Masuk Daftar
My Getplus

Bentrok Militer Amerika dan Australia Semasa Perang Dunia

Kehadiran pasukan Amerika di Brisbane akibat terusir dari Filipina membuat pasukan Australia cemburu. Berujung bentrok.

Oleh: M.F. Mukthi | 04 Mar 2021
Seorang pekerja sedang memperbaiki kantin Amerika di Brisbane yang rusak akibat bentrokan antara militer Amerika dan Australia, The Battle of Brisbane (State Library of Queensland)

Kota Brisbane hampir dipastikan terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2032. Hal itu disampaikan Presiden IOC Thomas Bach dalam jumpa pers di markas IOC di Swiss, Rabu, 24 Februari 2021.

“Setelah diskusi yang mendalam, kami secara aklamasi menyetujui rekomendasi tersebut. Berdasarkan keputusan ini, komisi mulai melakukan diskusi yang rinci dengan Komite Brisbane 2031 dan juga Komite Olimpiade Australia mengenai potensi mereka menjadi tuan rumah Olimpiade 2032,” ujar Bach sebagaimana dikutip detik.com, 25 Februari 2021.

Apabila terpilih, Brisbane bakal menyingkirkan kandidat-kandidat lain seperti Budapest (Hungaria), Doha (Qater), Istanbul (Turki), dan Jakarta (Indonesia). Selain itu, Brisbane juga berhasil mengikuti jejak dua kota Australia yang pernah menjadi tuan rumah olimpiade (Melbourne, 1956; Sydney, 2000). Brisbane bakal kedatangan banyak orang luar.

Advertising
Advertising

Keramaian orang luar pernah terjadi di Brisbane 80 tahun silam. Namun, keramaian saat itu bukan mengharumkan nama Brisbane tapi justru mencorengnya, dikenal sebagai Pertempuran Brisbane.

Baca juga: Duka Australia di Pulau Bangka

Pertempuran Brisbane bermula dari pengungsian tentara Amerika Serikat. Setelah Filipina diduduki Jepang dalam Perang Dunia II, Jenderal Douglas MacArthur memboyong pasukannya ke Australia. Brisbane dijadikan markas olehnya pada Juli 1942 setelah sebelumnya bermarkas di Melbourne.

“Dia adalah penggerak utama di balik invasi Amerika pada masa perang di Australia setelah terpilih sebagai tempat yang paling cocok untuk melancarkan serangan balik terhadap Jepang,” tulis Robert Macklin dalam The Battle of Brisbane.

Kedatangan MacArthur disambut penduduk kota dengan meriah. Mereka menganggap pasukan MacArthur sebagai penyelamat.

“Seorang perempuan menggambarkan reaksinya saat melihat orang Amerika: Mereka adalah dewa dan mereka datang untuk menyelamatkan kita dari Jepang,” tulis John Tilston dalam Meanjin to Brisvegas: Snapshots of Brisbane’s Journey from Colonial Backwater to New World City.

Sambutan hangat penduduk membuat pasukan Amerika senang. Selain mendapat tempat untuk mengkoordinasi perlawanan terhadap Jepang, mereka mendapat kawan baru dan banyak kemudahan lain.

“Sebagian besar orang Australia menyambut orang Amerika sebagai penyelamat dan, setidaknya pada hari-hari awal, orang Amerika menanggapinya dengan hangat,” tulis Robert Macklin.

Dipilihnya Brisbane sebagai markas MacArthur membuat jumlah pasukan Amerika terus bertambah di kota yang saat itu berpenduduk 300-an ribu jiwa itu. Perakitan pesawat-pesawat militer Amerika kemudian dilakukan di kota itu. Sebagai multiplier effect darinya, ekonomi Brisbane menjadi berputar lebih cepat.

“Ada sekitar 70.000 tentara Amerika di kota itu pada awal 1942. Meskipun masa sulit secara ekonomi, beberapa orang mendapat banyak uang jika mereka memberikan layanan apapun kepada orang Amerika. Sopir taksi, misalnya, mendapat uang darinya. Orang Amerika tidak tahu nilai mata uang lokal dan memberi tips dengan murah hati,” sambung Tilston.

Para serdadu Amerika memiliki kemampuan finansial lebih baik dibanding para serdadu Australia. Gaji mereka hampir dua kali lipat dari gaji serdadu Ausrtalia. Selain seragam mereka lebih baik bahan maupun desainnya dibanding seragam militer Australia, para serdadu Amerika difasilitasi lebih banyak oleh negerinya. Kantin Amerika menjual banyak pilihan barang yang bagi para serdadu Australia saat itu merupakan barang terjatah atau langka dan tak terjangkau.

Baca juga: Penerbang Amerika Pertama yang Hilang di Perang Pasifik

Kelebihan-kelebihan para serdadu Amerika itu membuat gadis-gadis Australia tertarik. Para gadis umumnya membandingkan mereka dengan pasukan Australia.

“Jalanan yang padat dipenuhi dengan seragam, dari pakaian opera putih dan biru para doughboy (julukan serdadu infantri Amerika, red.) di R&R atau mereka yang menelepon ke Brisbane dalam perjalanan ke utara, atau kain khaki kasar dan berpotongan buruk, usang dari beberapa tentara Australia yang tidak bertempur di New Guinea. Pakaian terbaik dari semua itu adalah para perwira Amerika dengan pakaian hijau zaitun yang sesuai, sejauh ini mengungguli penduduk sipil Brisbane, tidak ada yang mampu membeli pakaian berpotongan rapi, pas atau bahan yang begitu tampan. Perempuan lain mengatakan bahwa ‘baunya sangat wangi.’ Lotion Aftershave tidak dikenal di Brisbane saat itu. Mereka juga punya sopan santun dibanding pasukan Australia. Mereka tidak takut untuk mengungkapkan kelembutan, bahkan sebagian wanita menganggap mereka agak maju dalam melakukannya,” tulis Tilston.

Keunggulan finansial membuat lebih banyak gadis Australia memilih menerima ajakan kencan serdadu Amerika ketimbang serdadu senegeri mereka. Akibatnya para serdadu Australia kerap hanya bisa menelan ludah melihat para serdadu Amerika bebas minum bir di bar atau kafe sepuas mereka bersama para gadis lokal. Sementara, serdadu Australia kerap ditolak pegawai bar atau kafe dengan alasan bar sudah tutup atau bir sudah habis. Untuk memasuki kantin-kantin Amerika tempat di mana bir berlimpah, mereka pun tak bisa karena adanya larangan.

Jalan-jalan kota, klub dansa, bioskop, kafe, bar dan tempat-tempat umum lain akhirnya lebih banyak dipenuhi serdadu Amerika yang mengencani gadis setempat. Pada gilirannya, bukan hanya gadis setempat (dijuluki “cuddle bunnies”) yang mengencani para serdadu Amerika namun juga perempuan sudah menikah (“lizzies lounge”). Banyak dari mereka yang kemudian menikah.

Kondisi timpang antara dua pasukan Sekutu itu sampai membuat bingung sejarawan Inggris Christopher Thorne.

“Saya terus terang terpesona pada kemabukan yang pernah saya lihat di antara orang Australia. Di Brisbane, warga Australia berseragam berputar-putar di jalan sepanjang hari dan sepanjang malam. Mereka bukan pemabuk yang bahagia. Mereka hanya basah kuyup, dengan seragam longgar mereka tergantung seperti karung. Seragam mereka cukup untuk membuat mereka merasa rendah diri, dibandingkan dengan orang Amerika. Dan tentu saja pasukan Amerika mendapatkan semua gadis cantik dan mereka punya lebih banyak uang, dan kantin Amerika lebih bersih dan lebih lengkap, dan orang Amerika punya derap dan mengemudi dan sangat ingin mendapatkan perkelahian. Orang Australia yang pulang setelah dianiaya di Mesir dan Singapura hanya bisa merenung dan minum,” tulisnya, dikutip Macklin.

Kesenjangan itu akhirnya membuat para serdadu Australia iri. Keirian mereka diperparah oleh arogansi yang kerap diperlihatkan serdadu Amerika.

“Perlakuan lusuh ini membuat para Digger (julukan pasukan Australia) marah pada rakyat mereka sendiri seperti pada orang Amerika. Suasana hati itu berubah dan beberapa tentara Australia mulai meminta uang dari orang Amerika di jalan. Mengemis dengan ancaman kekerasan menjadi salah satu ciri paling menjijikkan dalam kehidupan Brisbane,” tulis Robert Macklin dalam The Battle of Brisbane.

Gesekan-gesekan pun kerap terjadi antara kedua pasukan mulai pertengahan Oktober 1942. Korban tewas atau luka-luka jatuh dari kedua belah pihak. Baku tembak antara kedua pasukan di Inkerman, misalnya, menewaskan satu persnoel masing-masing.

Baca juga: Ketika Dendam Hungaria Terhadap Soviet Terbalaskan di Australia

Dalam kondisi tak kondusif itu, pada pukul 18.50 tanggal 26 November 1942 Prajurit James R. Stein dari Kompi Sinyal 404 AD Australia keluar dari pub sebuah hotel tempatnya minum dalam kondisi mabuk. Dia menuju Kantin PX milik Amerika, sekira 50 meter dari tempatnya awal. Dia lalu bergabung dengan tiga personil militer Australia yang sedang minum-minum dan mengobrol. Saat sedang asyik mengobrol itulah tiba-tiba Stein didatangi Prajurit Anthony O’Sullivan dari Kompi 814 PM Amerika. Stein diminta menunjukkan pass masuknya. Namun karena Stein tidak menemukannya meski sudah mencari dalam waktu lama, Sullivan menjadi kesal dan meminta Stein agar beranjak.

Sikap Sullivan membuat ketiga tentara Australia kawan ngobrol Stein meminta Sullivan agar kalem dan membiarkan Stein. Saling umpat pun terjadi. Namun karena Sullivan mengangkat pentugannya, para serdadu Australia pun menyerang Sullivan. Keributan terjadi. Hal itu menarik perhatian tentara Australia lain dan warga yang ada di sekitar. Mereka lalu mendukung untuk menghajar para prajurit Amerika.

Para serdadu Amerika kewalahan. Meski kemudian datang bantuan dari anggota PM Amerika, kalah jumlah membuat mereka akhirnya mundur sambil membawa Sullivan yang terluka. Para prajurit Australia dan massa terus mengejar mereka. Kantin PX lalu hancur diamuk massa. Kantor Klub Palang Merah Amerika yang tak jauh dari sana juga ikut dikepung dan dirusak.

Para petugas jaga Kantin PX dibantu aparat kepolisian Queensland terus berupaya menghalau massa. Namun, massa gabungan prajurit Australia dan warga kota terlanjur marah. Perkelahian pun tak terhindarkan. Dalam sekejap, perkelahian menyebar ke bagian lain kota. Pukul 20 waktu setempat perkelahian telah melibatkan 2000 hingga 5000 orang. Beberapa personil PM Australia langsung melepaskan pita di lengan mereka dan bergabung ke dalam perkelahian. Sementara, sebuah truk berisi tiga prajurit Australia yang dikemudikan Kopral Duncan Caporn tiba dengan mengangkut beberapa kotak amunisi, granat, dan empat senapan sub-machine Owen.

Baca juga: Kisah Orang-orang Indonesia di Australia dalam Perang Dunia II

 

Batalyon 738 PM Amerika langsung mempersenjatai personilnya dengan senapan. Dua di antaranya, Prajurit Norbert Grant dari Kompi C dan Prajurit Mercier, langsung maju ke halaman depan. Tindakan tersebut menarik perhatian beberapa anggota massa Australia yang langsung mendekatinya dan mencoba merebut senjatanya. Perkelahian terjadi. Ketika Gunner Edward S. Webster (personil Resimen Anti-Tank ke-2Australia) hendak merebut senapannya, Grant lebih dulu menusuknya. Sementara itu, leher Grant telah dicekik oleh tentara rekan Webster. Tiga kali pelatuk senapan Grant tertarik dalam pergumulan itu sehingga tiga peluru dimuntahkan dari senapan yang diperebutkan itu. Salah satu peluru langsung menembus dada Webster dan membunuhnya seketika. Dua peluru lain mengenai pipi Prajurit Kenneth Henkel dan dada Prajurit Ian Tieman.

Grant yang bingung langsung lari kembali ke dalam PX. Dalam perjalanan, dia sempat memukul kepala orang Australia dengan senapannya hingga patah gagang. Di bagian lain, Prajurit Amerika Joseph Hoffman tengkoraknya retak dalam perkelahian itu.

Kendati keributan telah selesai pada pukul 22, malam berikutnya antara 500 hingga 600 personil militer Australia kembali mengepung personil militer Amerika di gedung Palang Merah. Tak jauh dari sana, di persimpangan antara Jalan Ratu dan Jalan Edwards, massa Australia memukuli para serdadu Amerika. Penulis Australia yang bersuamikan orang Amerika, Margaret Scott, bahkan tak luput dari serangan ketika sedang melintas.

“Penulis itu, Margaret Scott, percaya bahwa sejumlah orang Amerika telah ditendangi sampai mati dan satu orang ditembak, tetapi tidak ada catatan resmi mengenai kematian tersebut. Namun, lusinan –dan kemungkinan puluhan– orang Amerika terluka,” tulis Raymod Evans dan Jacqui Donegan dalam “The Battle of Brisbane” yang dimuat di politicsandculture.org.

Baca juga: Peran Australia dalam Perundingan Renville

Kerusuhan itu akhirnya padam setelah masing-masing pihak menerjunkan PM dalam jumlah besar untuk menertibkan. Masing-masing kesatuan yang terlibat lalu dipindahkan. Grant dimejahijaukan Februari tahun berikutnya, namun dia dibebaskan karena alasan membela diri. Lima orang Australia dihukum, yang terberat dipenjara enam bulan.

“Sejak 1942, Brisbane adalah salah satu pos pementasan terakhir di garis depan. Suatu malam, dengan cara yang tak terduga dan tak terkira, kota itu menjadi garis depan itu sendiri. Orang Australia memiliki keluhan dan mereka memiliki alasan kuat untuk dirugikan. Orang-orang Amerika memiliki segalanya –gadis, kantin, dan yang lainnya– dan orang-orang kita benar-benar dikucilkan di kota mereka sendiri,” kata Mayor Bill Thomas, yang bertugas menginvestigasi penyebab gangguan anti-Amerika pada 1943, dikutip Macklin.

TAG

perang pasifik perang dunia australia

ARTIKEL TERKAIT

Petualangan Tim Kanguru Tiga Negara Berbagi Sejarah lewat Dokumenter Kunjungan Nehru Orang Jawa Hilang dalam Perang Dunia II John Cohen, Yahudi Australia Pendukung Indonesia Ketika Merdeka Datang ke Australia Persaingan Inggris-Amerika di Tepian Rhine Cikal Bakal Batas Internasional Indonesia-Papua New Guinea Pembantaian Nazi di Biara Ardennes Sultan Ternate Diselamatkan Jenderal MacArthur Akar Kebudayaan Nusantara dan Pasifik