ENRICO Pieri takkan menyerah memperjuangkan keadilan. Meski keberhasilan belum kunjung tiba, bersama beberapa kawannya yang masih hidup, dia berusaha membuka kasus pembantaian massal di desa Sant’Anna di Stazzema, Tuscany, Italia, yang dilakukan pasukan SS Nazi-Jerman.
“Saya tahu itu takkan mudah dilalui,” ujar Pieri, sebagaimana dilansir Inter Press Service, 10 Juni lalu.
Pembantaian ini terjaid pada Perang Dunia II. Menyusul pembebasan Florence, ibukota Tuscany, dari Jerman pada 10 Agustus 1944, Sekutu terus mendesak rivalnya. Jerman merespons dengan membentuk garis perlawanan, yang salah satu titiknya berada di desa Sant’Anna.
“Jerman telah mengeluarkan perintah evakuasi dengan mengirim orang ke komune Serravezza, di mana Sant’Anna jadi bagiannya, karena mereka ingin membentuk garis perlawanan di areal itu,” tulis Fransesca Cappelletto, “Public Memories and Personal Stories: Recalling the Nazi-Fascist Massacres,” dimuat dalam Memory and World War II: An Ethnographic Approach.
Pagi 12 Agustus 1944, pasukan Nazi-Jerman dari Reichsfuehrer SS, Divisi Panzergrenadier ke-16, tiba dan mengepung desa.
Kabar kedatangan mereka menyebar dengan cepat. Takut ditangkap dan menjalani kerja paksa, penduduk pria bersembunyi ke hutan di perbukitan. Namun, ayah, paman, dan kakek Pieri tetap tinggal untuk melindungi rumah. Begitu tiba, pasukan Nazi memerintahkan mereka, juga yang lainnya, menuju dapur di sebuah rumah penduduk. Pieri sendiri bersembunyi di sebuah lemari.
Tak lama berselang, suara tembakan terdengar. Pieri mendengarnya dengan jelas, termasuk jeritan salah seorang saudarinya. Ketika dia meninggalkan tempat persembunyian, dia melihat mayat ayah, ibu, saudari, kakek, dan neneknya tergeletak di lantai. Mereka kembali ke desa setelah pasukan Nazi pergi.
“Hari itu di Sant’Anna,” tulis www.santaannadistazzema.org, “serdadu-serdadu Nazi membunuh seluruh umat manusia.”
Selepas perang, para penyintas menuntut keadilan atas pembantaian yang diperkirakan menewaskan 560 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak. Pada 1971, warga desa membentuk Association of the Martyrs of Sant’Anna (AMSA). Penduduk desa lain, yang juga mengalami pembantaian pasukan Nazi-Jerman, mendirikan organisasi serupa.
“Kami tak ingin balas dendam dalam bentuk apapun, tapi keadilan, ya, kami inginkan, sebagai penghormatan kepada mereka yang gugur,” ujar Pieri, yang kini menjabat ketua AMSA.
Jalan terjal menghadang. Jerman menolak mengekstradisi pelaku pembantaian di desa Sant’Anna di Stazzema. Bahkan Kejaksaan Stuttgart Jerman mempetieskan kasus tersebut pada Oktober 2012. Dan pada 21 Mei lalu Kejaksaan Stuttgart menolak permintaan Pieri untuk membuka kembali kasus tersebut. Alasannya: tak cukup bukti.
“Inilah alasan mengapa saya tak menyerah,” ujar Pieri.