SUKARNO lahir pada 6 Juni 1901. Soeharto lahir pada 8 Juni 1921. Keduanya terlahir di bawah rasi bintang yang sama. Takdir hidup pula yang menentukan mereka sebagai persona paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Kendati demikian, dalam kehidupan nyata hubungan keduanya tak bisa dikatakan rapat. Si Bung Besar dan The Smiling General acap kali bertentangan.
Soeharto semasa menjabat Panglima Kodam Diponegoro pernah kena damprat. Sekali waktu pada 1957, Sukarno berkunjung ke Semarang. Selaku tuan rumah, Soeharto menyambut kedatangan presidennya. Di sela-sela perjumpaan, Soeharto nekat mengemukakan pendapat soal perkembangan PKI. Dalam otobiografinya, Soeharto merekam fragmen perdebatan dirinya dengan Sukarno.
“Pak, saya lihat tambah hari PKI tambah menonjol. Apakah itu tidak berbahaya?” ujar Soeharto. Mendengar itu, Sukarno marah. “Kamu Soeharto, kamu seorang tentara. Masalah politik, itu urusan saya. Serahkan kepada saya.”
Soeharto terdiam.
Koppig Revolusi
Bung Karno setidaknya dua kali melabeli Soeharto dengan sebutan bernada sinis: koppig. Dalam bahasa Belanda, istilah tersebut berarti keras kepala. Soeharto tak menampik perihal ke-koppig-an dirinya. Julukan itu lekat pada Soeharto saat menjabat Komandan Resimen III di Jawa Tengah.
Awal Juli 1946, Sukarno pernah memerintahkan Soeharto yang berpangkat letnan kolonel menangkap komandannya, Mayjen TNI Sudarsono. Utusan Istana bernama Sundjojo menyambangi markas Soeharto dan menyampaikan perintah secara lisan. Pasalnya, Sudarsono, Panglima Teritorium Jawa Tengah terlibat dalam penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Untuk itu, keadaan darurat perang diberlakukan. Alih-alih menindaklanjuti, Soeharto menolak mentah-mentah order Presiden selaku panglima tertinggi.
“Sungguh gila gagasan itu,” ujar Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Bagi Soeharto, perintah itu melewati garis komando.
Sejurus kemudian, datang lagi kurir pembawa surat perintah dari Sukarno. Isi perintah tak berubah: tangkap Sudarsono. Namun Soeharto memutuskan mengembalikan surat perintah tersebut. Dia hanya membalas dengan pesan singkat agar perintah diberikan lewat Panglima Besar Jenderal Sudirman.
“Sejam kemudian saya dapat berita lewat telepon dari Sundjojo, bahwa semuanya telah dilaporkan kepada Presiden Sukarno dan saya mendapat predikat istimewa ‘Opsir Koppig’ (Opsir Keras Kepala),” kenang Soeharto.
Koppig Gestok
Perihal koppig terlontar kembali untuk kedua kalinya, sehari setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Mengetahui pucuk pimpinan TNI AD diculik, Sukarno segera menggelar pertemuan di antara Panglima AU, AL, dan Kepolisian. Dia meminta pendapat seputar siapa pengganti Panglima AD, Letnan Jenderal Ahmad Yani yang belum diketahui keberadaannya.
“Mursjid, Pak,” jawab Panglima AU Omar Dani. Mayjen TNI Mursjid adalah deputi operasi Jenderal Yani. Sebagaimana lazimnya di semua angkatan, deputi operasi biasa menggantikan panglimanya. Sukarno kurang sreg. Dalam amatannya, Mursjid tergolong perwira tinggi berkarakter tempramen; suka marah-marah. Omar Dani memberikan opsi lain sesuai kebiasaan yang berlaku di TNI AD. Ketika berhalangan, Yani pernah mendelegasikan kehadirannya oleh tiga jenderal sekaligus: Mursjid, Soeprapto (deputi bidang administrasi yang ikut diculik), dan Panglima Kostrad Mayor Jenderal Soeharto. Mendengar nama terakhir, buru-buru Sukarno berkomentar.
“Wah Suharto itu koppig, keras kepala. Aku butuh orang yang rustig, tenang,” kata Sukarno dalam pledoi Omar Dani, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku karya Benedicta A. Surodjo dan JMV. Soeparno. Sukarno akhirnya memilih Mayjen TNI Pranoto Reksosamudra, asisten Yani bidang personalia. Namun pada kenyatannya, pihak AD lebih mendukung Soeharto sebagai pengganti Yani untuk kemudian menumpas PKI.
“Panglima Kostrad, Mayjen TNI Soeharto dengan dukungan Jenderal TNI A.H. Nasution mengambil alih pimpinan Angkatan Darat dari pejabat yang ‘menghilang’. Beberapa waktu kemudian, Pangkostrad memerintahkan penangkapan Pranoto Reksosamudra,” tulis Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Mengaku Tidak Patuh
Hari-hari pasca 1 Oktober adalah masa yang sukar bagi kepemimpinan Sukarno. Demonstrasi mahasiswa mendesaknya membubarkan PKI hingga mengundurkan diri. Situasi negara yang tak kondusif menyebabkan Sukarno frustrasi. Pada Februari 1966, aksi unjuk rasa telah merongrong ke Istana. Di sisi lain, Soeharto mulai mendulang pengaruh menuju kekuasaan dengan memegang kendali tentara.
Soeharto menuturkan bagaimana Sukarno memintanya secara pribadi untuk memulihkan keadaan. Dalam bahasa Jawa, Sukarno bertanya, “Harto, jane aku iki arep kok apakake? (Harto, sebenarnya aku ini mau kamu apakan?) Aku ini pemimpinmu.” Sesuai filosofinya mikul dhuwur mendhem jero, Soeharto menjawab bahwa dia akan selalu menjunjung hormat orangtua.
Sukarno lantas memerintahkan Soeharto menghentikan demonstrasi. Namun Soeharto malah menuntut pembubaran dan pelarangan PKI yang bikin Sukarno lagi-lagi jengkel. Sukarno merasa tidak dihormati. Pembicaraan itu berakhir dengan saling silang diantara keduanya.
“Beliau mempunyai satu pendirian, saya mempunyai pendirian lain. Tetapi saya tidak menentang begitu saja. Namun juga tidak patuh begitu saja. Saya sebagai bawahan sebenarnya harus taat. Apa yang diperintahkannya seharusnya saya patuhi. Tetapi saya sebagai pejuang tidak mungkin patuh begitu saja,” kata Soeharto membenarkan insubordinasinya.
Menurut sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern, untuk menghadapi kerasnya Soeharto, Sukarno menolak bekerja sama dalam suatu persekongkolan yang mungkin akan menimbulkan perang saudara. Soeharto diberi kekuasaan untuk menentukan apakah Sukarno harus dibawa ke pengadilan. Tetapi dia tidak pernah menuntut pendahulunya itu karena khawatir tindakan ini akan memobilisasi sisa-sisa pendukung Sukarno.
“Presiden pertama Indonesia secara de facto pensiun dengan status tahanan rumah dan diisolasi di Istana Bogor; dia tetap berada di sana hingga wafat pada Juni 1970. Soeharto menguasai Indonesia secara penuh,” tulis Ricklefs.
Baca juga:
Ketika Si Bung Enggan Berperang
Para Jenderal di Sisi Bung Besar
Lima Jenderal yang "Dimatikan" Soeharto
Soeharto Seteru Pranoto