Masuk Daftar
My Getplus

Kitab Mujarab Bagi Pelupa

Sebuah buku yang mengajak orang Indonesia tetap ingat Orde Baru.

Oleh: Bonnie Triyana | 02 Mar 2017
Soeharto sebagai sampul buku "Teror Orde Baru: Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981" karya Julie Southwood dan Patrick Flanagan. (Komunitas Bambu, 2013).

Buku ini dilarang edar di Indonesia pada masa Orde Baru. Sepertinya pejabat Kejaksaan Agung era Orba tak perlu lama-lama memutuskan pelarangan buku ini. Halaman pertama pada buku ini saja sudah mempertanyakan peran Soeharto di dalam kudeta 1 Oktober 1965. Bahkan dalam lembar halaman selanjutnya, Julie Southwood dan Patrick Flanagan, penulis buku ini, memposisikan Soeharto sebagai pelaku aktif kudeta yang berakhir pada penyingkiran Sukarno.

Penulis menghubungkan keterlibatan Amerika Serikat dan jejaring Soeharto di dalam rangkaian kudeta terhadap Sukarno. Sejumlah data disajikan untuk memperkuat argumen kenapa Amerika berkepentingan atas Indonesia. Julie dan Patrick mengutip laporan Departemen Luar Negeri AS kepada Kongres pada 1975 tentang betapa pentingnya Indonesia bagi Amerika, salah satunya karena Indonesia diprediksi menjadi penyuplai penting bagi kebutuhan energi Amerika.

Dunia memang tengah terbagi dua saat itu. Blok barat yang anti komunis dimotori Amerika Serikat sementara Uni Soviet yang mengusung komunisme ada di blok timur. Mereka berebut pengaruh dan peluang untuk mendapatkan keuntungan dari negara yang berhasil mereka pengaruhi. Indonesia salah satunya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Dari Partai, Oleh Partai, Untuk Siapa?

Presiden Richard Nixon punya teori, “domino Asia” namanya. Teori itu berkeyakinan bahwa bila salah satu negara di Asia Tenggara jatuh ke tangan komunis, maka paham komunisme akan menular ke negara lain di wilayah tersebut. Oleh karena itu sejak awal kemerdekaan Indoensia, Amerika mati-matian membendung Indonesia dari pengaruh komunisme.

Figur seperti Suwarto, kepala Seskoad di Bandung, yang disebut-sebut memiliki kedekatan dengan CIA, tak luput dari pembahasan (hlm. 40). Soeharto, yang semenjak mengalami sanksi disiplin disekolahkan di Seskoad, berguru kepada Suwarto. Suwarto sebelumnya dilatih di Amerika Serikat. Ia mensimbolisasikan keterkaitan teori dan praktik melalui pelatihan “internal” militer Indonesia yang sedang berkembang dengan model pelatihan “eksternal” AS (hlm. 41).

Tali temali peristiwa itu ditampilkan sebagai anyaman fakta keterlibatan Amerika Serikat dalam proses penggulingan Sukarno dan pembentukan Orde Baru. Penulis buku menyimpulkan bebasnya Indonesia dari cengkeraman komunis membuat Amerika lebih leluasa bekerja sama dengan Indonesia. ‘Rest’ Soeharto terhadap dominasi korporasi Amerika dalam perekonomian, sebagaimana ‘restu’ Amerika terhadap perebutan Timor Timur, mengilustrasikan fakta ini (hlm. 46).

Pada bagian kedua, penulis membedah anatomi penguasa Orde Baru di era awal berdirinya. Menurut Julie dan Patrick, kekuasaan Orde Baru berporos pada tentara, melalui berbagai organisasi teritorialnya sampai ke tingkat pendesaan. Sebagai rezim yang totaliter, Orde Baru juga mengandalkan kekuatan organisasi keamanan dan intelijennya untuk mengontrol setiap sektor kehidupan warga. Kopkamtib yang didirikan sejak 1965 selama bertahun-tahun menjadi lembaga superbodi yang bisa memotong potensi ancaman bagi rezim. Keberadaan Kopkamtib membuat Indonesia dapat dipandang sebagai negara keamanan-militer de facto di bawah undang-undang darurat militer (hlm. 69).

Baca juga: Hidup Gembira Tanpa Cemas Masuk Neraka

Selain Kopkamtib, buku ini juga menyorot peran Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) yang dipimpin oleh Jenderal TNI Yoga Sugomo. Lembaga ini secam dinas pengawasan politik di zaman kolonial yang bertugas mengawasi kegiatan politik sipil. Dengan demikian penguasa bisa memantau apa saja yang tengah terjadi di kalangan politikus sipil.

Untuk mendukung mesin-mesin politik-militer itu bekerja, sejumlah lembaga usaha didirikan oleh militer Orde Baru. Cikal bakal kelompok usaha join tentara-pengusaha Tionghoa ternyata memang berawal jauh ke belakang, sejak masa-masa awal kemerdekaan. Pada masa awal pembentukan Orde Baru, pondasi yang telah berdiri itu semakin dikukuhkan menjadi bangunan kerjasama yang lebih masif dalam bidang bisnis. Kegiatan bisnis militer disalurkan melalui para pemodal yang memiliki banyak perusahaan swasta –dijalankan oleh keluarga-keluarga yang berpengaruh di Indonesia– di antaranya kerajaan bisnis keluarga Soeharto, Ibnu Sutowo dan Sultan HB IX (hlm. 71).

Judul: Teror Orde Baru Penyelewengan Hukum dan Propaganda 1965-1981. Penulis: Julie Southwood dan Patrick Flanagan. Penerbit: Komunitas Bambu. Terbit: 2013. Tebal: 368 hlm.

Dengan struktur kekuasaan militer yang begitu kuatnya, Orde Baru tampil sebagai bangunan kekuasaan monolitik yang sulit untuk ditaklukan. Tak hanya mengontrol politik, menguasai sektor ekonomi dan memata-matai rakyatnya sendiri, penguasa Orde Baru pun merekayasan peristiwa (baca: sejarah) demi legitimasi kekuasaannya. Dalam buku ini, rekayasa peristiwa itu dibahas sebagai kejahatan pertama yang dilakukan oleh Orde Baru (hlm. 79).

Rekayasa versi sejarah peristiwa 1965 yang serta merta menjadikan PKI sebagai musuh bersama seakan meroketkan nama Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari jurang kehancuran. Propaganda rezim Orde Baru sebagai penyelamat Pancasila dan UUD 1945 dari rongrongan komunisme telah berhasil membuat mayoritas orang percaya dan patuh pada penguasa. Propaganda memiliki arti penting di dalam proses konsolidasi (hlm. 99).

Baca juga: Sebuah Usaha Mengenal Sultan Hamengku Buwono IX

Buku ini memfokuskan perhatian pada Kopkamtib, lembaga politik militer yang seringkali berfungsi sebagai jurumudi hukum penguasa. Hukum ditafsirkan berdasarkan kehendak yang berkuasa. Seluruh sistem kekuasaan dikendalikan dan diawasi jaringan keamanan-intelijen, khususnya Kopkamtib (hlm. 104). Kopkamtib berhak menyensor pers. Menafsirkan sendiri apa-apa saja yang dianggap berbahaya bagi “stabilitas keamanan nasional”.

Sistem hukum Indonesia saat itu menggabungkan antara kebajikan dan teror. Bukan hanya alat untuk meneror rakyat, sistem hukum Indonesia juga merupakan sekumpulan norma dan cara memanipulasi orang per orang, juga banyak orang (hlm. 104). Dalam beberapa hal, wajah Orde Baru banyak mirip dengan wajah kekuasaan di zaman kolonial yang menginginkan “rust en orde” atau keamanan dan ketertiban. Sejatinya bukan untuk membawa rakyat kepada kehidupan yang lebih baik dan berkeadilan, namun lebih kepada mengamankan jalannya kekuasaan serta menjaga bangunan kekuasaan tak lekas runtuh.

Borok peradilan di Indonesia pada masa Orde Baru juga ditelaah oleh buku ini. Gambaran ideal ‘keadilan’ dan hukum sebagai praktiknya seringkali kontradiktif dengan apa yang kita bayangkan. Julie dan Patrick menyatakan kejengkelannya karena melihat kenyataan bahwa hukum seringkali dipasangi atribut-atribut ideal oleh mereka yang membuat, mengontrol, menerapkan dan menjalani proses hukum. Oleh karena itu, prinsip-prinsip normatif dan ideal sudah selayaknya dipisahkan dari praktik hukum sehari-hari (hlm. 181).

Oleh sebab itulah W.F. Wertheim, seorang sosiolog dan aktivis terkemuka Belanda yang sangat kritis terhadap pemerintah Orde Baru mengatakan dalam pengantarnya bahwa terdapat kesenjangan antara hukum dan keadilan di Indonesia. Dengan jalan itulah hukum dijalankan pada masa Orde Baru. Penguasa berhak menafsir sendiri apa itu keadilan.

Baca juga: Meneropong Masa Silam Kiri Indonesia

Buku ini tidak sampai membahas periode akhir Orde Baru yang bubar pada 1998. Periode pembahasannya bermula pada tahun 1965, di mana peralihan kekuasaan berawal melalui peristiwa G30S. Pembahasan berakhir pada 1981, tak lama berselang setelah pembebasan para tahanan poltik Pulau Buru.

Kesuksesan buku ini terletak pada ketajamanan analisis tentang struktur kekuasaan Orde Baru yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan militer. Buku ini juga berhasil memberikan pemahaman tentang kenapa pada hari-hari sekarang ini sistem peradilan kita masih diwarnai oleh kebobrokan-kebobrokan. Korupsi dan kolusi menjadi ciri khas dari wajah peradilan di Indonesia dan pada buku inilah bisa ditemukan musabab dari terjadinya persoalan itu di masa kini.

Berbagai kelebihan buku itulah yang agaknya menjadi alasan kuat bagi pemerintah Orde Baru melarang terbit di Indonesia. Baru pada masa sekarang inilah, setelah pemerintah Orde Baru tinggal sejarah, buku ini bisa dibaca oleh khalayak. Namun ironisnya, sekarang, di sana sini, muncul kerinduan masa lalu Orde Baru. Dan buku ini adalah kitab pengingat bagi mereka yang lupa.

TAG

buku soeharto orde baru

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Kapolri Hoegeng Iman Santoso Kena Peremajaan Insiden Mobil Kepresidenan Soeharto Djohan Sjahroezah Bergerak di Bawah Tanah Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Belajar Membaca dari Bung Hatta Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967