Masuk Daftar
My Getplus

Mursalin Daeng Mamangung dalam Panggung Sejarah

Ia sempat menyamar menjadi Bung Tomo. Perwira TNI AL ini tidak percaya mantan komandan Marinir bunuh diri.

Oleh: Petrik Matanasi | 10 Feb 2023
Mursalin Daeng Mamangung dan Bung Tomo. (Betaria Sarulina/Historia.ID).

Kedatuan Luwu yang berpusat di Palopo merupakan daerah yang disegani kerajaan-kerajaan Bugis dan Makassar di masa lalu. Meski jauh dari Jakarta, Datu Luwu Andi Djemma merupakan raja yang mendukung Republik Indonesia di awal kemerdekaan. Andi Djemma setidaknya dibantu oleh M. Yusuf Arief, kepala polisi yang punya banyak pengikut.

Setelah NICA Belanda membuat kantor di Palopo dan tentara KNIL berlaku kejam, pada tahun baru 1946, Yusuf Arief menyusun serangan umum para pejuang yang bergabung dalam Pemuda Republik Indonesia (PRI).

“Tanggal 22 Januari 1946 keadaan kota Palopo sunyi senyap. Penyingkiran besar-besaran dari wanita-wanita dan anak-anak menuju ke luar kota, terbanyak ke pulau Libukang (sebuah pulau di depan pelabuhan Palopo),” catat Lahadjdji Patang dalam Sulawesi dan Pahlawan2nya Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia.

Advertising
Advertising

Sebelum serangan besar terjadi, Yusuf Arief berusaha memperkuat barisannya. Tujuannya agar para pemimpin PRI di Luwu dan pasukannya tidak ragu-ragu dalam menyerang tentara Belanda di waktu yang ditentukan.

“M. Yusuf Arief memerintahkan kepada Mursalin Daeng Mamangung untuk menyamar menyerupai Bung Tomo dengan berselimut kain putih di bawah pohon beringin yang besar di samping Istana Palopo, supaya berpidato untuk membakar semangat,” terang Lahadjdji.

Baca juga: "Bung Tomo": Pemuda Bandung Lembek Seperti Peuyeum

Pertempuran terjadi. Tentara Belanda bertindak semakin keras di Sulawesi Selatan setelah 1946. Meski gagal merebut seluruh Luwu dari Belanda, Mursalin dan banyak pejuang terus melawan tentara Belanda. Sebelum terjadi pertempuran itu, Mursalin sudah melanglang buana ke banyak tempat.

Buku Profil Ketua-Ketua DPR RI Sejak Tahun 1945 S/D Agustus 1999 menyebut Mursalin sempat bekerja di Bengkalis, Riau, dan sempat pula menjadi guru Sekolah Pelayaran Rendah (SPR) di Singaraja, Bali. Ia menjadi guru di SPR setelah ia tamat belajar di SPR dan Sekolah Pelayaran Tinggi di Makassar.

Ayah aktor Sophan Sophiaan, Manai Sophiaan punya kenangan dengan Mursalin. “Dengan mengendarai truck serobotan, saya dikawal oleh Mursalin Daeng Mamangung pergi ke Bone untuk menemui Lanto Daeng Pasewang dan A.N. Hadjarati untuk membuat rencana-rencana berhubung dengan perkembangan situasi baru,” kisah Manai Sophiaan dalam Apa yang Masih Teringat.

Mursalin lalu menyeberang ke Jawa dan bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) di Jawa Timur. Ia sempat memimpin satuan gerilya di daerah Kepanjen, Malang dan Blitar, Jawa Timur.

Baca juga: Tan Malaka dan Angkatan Laut di Surabaya

Setelah tentara Belanda angkat kaki dari Indonesia, Mursalin terus menjadi perwira ALRI. Ia pernah menjadi komandan kapal RI Enggano, RI Djangan, dan RI Flores, kemudian sempat menjadi perwira di RI Dewa Rutji. Pada 1959, ia pernah sebentar menjadi perwira staf pribadi Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) lalu komandan dari Komando Daerah Maritim Djakarta (KDMD).

Setelah Laksamana Subijakto tidak menjadi KSAL lagi, Mayor Mursalin menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dari 1960 hingga 1965. Dari mayor, dalam hitungan empat tahun, ia telah melalui pangkat letnan kolonel, kolonel, lalu di tahun 1964 menjadi komodor setara laksamana pertama.

Sejak 15 November 1965, Mursalim menjadi wakil ketua DPR-GR. Ia sebagai wakil dari Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) hingga 6 Juni 1966. Ia sempat dua minggu, dari 2 Mei hingga 17 Mei 1966, menjadi pejabat ketua DPR-GR.

Orde Baru pernah menempatkannya sebagai Menteri Tenaga Kerja sejak 1968 hingga 1973. Nama pria kelahiran Makassar, 20 November 1922 ini kurang terdengar lagi setelah Soeharto berkuasa.

Rosihan Anwar dalam Semua Berawal dengan Keteladanan yang sempat menghadiri acara pernikahan emas (50 tahun) Mursalim dan Eangdjariah pada 3 September 2000, menyebut Mursalin pernah menjabat duta besar di Rumania. “Secara politis ia pengikut Sukarno dan dekat PNI. Dengan saya ia bersama-sama dalam pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI),” kata Rosihan.

Baca juga: Yang Seteguh Batu Karang: Kisah Grace Walandaow Hartono

Ketika Letnan Jenderal KKO Hartono, mantan Komandan Jenderal KKO (Marinir) yang didutabesarkan di Korea Utara, ditemukan meninggal dunia pada Januari 1971, Laksamana Muda Mursalin termasuk orang yang mendatangi tempat kejadian dan bertemu beberapa anggota keluarganya.

“Menurut Mursalin, tak mungkin Hartono bunuh diri, mengingat karakternya yang keras dan tegas. Apalagi, peluru yang menewaskannya datang dari arah belakang atas kepala tembus ke leher. Suatu cara bunuh diri yang terlalu aneh dan musykil,” tulis Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966.

Kala itu, Mursalin juga menjadi saksi perubahan dari era Sukarno ke Orde Baru yang didominasi Angkatan Darat. Banyak perwira tinggi ALRI mencela sikap “terlalu berpolitiknya para perwira Angkatan Darat” dalam menumbangkan Sukarno.

Laksamana Madya TNI (Purn.) Mursalin Daeng Mamangung meninggal di Jakarta pada 18 November 2006 dalam usia 83 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.*

TAG

tni al

ARTIKEL TERKAIT

Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Serdadu Ambon Gelisah di Bandung M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Saat Brigjen Djasmin Dikata Pengkhianat Thomas Nussy versus Anak Cik Di Tiro