Unit 731 berhasil menebar teror di Perang Dunia II. Unit penelitian senjata biologis dan kimia milik Pasukan Kekaisaran Jepang tersebut disiapkan untuk menyokong kekuatan tempur Jepang di garis depan pasca kemenangan tidak memuaskan pada PD I. Kesatuan itu beroperasi secara baik hingga Negeri Matahari Terbit mengibarkan bendera putih tanda menyerah pada 14 Agustus 1945.
Kawasan Asia-Pasifik, khususnya timur laut Cina, saat itu seolah dijadikan “taman bermain” militer Jepang. Uji senjata hasil kreasi Unit 731 bebas dilakukan terhadap manusia di sana. Ribuan nyawa dari kalangan sipil dan militer melayang. Kekejaman militer Jepang semakin tergambar jelas ketika para sejarawan menyamakan teror Unit 731 dengan Kamp Auschwitz milik Nazi, Jerman.
Baca juga: Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Pertama Nazi
Namun rupanya dalam kasus Unit 731 tidak hanya pihak militer saja yang harus bertanggung jawab. Menurut sejarawan Alan Jay Vanderbrook, ada pihak lain yang sebenarnya ikut mengambil peran dari kelahiran senjata pembunuh massal itu, meski tidak sebesar peran pasukan kekaisaran. Dalam tesisnya di University of Central Florida, Amerika Serikat, Imperial Japan’s Human Experiments Before And During World War Two, Vanderbrook menyebut Unit 731 beroperasi dalam konteks yang jauh lebih besar dan kompleks dari yang diduga masyarakat.
“Hampir setiap universitas utama di Jepang, serta banyak orang di bidang ilmiah dan komunitas medis, rumah sakit militer, laborartorium sipil dan militer, dan tentu kesatuan militer Jepang secara keseluruhan,” ungkapnya.
Otak di Balik Kekejaman
Bergabungnya Jepang di gelanggang utama PD II merupakan salah satu capaian besar Kaisar Hirohito di dunia politik-militer. Demi mempertahankan kedudukan tersebut, dia melakukan berbagai cara. Hirohito dan para pimpinan militer Jepang sadar –setelah terlibat perang melawan Cina dan Rusia– bahwa negaranya tidak memiliki cukup sumber daya untuk memulai perang besar.
Cara terbaik untuk menutup kekurangan tersebut adalah pengembangan senjata pembunuh berskala besar. Maka ditunjuklah seorang ilmuwan, sekaligus dokter di kesatuan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang bernama Shiro Ishii. Sosoknya memang menjadi perhatian para petinggi militer karena berbagai penelitian yang mengesankan.
Shiro Ishii lahir pada 25 Juni 1892 di Chiyoda, sekitar Tokyo sekarang. Ketika menginjak usia 24, Ishii terdaftar sebagai mahasiswa kedokteran, spesialisasi bakteriologi, di Kyoto Imperial University. Sejak masih di bangku kuliah, dia dikenal sebagai seorang yang ambisius dan keras kepala. Pada 1920, Ishii menyelesaikan pendidikan dokternya dan langsung diterima di kesatuan militer kekaisaran Jepang dengan pangkat letnan. Tapi Ishii tidak bekerja di garis depan, melainkan di rumah sakit militer Tokyo.
“Berbagai pencapaian penelitian Ishii diharga oleh atasannya. Dua tahun kemudian dia mendapat tugas melanjutkan pendidikan master di bidang bakteriologi, di almamaternya (Kyoto Imperial University),” tulis Hal Gold dalam Japan’s Infamous Unit 731: Firsthand Accounts of Japan’s Wartime Human Experimentation Program.
Baca juga: Unit 731, Alat Pembunuh Massal Militer Jepang
Setelah selesai dengan program master, Ishii ditugasi untuk mendalami soal senjata biologis ke Barat. Selama hampir dua tahun berkelilingi Eropa dan Amerika, Ishii memperluas pengetahuan tentang senjata biologis dan kimia yang dikembangkan semasa PD I, terutama racun buatan Amerika. Pengetahuan ini sangat penting bagi pengembangan persenjataan pasukan Jepang.
Pada 1932, Ishii dan timnya merencanakan pembangunan pabrik senjata biologis agar dapat memproduksi massal senjata buatannya. Dia juga memimpin para ilmuwan untuk mengujicobakan hasil penelitiannya kepada manusia. Ishii lalu pergi ke wilayah Manchuria yang telah dikuasai militer Jepang. Dia menetapkan daerah Harbin di sana sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Maka berdirilah Unit 731, kesatuan mematikan kekaisaran Jepang yang menciptakan neraka di dataran Cina.
Peran Besar AS
Aktifitas pembuatan senjata biologis dan kimia secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan Jepang akhirnya terendus juga oleh Amerika Serikat. Meski informasinya tidak lengkap, Sang jawara PD II ini telah cukup lama mengetahui keberadaan unit rahasia milik Jepang tersebut. Begitu perang berakhir, AS segera memulai investigasi pertamanya. Letnan Kolonel Murray Sanders dikirim untuk tugas ini.
Pada 1946, Jenderal Douglas McArthur menerima sejumlah laporan tentang eksperimen Unit 100 dan Unit 731 selama PD II. Satu yang membuatnya geram adalah sampel manusia yang dijadikan percobaan unit itu tidak hanya masyarakat di kawasan Asia, tetapi juga tawanan asing semasa perang, termasuk orang Rusia, Prancis, bahkan sejumlah kecil orang Amerika. McArthur mendapat informasi tersebut dari seseorang (identitas dirahasiakan) yang bekerja sebagai perawat di Unit 200, sub-Unit 731.
Namun fakta tersebut tidak membuat AS bergerak mengadili para aktor Unit 731 atas berbagai eksperimen jahatnya. Malah, Negeri Paman Sam melihatnya sebagai peluang menambah pengetahuan tentang senjata dan tubuh manusia.
Baca juga: Operasi Militer Amerika Terbodoh
“Ini bukan pertama kalinya AS menahan keberadaan eksperimen manusia. Seperti yang mereka lakukan terhadap para ilmuwan Nazi yang ditangkap, kemudian dibawa ke AS untuk bekerja di proyek pembuatan roket,” ungkap Vanderbrook.
Dengan mengatasnamakan kepentingan ilmu pengetahuan, para ilmuwan di Unit 731 mendapat perlindungan. Shiro Ishii meninggal dunia tahun 1959 akibat kanker. Ia tidak sedikitpun tersentuh hukum atas perannya mempimpin Unit 731. Para petinggi lain di Unit 731 juga mendapat berkah yang sama. Sebagian dari mereka kembali ke rutinitas sebelum perang, mengajar di universitas dan bekerja di rumah sakit. Hampir seluruhnya meninggal akibat usia, bukan karena hukuman.
Ditutupi Pemerintah
Kekejaman Unit 731 nyatanya menjadi bahasan yang tabu di Jepang. Hampir tidak ada yang membicarakan persoalan ini, baik di tingkat umum maupun di antara para intelektual. Hingga tahun 1990-an, pemerintah menutup rapat akses informasi Unit 731 dan unit lainnya. Berbagai dokumen peneilitian, foto, dan nama-nama tokoh yang terlibat seakan menjadi dongeng yang tidak pernah terjadi.
Diberitakan The Guardian pada 2018, Jepang akhirnya membuka daftar nama orang-orang di pasukan kekaisaran Jepang yang terlibat dalam pembuatan senjata bilogis dan kimia sepanjang 1930-an sampai 1940-an. Profesor di Shiga University of Medical Science Katsuo Nishiyama menginisiasi pengungkapan faktar sejarah tersebut.
Dokumen bertanggal 1 Januari 1945 ini memuat lengkap identitas tokoh yang terlibat. Terdiri dari nama, pangkat, dan informasi lainnya. Ada lebih dari 1.000 petugas medis militer, 52 dokter, 38 perawat, dan sejumlah besar teknisi yang namanya tercantum di dokumen rahasia tersebut.
Baca juga: Jepang dari Isolasi hingga Industri
“Ini adalah pertama kalinya dokumen resmi yang memuat hampir semua nama-nama tokoh yang terlibat di Unit 731 diungkap,” ucap Nishiyama. “Daftar ini merupakan bukti penting untuk memperkuat kesaksian mereka yang terlibat. Penemuan ini akan menjadi langkah besar untuk mengungkap fakta-fakta yang disembunyikan.”