Pada Agustus 1944, sebanyak 478 (sumber lain menyebut 900, bahkan 1000 lebih) romusha ditemukan kritis. Para pekerja paksa di masa pendudukan Jepang (1942-1945) itu secara bertahap menunjukkan gejala penyakit tetanus. Sekitar 365 orang di antaranya kemudian meninggal dunia. Peristiwa kelam itu terjadi di Klender, Jakatra, salah satu lokasi kamp romusha di ibukota.
Menurut sejarawan Jepang Aiko Kurasawa, para romusha itu umumnya berasal dari Pekalongan dan Semarang. Dalam hasil penelitiannya yang pernah dipublikasikan Majalah Tempo pada 2002, Aiko Kurasawa menyebut selama di kamp para pekerja menerima beberapa jenis vaksin imunisasi, termasuk pes dan campuran vaksin TCD (Typhus Cholera Dysentry). Suntikan vaksi inilah yang diketahui menjadi penyebab tewasnya para romusha tersebut.
Polisi Militer Jepang (Kenpetai) segera melakukan investigasi. Hasilnya, vaksin imunisasi yang dibuat oleh Institut Pasteur, Bandung, dan disiapkan oleh Lembaga Bilologi Molekuler (LBM) Eijkman itu mengandung kuman tetanus. Tuduhan langsung mengarah kepada para ilmuwan di sana. Seperti diketahui peristiwa itu mengakibatkan Achmad Mochtar –direktur pertama LBM Eijkman dari kalangan pribumi– dijatuhi hukuman mati.
Menurut Shigeru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants: Java Under the Japanese Occupation 1942-1945, Achmad Mochtar dan koleganya di Eijkman dipaksa mengakui tuduhan Kenpetai atas kematian para romusha tersebut. Pemerintah Jepang, kata Shigeru, melakukan sabotase untuk menyingkirkan orang-orang di LBM Eijkman karena dianggap anti-Jepang.
Baca juga: Martir Dunia Kedokteran
Pernyataan serupa juga datang dari J. Kevin Baird dan Sangkot Marzuki dalam War Crimes in Japan-Occupied Indonesia: A Case by Medicine. Berdasar riset yang dilakukan Baird, bukan Lembaga Eijkman yang harus bertanggung jawab, melainkan para dokter Jepang. Mereka terkbukti melakukan eksperimen untuk kebutuhan tentara dan penerbangan Jepang. Demi menutupi kesalahan saat ekperimen, Lembaga Eijkman dijadikan korban. Dan Achmad Mochtar menjadi kambing hitam demi menyelamatkan koleg-koleganya dari hukum pancung.
“Kisah tentang Prof. Achmad Mochtar merupakan drama kemanusiaan yang terjadi dalam kurun waktu yang amat bersejarah untuk Indonesia, dan terjalin dari berbagai peristiwa militer dan politik pada periode 1942-1945,” ujar Sangkot.
Tidak hanya di Klender, korban meninggal di kalangan romusha pasca pemberian vaksin juga terjadi di kamp romusha Kemayoran dan Jalan Kartini. Bahkan dari hasil pengamatan Aiko, peristiwa berdarah di Jakarta bukan yang pertama. Sebelumnya, sebanyak 128 (dari 177) meninggal akibat penyakit yang sama di Palembang. Lalu 97 romusha lain di Kalimantan, dan 17 orang di Surabaya juga meregang nyawa akibat vaksin berisi penyakit tetanus tersebut.
Banyak ahli kemudian mengaitkan peristiwa berdarah di Klender itu dengan eksperimen Unit 731 – kesatuan khusus yang selama PD II melakukan uji coba senjata biologis untuk kebutuhan perang– milik militer kekaisaran Jepang. Lantas sejauh mana keterkaitan keduanya?
Eks Anggota Unit 731
Pusat kegiatan Unit 731 nyatanya sangat jauh dari wilayah Indonesia. Berada di wilayah Harbin, timur laut Cina –cabang lain tersebar di beberapa daerah di Asia, khususnya dataran Cina. Namun wilayah operasi militer Jepang semasa PD II meliputi Asia-Pasifik yang begitu luas. Indonesia sendiri berada di dalam kuasanya sejak 1942. Sehingga sangat mungkin jika eksperimen militer kekaisaran memperluas jaringannya ke seluruh wilayah Asia.
Hal itu dibuktikan di dalam penelitian Yang Yan Jun dan Tam Yue Him dalam Unit 731: Laboratory of the Devil, Auschwitz of the East. Keduanya menyebut Unit 731 membangun cabang lain di wilayah Asia Tenggara yang begitu dekat dengan Indonesia, yakni Singapura. Cabang di Singapura dibangun pada 5 Mei 1942 (sumber lain menyebut 26 Maret 1942), dengan nama Unit 9420.
Dugaan keterlibatan Unit 731 dalam peristiwa Klender dan peristiwa lainnya juga diungkapkan oleh Aiko Kurasawa. Menurut profesor emeritus di Universitas Keio, Tokyo, Jepang itu seorang dokter kemiliteran bernama Shigeru Matsui diduga berperan besar. Shigeru tercatat sebagai ahli medis bergelar PhD dan pernah bekerja di Unit 731, tepatnya di Unit 9420 (Singapura).
Keyakinan Aiko terhadap dokter Jepang ini semakin besar ketika pada 1948 di Tokyo, Jepang, terjadi perampokan Bank Teigin yang menggemparkan. Pelaku yang juga diketahui bernama Shigeru Matsui mengaku sebagai seorang dokter dari kantor kesehatan kota. Ketika itu di Jepang tengah dilanda kekhawatiran akibat penyakit tifus. Shigeru lalu melakukan sterilisasi kepada para karyawan di bank tersebut. Ia menggunakan sejenis obat cair dan menyuruh semua karyawan meminumnya. Caranya menggunakan obat itu begitu baik dan meyakinkan. Dalam kasus itu, 12 dari 16 karyawan ditemukan tewas. Shigeru berhasil membawa uang dalam jumlah yang besar.
Baca juga: Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang
Hasil penyelidikan polisi diketahui bahwa pelaku itu merupakan eks anggota Unit 731. Shiro Ishii, mantan Direktur Unit 731, juga menyebut kalau pelaku kemungkinan besar seorang ahli medis tentara Jepang. “Saya yakin Matsui yang kartu namanya dipakai oleh perampok bank sama dengan orang yang dikirim ke Indonesia karena tulisan kanji yang dipakai untuk nama kecilnya, Shigeru, sangat langka dan persis sama,” ungkap Aiko.
Shigeru Matsui mulai bekerja di Singapura pada Desember 1942. Setahun kemudian, ia dipindahkan ke Bukittinggi, Sumatera. Selama masa tugasnya di sana, Mutsui menewaskan sekitar 200 orang Indonesia dengan memberikan injeksi imunisasi. Setelah berbagai kejadian di Sumatera, Shigeru dipindahkan ke Institut Pasteur pada Juni 1944, kurang lebih dua bulan sebelum peristiwa Klender, sebagai kepala bagian penelitian.
Di sanalah Shigeru dicurigai kembali melakukan percobaannya. Jika melihat dari kasus di Sumatera, Shigeru dan ilmuwan Jepang lainnya sedang melakukan ujicoba vaksin anti-tetanus. Kebutuhan perang yang mendesak, ditambah waktu penelitian yang singkat, membuat ujicoba vaksin terhadap manusia harus cepat dilakukan. Para romusha mungkin menjadi pilihan yang paling logis.
“Memang saya tidak berani memberi jawaban, tapi hanya bisa mengemukakan beberapa hasil penelitian saya selama 20 tahun ini … Karena kurangnya arsip dan saksi, kita tidak bisa memastikan apa peran Shigeru Matsui dalam Institut Pasteur. Tapi dari pengakuan diri sendiri bahwa dia pernah menewaskan 200-an orang Indonesia di Sumatera, kita mencium sesuatu yang mencurigakan.,” tulis Aiko.
Kenpeitai Terlibat
Selain keberadaan tokoh eks anggota Unit 731, penyelidikan para korban romusha di Klender oleh polisi juga memberi kecurigaan lain atas kasus eksperimen tentara Jepang ini. Segera setelah mendapat laporan tewasnya para romusha, rumah sakit pusat (sekarang Cipto Mangunkusumo) membawa para korban untuk diperiksa. Beberapa dokter, termasuk guru besar kedokteran Kenji Tanaka, dilibatkan dalam proses tersebut.
Tetapi beberapa hari kemudian, para dokter sipil dilarang memasuki kamp romusha. Pemeriksaan kesehatan hanya boleh dilakukan oleh dokter militer saja. Dugaan eksperimen semakin kuat ketika Unit Pencegahan Penyakit Infeksi dan Pengolahan Air Bersih ikut ambil bagian dalam pemeriksaan. Unit milik Rikugun (Angkatan Darat Kekaisaran Jepang) tersebut merupakan lembaga serupa yang digunakan untuk penyamaran eksperimen manusia di Harbin.
Baca juga: Unit 731 yang Tak Tersentuh
Sejalan dengan itu, kata Aiko, cerita tentang terlibatnya LBM Eijkman dalam kasus Klender diciptakan oleh bagian medis AD dan Kenpeitai. Letnan Nakamura, dokter AD Jepang, menyerahkan laporan rahasia berjudul “On Deliberate Contamination with Bacteria by Means of Tetanus Germ”.
“Dalam kesimpulannya, dia memutuskan bahwa kepala Laboratorium Eijkman, Profesor Achmad Mochtar, dan rekannya harus bertanggung jawab atas kejadian ini,” tulis Aiko.