampai-sampai makan pun kesasar ke tempat khusus yang disediakan untuk perwira Batak, karena disitu disajikan sayur (dengan daging) anjing!” kenang Soegih Arto.
Panglima Pembangkang
Simbolon adalah perwira dari Batak Toba beragama Kristen. Selepas pengakuan kedaulatan, dia menjadi panglima Teritorium I/Bukit Barisan (BB) pertama dengan wilayah komando Sumatera Utara. Pada pertengahan 1950, kepemimpinan Simbolon mengalami gejolak akibat kesenjangan antara daerah dengan pusat. Namanya sempat mencuat tatkala melakukan praktik penyelundupan di Teluk Nibung guna membiaya pembangunan asrama militer dan kesejahteraan para prajuritnya.
Ketidakmerataan pembangunan yang dialami wilayah luar Jawa menyebabkan beberapa panglima daerah mau tidak mau menuntut perbaikan. Pada 16 Desember 1956, Simbolon merumuskan ikrar bersama para perwira Bukit Barisan. Ikrar itu ditandatangani oleh 48 perwira yang menempati jabatan kunci. Inti dari ikrar itu menuntut adanya otonomi daerah yang lebih luas.
Simbolon semakin berani melancarkan kritiknya dengan mendeklarasikan berdirinya Dewan Gajah. Pada 22 Desember 1956, dia berbicara di depan corong RRI Medan dan mengumumkan pemutusan hubungan sementara dengan pusat. Melalui dewan yang dibentuknya, Simbolon mengambil alih pemerintahan di Teritorium I. Meski tidak mengakui pemerintahan Kabinet Ali II, Simbolon masih menyatakan setia kepada Presiden Sukarno. Dia juga menginginkan pemulihan dwitunggal, Sukarno-Hatta.
Alasan Simbolon membentuk Dewan Gajah beririsan dengan kekecewaan pribadi. Simbolon gagal terpilih sebagai KSAD. Saat proses penggodokan calon KSAD, Simbolon bersanding dengan Gatot Subroto dan Zulkifli Lubis. Namun pada akhirnya, pemerintah malah memilih Abdul Haris Nasution.
“Kelebihan Simbolon adalah bahwa dialah yang paling senior di antara ketiga orang itu. Dia seorang komandan lapangan yang baik sekali dengan pengalaman staf yang cukup lama dalam Komando seluruh Sumatera di masa perang kemerdekaan,” ungkap Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Baca juga: Boyke Nainggolan, tragedi opsir terbaik
Selain itu, menurut Sundhaussen, karier militer Simbolon menuju puncak paripurna terkendala sejumlah celah selayaknya kaum minoritas. Sebagai seorang Batak, Simbolon kurang begitu diterima oleh banyak perwira Jawa. Sebagai seorang Kristen, Simbolon kurang dapat diterima oleh perwira-perwira santri dan banyak politisi Islam dalam koalisi pemerintahan.
“Persoalan yang dihadapi Kolonel Maludin Simbolon bagi pribadinya adalah persoalan kehidupan ber-Pancasila dan ber-Bhineka Tunggal Ika,” tulis Robert Sitinjak dalam tesisnya di Universitas Indonesia “Keterlibatan Orang-orang Batak Toba dalam Pemberontakan PRRI di Sumatera Utara 1958-1961”.
Meski bertindak atas dasar koreksi, Simbolon tetap saja dianggap insubordinasi. Tindakannya memisahkan diri dari pemerintah telah melanggar profesionalitas sebagai seorang tentara. Manuver ini membawa karier militernya berada di ujung tanduk.
Perintah Jakarta
Apa lacur, pemerintah kadung memberi cap pembangkang kepada Simbolon. Kedudukan Simbolon sebagai panglima diberhentikan secara tidak hormat. Dari Jakarta, Presiden Sukarno mengeluarkan perintah harian. Dia menyerukan bahwa tindakan Simbolon telah menyimpang dari Amanat Panglima Tertinggi, Sumpah Prajurit, dan Sapta Marga.
Pemerintah menunjuk Letkol Djamin Gintings yang semula Kepala Staf Bukit Barisan sebagai alternatif pertama pengganti Simbolon. Sementara Abdul Wahab Makmur, komandan Resimen II yang berkedudukan di Pematang Siantar ditunjuk sebagai alternatif kedua. Namun secara sepihak, Abdul Wahab Makmur mengangkat dirinya sebagai panglima dan menggerakkan pasukannya untuk menangkap Simbolon.
Baca juga: Ketika Djamin Gintings rindu Tanah Air
Di Medan, sekelompok perwira juga bermufakat untuk menindaklanjuti perintah Jakarta. Komandan KMKB Letkol Soegih Arto bersama kepala stafnya Mayor Ulung Sitepu menyusun rencana menangkap Simbolon dini hari seusai acara jamuan makan pada malam natalan di kediaman Simbolon. Kelompok ini mengerahkan sekompi prajurit-prajurit pendatang dari kavaleri, artileri, dan zeni.
“Batalion yang akan ikut serta adalah Batalion Maliki dari Binjai dan Batalion dari Brastagi pimpinan Kapten Slamet Ginting dan Kompi pengawal KMKB di bawah pimpinan Letnan Dua Sempa Sitepu,” ujar Soegih Arto dalam memoarnya.
Ironisnya, perwira-perwira yang hendak meringkus Simbolon adalah mereka yang ikut menandatangani ikrar bersama. Simbolon beruntung. Saat berlangsung acara makan, telepon berdering. Mayor C. Rajagukguk, kepala staf Resimen II yang loyal pada Simbolon, mengabarkan jika pasukan Resimen II sedang dalam perjalanan menuju Medan. Mengetahui ada yang tidak beres, pesta jamuan diakhiri begitu saja. Para perwira diminta siaga kembali ke pos nya masing-masing. Simbolon sendiri mempersiapkan diri meninggalkan rumah.
Pagi buta, Simbolon membangunkan anak dan istrinya; memberitahu apa yang terjadi. Sebelum melarikan diri, mereka berdoa. Markas Batalion 132 pimpinan Kapten Sinta Pohan di Kampung Durian menjadi tujuan pelarian.
“Kolonel Maludin Simbolon lalu menyuruh padamkan semua lampu di rumahnya dan berangkat dengan membawa regu pengawal kediamannya menuju Markas Batalion 132 pada pukul 4 pagi tanggal 27 Desember 1956,” tulis Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa
Drama penangkapan Panglima Simbolon berakhir dengan kegagalan. Dari Kampung Durian, Simbolon meneruskan pelariannya ke Tapanuli dan membentuk basis perjuangan di sana. Simbolon bersama para panglima pembangkang lainnya kemudian bergabung dalam gerakan pemberontakan Pemerintahan Revolusiner Republik Indonesia (PRRI) dan Permesta yang kelak akan merepotkan pemerintah pusat.
Baca juga: Operasi bersama menggempur Sumatra
Tambahkan komentar
Belum ada komentar