Venna Melinda mantap untuk bercerai dengan Ferry Irawan. Keputusan itu diambilnya setelah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perceraian dapat menjadi solusi bagi individu (seringnya perempuan) untuk menyelamatkan dirinya dari kekerasan dalam rumah tangga. Ada banyak alasan di balik terjadinya perceraian. Salah satunya politis, seperti perceraian Ratu Bendara, putri Hamengkubuwono I, yang sempat menikah dengan Raden Mas Said (Mangkunegara I).
Hal ini sengaja dilakukan untuk memperkuat misi antara Raden Mas Said dan Mangkubumi, nama lain Hamengkubuwono I. Sebelumnya Mangkubumi dan Raden Mas Said merupakan satu kubu yang melawan Belanda dan Pakubuwono. Namun, kemudian terjadi perselisihan antara dua pembesar tersebut. Akibatnya, keduanya berjalan secara terpisah hingga Mangkubumi diberi kewenangan oleh VOC untuk berkuasa di Keraton Yogyakarta.
Baca juga: Cara Perempuan Zaman Kuno Mengakhiri Pernikahan
Perceraian Ratu Bendara dipicu oleh konflik antara suaminya (Mas Said) dan ayahnya (Hamengkubuwono I). Konflik tersebut semakin memanas usai Perjanjian Salatiga (1757), yang membuat Raden Mas Said dinobatkan menjadi Adipati Mangkunegara I dengan kekuasaan bernama Mangkunegaran.
Hamengkubuwono I lalu mengundang putri sulungnya tersebut ke Yogyakarta. Akan tetapi mereka tidak kunjung datang dan tetap tinggal di Surakarta.
“Ada desas-desus pada tahun 1758 bahwa kunjungan semacam itu akan dilakukan, tetapi kenyataannya Sultan tidak melihat putrinya sampai dia sendiri mengunjunginya untuk pertama kali pada bulan Juni 1761”, tulis M.C. Ricklef dalam Yogyakarta under Sultan Mangkubumi.
Baca juga: Membina Rumah Tangga yang Baik ala Raja Jawa
Pada 1763, salah satu putra Hamengkubuwono I mengunjungi Surakarta untuk melihat calon istrinya yang masih keturunan Susuhunan Surakarta. Ketika kembali ke Yogyakarta, ia pulang bersama dengan kakak perempuannya, Ratu Bendara, yang saat itu masih berstatus sebagai istri Mangkunegara I. Ratu Bendara berkata bahwa tidak akan kembali ke suaminya karena Mangkunegara dianggap telah melecehkan dan mempermalukannya serta tidak mampu memenuhi tugas perkawinan.
Mangkunegara I mengklaim bahwa istrinya ditahan di Yogyakarta. Akan tetapi, Ratu Bendara tetap bersikeras bahwa kehadirannya di Yogyakarta adalah kehendaknya sendiri.
Sultan Hamengkubuwono I bersikeras untuk menceraikan Ratu Bendara dan Mangkunegara I. Hal ini ditolak Mangkunegara I. Menurut Babad Mangkubumi, Pakubuwana III menyarankan Mangkunegara I untuk menerima pengajuan cerai karena jika dia tidak menahan amarahnya, dia akan menghadapi tiga musuh sekaligus: Mataram, Kompeni, dan Tuhan.
Namun, Mangkunegara I teguh pada pendiriannya. “Mengenai hal tersebut saya menyerahkan hasil akhirnya kepada Tuhan,” ujarnya.
Baca juga: Kala Sang Raja Ditolak Cintanya
Di Keraton Surakarta, Susuhunan mendorong Mangkunegara I untuk menyerahkan perselisihan itu ke gubernur pantai utara Jawa VOC di Semarang. Pada September sampai Oktober 1763, Gubernur van Ossenberch pergi ke Mangkunegaran untuk menengahi perselisihan tersebut sebelum merusak perdamaian lebih besar. Sebab, permusuhan dalam skala kecil telah dimulai. Baik Mangkubumi maupun Mangkunegara I tidak mau berkompromi.
Solusi pun dicari. Salah satu jalan tengah untuk menyelesaikan perselisihan antara Mangkunegara I dan Mangkubumi adalah Ratu Bendara tidak menikah lagi selama mantan suaminya masih hidup. Solusi ini disepakati Mangkunegara I.
Namun, Van Ossenberch ragu bahwa Sultan Hamengkubuwono I akan menerima usulan tersebut. Keraguan Ossenberch terbukti, sebab Hamengkubuwono I sudah mengurus perceraian Ratu Bendara dengan Mangkunegara I. Perceraian tersebut diketok palu pada Desember 1763 dan mengejutkan banyak pihak.
“Mangkunegara I terus membenci kejadian ini sampai akhir hayatnya, karena merasa yakin bahwa Hamengkubuwono I lah yang telah memaksa sang putri supaya menceraikannya,” kata M.C. Ricklef pada Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Baca juga: Pernikahan Orang Jawa Kuno
Setelah percerainya dengan Mangkunegara, Ratu Bendara akhirnya menikah lagi. Pasangan yang dipilih oleh ayahnya adalah Pangeran Arya Dipanagara yang telah berganti nama menjadi Panembahan Herucakra, anak dari Panembahan Senopati. Ini dilakukan agar Mangkunegara I tidak dapat menuntut takhta sultan atas dasar pernikahan.
“Ratu Bendoro pun dibujuk oleh ayahnya, Sultan Mangkubumi, untuk menikah kedua kali hanya 18 bulan setelah berpisah dari Raden Mas Said dengan suami yang jauh lebih tua, impoten dan lekas meninggal”, kata Peter Carey dan Vincent Houben dalam Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX.