- Hendi Jo
- 19 Apr 2020
- 3 menit membaca
AKHIR 1961. Rumor itu bertiup kencang di kalangan tentara. Adalah Organisasi Gerilya Hindia Belanda (NIGO) yang didesas-desuskan akan menumbangkan pemerintah. Bahkan kelompok bawah tanah yang disebut-sebut mendapat dukungan dari intelijen Belanda dan para perwira Amerika Serikat itu memiliki rencana untuk membunuh Presiden Sukarno pada 10 Desember 1962.
“Mr. Subarjo, bekas Menteri Luar Negeri meneruskan 'dokumen rahasia' yang berisi nama orang-orang NIGO tersebut,” ungkap A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid V: Kenangan Masa Orde Lama.
Persoalan NIGO itu kemudian ditindaklanjuti oleh Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) I. Sebagai penguasa wilayah (Jakarta), intel Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Kodam Jaya) kemudian dipersilakan untuk menyelidiki lebih dalam kasus tersebut. Ternyata hasilnya nihil. Laporan-laporan terkait aksi agen NIGO terbukti hanya isapan jempol semata.
“…Presiden sendiri dapat diinsyafkan oleh (Ahmad) Yani, (Ernst Julius) Magenda dan saya tentang 'alarm palsu' NIGO dan tentang keterlibatan perwira-perwira Amerika yang berkantor di Jalan Jawa, tidak jauh dari rumah Sutan Sjahrir,” ujar Nasution.
Namun klarifikasi Nasution cs itu ternyata tidak berpengaruh. Alih-alih menghilang, isu tersebut malah semakin bertiup kencang dan dihubung-hubungkan dengan sejumlah tokoh nasional selain Sjahrir. Nama Sultan Hamid Alkadrie, Anak Agung Gde Agung, Mohammad Roem, Yunan Nasution, Soebadio Sastosatomo dan Prawoto Mangkusasmito mulai disebut-sebut.
Diisukan para tokoh nasional itu bersekutu dengan agen-agen NIGO. Mereka membentuk jaringan rahasia bernama Vrijwillige Ondergrondse Corps (VOC) alias Korps Sukarelawan Bawah Tanah. Menurut laporan yang diterima oleh Kepala Badan Poesat Intelijen (BPI) Soebandrio, bertempat di Gianyar, Bali pada 18 Agustus 1961 VOC merencanakan tindakan subversi terhadap pemerintahan Presiden Sukarno.
Rencana subversi yang akan dilakukan itu berlangsung di sela-sela pelaksanaan upacara ngaben (pembakaran mayat) Raja Gianyar yang tak lain ayah dari Anak Agung.
“Sukarno segera menerima laporan itu dan memerintahkan diadakan penyelidikan,” ungkap Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia.
7 Januari 1962. Presiden Sukarno lolos dari upaya pembunuhan di Jalan Cendrawasih, Makassar. Delapan hari kemudian, Panglima Kodam XIV Hasanuddin Brigadir Jenderal M.Yusuf menangkap dua warga negara Belanda yang diduga terlibat dalam upaya pembunuhan itu. Mereka disebut-sebut sebagai jaringan VOC.
“Didesas-desuskan [juga] bahwa sesuatu menunjuk ke arah 'Bali connection',” ungkap Mrazek.
“Bali connection” merupakan istilah Soebandrio untuk kumpulan tokoh yang pada beberapa bulan sebelumnya berkumpul di Gianyar, Bali, kediaman Anak Agung Gde Agung.
Sukarno sendiri nampaknya percaya terhadap informasi dari BPI tersebut. Itu dikatakan sang presiden dalam otobiografinya, Bung Karno, Penjambung Lidah Rakjat Indonesia karya Cindy Adams.
“Aku dapat memahami bila ada yang tidak puas (kemudian) berusaha untuk membunuhku. Oleh karena itu, aku juga mengerti bahwa aku harus membalas dan berusaha mendapatkan mereka. Beberapa waktu yang lalu, Sjahrir merencanakan komplotan untuk menggulingkanku dan merenggut pemerintahan.”
Beberapa jam setelah adanya laporan dari Brigjen TNI M. Yusuf, Presiden Sukarno memanggil Nasution, Yani dan Soebandrio. Dia lantas mengulangi soal laporan-laporan tersebut dan memerintahkan Kepala Rumah Tangga Istana Mayjen TNI Suhardjo Hardjowardojo (yang disertai Jaksa Agung Muda Mayjen Moehono) menyampaikan laporan-laporan itu secara terperinci. Selanjutnya persoalan tersebut diserahkan kepada Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) Brigjen TNI Basuki Rachmad dan Jaksa Agung Muda Moehono.
“Presiden memutuskan untuk melakukan tindakan penangkapan,” ujar Nasution.
Karena Sukarno menginginkan sebuah tindakan segera dilaksanakan, maka Brigjen. Basuki Rachmad menyodorkan sejumlah surat penahanan blanko kepada Nasution untuk ditandatangani.
“Waktu itu belum ditentukan nama-namanya…Karena akan tergantung pada hasil penelitian yang malam itu langsung dikerjakan,” kenang Nasution.
Tanpa sepengetahuan lagi Nasution, surat penahanan blanko itu ternyata diisi oleh nama-nama yang sebelumnya dicurigai berhubungan dengan VOC dan “Bali connection” yakni Sjahrir cs.
Maka pada 16 Januari 1962, sekira pukul 04.00, bergeraklah beberapa tim petugas dari Corps Polisi Militer (CPM) menggeruduk rumah para tokoh nasional itu. Mereka semua diambil dari rumahnya masing-masing lengkap disertai surat penangkapan resmi.
“Sikap mereka tertib. Kemudian surat perintah itu saya lihat, itu tandatangan saya kenal…Tandatangan Jenderal Nasution,” ungkap Mohammad Roem dalam 70 Tahun Mochammad Roem.
Kecurigaan bahwa para tokoh nasional itu terhubung dengan VOC terungkap saat mereka dinterogasi di Kantor Peperti (sekarang kantor Departemen Pertahanan dan Keamanan). Hal itu sempah dikisahkan oleh Roem.
“Apakah bapak kenal dengan VOC?” tanya salah seorang interogator.
“Oh ya saya kenal! Itu dalam sejarah yang saya ketahui, banyak memainkan peranan di Indonesia. Verenigde Oost Indische Compagnie,” jawab Roem.
“Oh bukan, Pak! Maksud kami: VOC itu Vrijwillige Ondergrondse Corps,” sergah sang interogator.
“Oh, kalau itu saya tidak kenal,” ujar Roem.
Berita penangkapan Sjahrir cs. cepat merebak ke seantero Jakarta. Adalah Mohammad Hatta yang merasa prihatin dengan penangkapan itu. Sebagai bentuk pembelaan terhadap Sjahrir cs., Hatta, sempat meyakinkan sang presiden bahwa tindakannya itu keliru.
Lewat sepucuk surat dia mengatakan kepada Bung Karno bahwa meskipun Sjahrir dan kawan-kawannya yang ditangkap itu tidak segan melakukan oposisi yang keras dalam berpolitik (seperti zaman pergerakan), namun untuk mengikuti cara teror, Hatta menegaskan ketidakpercayaannya.
“Sjahrir dan lainnya itu secara prinsip menentang segala macam teror dalam politik karena bertentangan dengan sosialisme dan perikemanusiaan,” ujar Hatta seperti dikutip Rosihan Anwar dalam Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir.
Tapi nampaknya Bung Karno lebih mempercayai penjelasan Soebandrio dibandingkan Hatta.*













Komentar