Ketika seseorang menikah, pertama-tama dia akan pergi ke rumah mempelai perempuan untuk menyelesaikan pernikahan ini. Tiga hari kemudian dia membawa sang istri pulang ke rumah. Pada saat itu, kerabat mempelai perempuan menabuh genderang dan gong tembaga, meniup tempurung kelapa, menabuh genderang bambu, dan menyalakan kembang api. Sejumlah pria bersenjata pedang pendek mengelilingi mereka.
Rambut sang mempelai perempuan dibiarkan tergerai. Bagian atas tubuhnya tidak ditutupi pakaian. Kakinya tak mengenakan alas kaki. Sehelai kain hijau bercorak bunga dililitkan di pinggangnya. Rangkaian manik-manik emas menghiasai kepalanya. Gelang emas dan perak yang indah menghiasi pergelangan tangannya.
Baca juga: Katakan cinta dengan sirih
Para kerabat, rekan-rekan dan tetangga membawakan daun sirih dan pinang. Mereka merangkai bunga dan dedaunan membentuk sebuah kapal kecil. Barang-barang ini mereka bawa bersamaan dengan kepindahan keduanya sebagai bentuk ucapan selamat. Setelah tiba di rumah mereka menabuh genderang dan gong dan bergembira selama beberapa hari. Kemudian mereka semua pulang.
Gambaran perkawinan itu dicatat oleh Ma Huan dalam jurnal perjalanannya ke Jawa, Yingya Shenglan, pada 1416. Menurut catatan itu, pernikahan pada masa Jawa Kuno tak banyak berbeda dengan masa kini. Perhelatan pertama dilakukan di kediaman pengantin perempuan. Beberapa hari kemudian di kediaman pengantin pria atau yang kini di sebut ngunduh mantu.
Baca Juga: Katakan cinta dengan kelopak bunga
Selain kesaksian penerjemah Cheng Ho itu, perkawinan masa Jawa Kuno juga disebut dalam beberapa prasasti. Arkeolog Dwi Cahyono menyebut Prasasti Pucangan dari tahun 1042 M yang memberitakan tragedi pernikahan antara Airlangga dan putri Dharmawangsa Teguh.
Prasasti Mantyasih (907 Masehi) yang ditulis atas perintah Raja Balitung berisi tentang lima orang patih di daerah Mantyasih yang berjasa mempersembahkan kerja bakti untuk perkawinan raja.
“Wurangan haji, kata warangam berarti pesta perkawinan (untuk anak), dengan menjaga keamanan di Desa Kining yang penduduknya selalu merasa ketakutan,” kata Dwi.
Keterangan tata cara perkawinan pada masa Jawa Kuno juga bisa didapatkan dari kitab susastra. Kitab Wangbang Wideya mengemukakan perkawinan Panji Wireswara dan putri mahkota Daha diselenggarakan di Balairung. Hikayat Panji Kuda Semirang menyebut pernikahan di Daha diselenggarakan di Bale Tejamaya. Beragam panganan disajikan untuk para tamu.
Dalam pesta perkawinan itu, menurut Sumanasantaka, para tamu undangan memberikan sembah penghormatan kepada mempelai. Dalam kakawin itu, dikisahkan tujuh orang paratanda bergegas mengelilingi mempelai secara bergantian dengan diiringi bunyi padahi dan sorak-sorai para hadirin.
Pemberkatan nikah
Pada masa lalu berkat nikah menjadi salah satu sesi penting dalam prosesi penikahan. “Bahkan, untuk mendapatkan berkat nikah itu, rombongan calon pengantin mesti berpayah-payah menempuh perjalan jauh ke tempat persemayaman rohaniawan yang berkompeten memberi peresmian serta berkat nikah,” kata Dwi.
Baca juga: Dendang cinta kala martandang
Kidung Panji Margasmara yang ditulis era Girindrawarddhana (Majapahit akhir), mengisahkan perjalanan panjang dari Singhasari ke Mandala Kukub atau Sunyasagiri di lereng selatan Gunung Semeru. Ken Candrasari (putri Rangga Singhasari) dan Jaran Warida (putra pendeta sepuh Kagenengan) bermaksud mendapatkan berkat serta peresmian nikah tetapi batal.
Mandala Kukub, kata Dwi, adalah situs dari abad ke-15 M yang terletak di Supiturang pada areal pekebunan Gerbo sekarang. Di sana, pernah ditemukan tiga buah prasasti. Satu di antaranya memuat teks ‘tulusamilu sa den kadi botingakasa lawan pratiwi sorga kabuktiha’.
“Prasasti pendek ini mirip dengan isi Prasasti Pasrujambe yang memuat nasihat nikah iki pangestu yang mami, guru-guru yen arabi den kadi boting ngakasa lawan pratiwi papa kabuktihi,” kata Dwi.
Gambaran pemberian berkat pernikahan juga dijumpai dalam Kakawin Sutasoma. Di sini dikisahkan ketika perkawinan antara Sutasoma dan Candrawati, di langit para dewa, rsi, dan para ahli filsafat besar memanjatkan doa, mantra, dan himne pemberkatan dari kitab suci Wedha.
Sementara dalam Wangbang Wideya dikisahkan pernikahan Panji Wireswara dan putri mahkota kerajaan Daha. Waktu itu, para Brahmana terkemuka dan para punjangga menyanyikan himne-himne pujian. Pemberkatan nikah dilakukan oleh Mpu Brahmaraja. Itu diiringi gong, tatabuhan, genta-genta, peret, dan sangkha.
Pada bagian lain dari susastra ini, muncul kisah perkawinan putri Tilakusuma dan Srenggayuda di Gegelang. Kedua mempelai mengucap janji kawin.
Lantunan himne pujian dengan iringan padahi dan curing pada upcara perkawian juga dijumpai informasinya dalam Kitab Sumanasantaka. Di sini yang ceritakan adalah perkawinan Aja dan Indumati. Kedua mempelai melakukan pemujaan kepada Dewa Agni, lantas diteruskan dengan upacara di bawah pimpinan pendeta Siwa dan Sugata (Buddha). Setelah pemberkatan nikah, kedua mempelai diarak dalam kemerihan pesta pernikahan.
Terkait itu, Hikayat Panji Kuda Semirang mengkisahkan bahwa perkawinan di Daha, bertempat di Bale Tejamaya. Pasangan pengantin diarak keliling alun-alun dengan tandu-tandu berbetuk garuda, naga wilmana sambil menyaksikan tenda-tenda di mana beragam seni pertunjunkan digelar. Arak-arakan ini menuju ke arah pesanggrahan.
Baca juga: Ken Dedes cinta pertama Ken Angrok
Begitulah dalam berbagai susastra mendeskripsikan peristiwa perkawinan keluarga raja secara penjang lebar. Sayangnya, belum diperoleh data visual pernikahan itu di relief candi.
“Kendati begitu, kandungan data yang cukup banyak dalam beragam sumber-sumber data itu cukup untuk merekonstruksikan prosesi pawiwahan hageng pada masa Hindu-Buddha,” kata Dwi.