Pada 11 Oktober 1674 Kerajaan Mandar menandatangani perjanjian pertama dengan VOC di benteng Rotterdam, Makassar. Perjanjian ini membuat Kerajaan Mandar mengakui kekuasaan Belanda. Belanda menggunakan perjanjian ini sebagai dasar untuk mengawasi Kerajaan Mandar.
Campur tangan kekuasaan asing itu menyebabkan perlawanan rakyat Mandar. Di antaranya perlawanan yang dipimpin oleh Calo Ammana I Wewang dan adiknya, Karo Puang Ammana Pattolawali di Pitu Babana Binanga pada 1905 dan perlawanan di Pitu Ulunna Salu yang dipimpin Demmatande pada 1914.
Kerajaan Mandar yang didirikan oleh Todilaling dibagi dua bagian, yaitu Pitu Babana Binanga (persekutuan tujuh kerajaan di pantai) dan Pitu Ulunna Salu (persekutuan tujuh kerajaan di pegunungan).
Baca juga: Marsose Membungkam Rakyat Ende
Menurut Muhammad Abduh, dkk. dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan, perlawanan Calo Ammana I Wewang berakhir melalui tipu muslihat pengikut setianya yang menyerah kepada Belanda. Dengan tertangkapnya Calo Ammana I Wewang, maka perlawanan fisik dapat dipadamkan oleh Belanda. Peperangan yang dilakukan Calo Ammana I Wewang mendapat sambutan di Pitu Ulunna Salu.
Perlawanan Calo Ammana I Wewang dipicu oleh suksesi raja Balanipa, kerajaan yang memimpin persekutuan, yang diintervensi Belanda. Sementara perlawanan di Pitu Ulunna Salu karena Demmatande, kepala kampung Paladan, tidak menyerahkan pajak sesuai target yang ditetapkan. Akibatnya, penduduk Paladan harus kerja rodi di Kunyi, Polewali. Namun, hanya sebagian kecil penduduk Paladan yang muncul. Demmatande dan sebagian besar warganya tidak datang.
Sepasukan patroli Belanda kemudian berangkat untuk menangkap Demmatande. Namun, dia bersama pengikutnya melarikan diri. Rumahnya digeledah dan barang-barang berharga diambil.
Menurut Muhammad Abduh, dkk. tindakan yang menyakitkan hati Demmatande adalah seorang anggota patroli membuang kotoran (berak) di dulang, alas piring makan sang kepala kampung yang membangkang itu. Di kampung itu, hanya bangsawan yang boleh makan di dulang.
“Perlakuan yang tidak senonoh itu dinilai Demmatande dan pengikutnya sebagai penghinaan terhadap adat yang harus dibalas. Sikap Belanda itu menurut J.V. Drill, De Controleur van Mamasa, adalah suatu kesalahan besar yang dibuat oleh petugas,” tulis Muhammad Abduh, dkk.
Baca juga: Flores Selamatkan Komandan
Pada Juni 1914, Demmatande memanggil pulang semua penduduk Paladan yang sedang kerja rodi. Dia mengajak para lelaki untuk bangkit melawan Belanda. Benteng pertahanannya di Salubanga. Untuk memadamkan perlawanan itu, pemerintah kolonial mengerahkan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsche Indische Leger (KNIL).
Muhammad Abduh, dkk. mencatat, persiapan Demmatande cukup baik sehingga pasukan Belanda sulit menerobos benteng Salubanga. Penghalang-penghalang yang kuat dan rapi menghambat gerak maju pasukan Belanda. Bahkan, pasukan Belanda mundur setelah pembantu Letnan Lukam dan tiga Eropa bawahannya tewas.
Pasukan Belanda kemudian meminta bantuan dari Pare-pare, Mamuju, Enrekang, dan Makassar. Persenjataan ditambah dengan meriam kaliber 3,7 cm yang dibawa dari Makassar. “Dengan demikian, niscaya pertempuran akan lebih hebat...Meriam kaliber 3,7 cm mulai menembaki benteng disertai pengepungan yang ketat,” tulis Muhammad Abduh, dkk.
Dalam pertempuran itu, orang-orang Mandar menggunakan senjata tajam seperti sangkur, tombak, parang, dan bilak (semacam bambu runcing) melawan serdadu Belanda berpengalaman yang pernah terlibat dalam Perang Aceh. Salah satunya Kopral Staphanus Melfibosset Anthony.
Baca juga: Bintang untuk Sanin
Majalah Trompet No. 81, Oktober 1940 menyebut Kopral Anthony pernah bertugas di Aceh dan Kerinci (Jambi). Di dua daerah operasi itu, dia tergolong prajurit yang dianggap berjasa dalam beberapa pertempuran.
Laki-laki kelahiran Ambon, 3 Juni 1872 ini mendaftar jadi tentara pada 27 Agustus 1890 di Ambon. Pada 13 April 1897, dia ditempatkan dalam korps Marsose, pasukan antigerilya KNIL. Setelah berdinas selama 15 tahun, pada 1905 dia naik pangkat jadi kopral.
Sebelum dikirim ke Sulawesi Barat, Kopral Anthony pernah ditempatkan di korps gewapende de Politie (korps polisi bersenjata) di Ternate. Pada 20 Oktober 1914, dia ikut dalam pertempuran di benteng Salubanga.
“Waktu menyerang benteng tersebut, maka naiklah Kopral Anthony,” tulis Trompet.
Baca juga: Narkim Menerkam Pejuang Aceh
Kopral Anthony naik dan bersusah payah membongkar rintangan. Butuh waktu 1,5 jam untuk melakukannya. Setelah satu lubang pertahanan terbuka, dia maju paling depan dan menembaki orang-orang Mandar di dalam benteng. Pasukan lain mengikutinya masuk ke dalam benteng.
Keberanian Kopral Anthony menjebol benteng dan membuka jalan bagi pasukan Belanda telah melancarkan operasi memadamkan perlawanan orang Mandar yang dipimpin Demmatande.
Muhammad Abduh, dkk. mencatat, Demmatande mengakui serangan Belanda sebagai tusukan yang hebat. Dia menganjurkan agar sebagian pasukannya meninggalkan benteng. Dia sendiri akan bertempur hingga titik darah terakhir. Dia bertahan dalam benteng bersama sekitar 30 orang pengikut setiannya termasuk keluarganya. Serangan Belanda ke dalam benteng tidak mendapat perlawanan yang berarti. Demmatande gugur bersama istri dan semua pengikut setianya pada 20 Oktober 1914.
Sementara itu, Kopral Anthony diganjar bintang voor Moed en Trouw untuk keberanian dan kesetiaan. Setahun setelah aksinya di Salubanga, dia pensiun dan tinggal di Maluku.