Kala Sang Raja Ditolak Cintanya
Membuat karya sastra hingga memberikan gelar khusus dilakukan seorang raja Surakarta untuk perempuan dambaannya.
Fenomena ghosting sedang ramai di kalangan anak muda. Ghosting adalah sebuah sikap berupa meninggalkan salah satu pihak saat pendekatan menuju relasi romansa tanpa kabar apapun. Alasannya beragam, mulai dari merasa tidak cocok hingga menemukan orang baru untuk diajak kencan. Jika hal ini menyerang laki-laki, maka dia akan dikatakan sadboys.
Seorang raja Jawa juga pernah menjadi sadboys. Kisahnya bermula dari Pakubuwono IX, raja Surakarta tahun 1861-1893, ketika menginjak masa puber dan masih namanya masih Raden Mas Suryo Duksina – gelar Pakubuwono IX belum tersemat. Di usia 13 tahun, ia jatuh hati pada seorang gadis bernama Sekar Kadhaton.
Sekar Kadhaton adalah putri dari Pakubuwono VII (1830-1858). Di lingkungan keraton Surakarta, ia dikenal sebagai kembang istana karena kecantikan dan kecerdasannya.
Baca juga: Ken Dedes Cinta Pertama Ken Angrok
RM Suryo amat tergila-gila pada Sekar Kadhaton. Akan tetapi, cintanya ditolak meski bukan dengan cara ghosting.
“Sekar Kadhaton melawan ideologi dominan laki-laki dan mengelak dari suatu realitas perempuan yang bisa juga kurang menguntungkan,” tulis Nancy K. Florida, peneliti naskah kuno Jawa, dalam Jawa-Islam di Masa Kolonial.
Usaha untuk mendapatkan hati Sekar Kadhaton berlangsung bertahun-tahun. Hingga RM Suryo berganti menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Prabuwijaya dan dinobatkan sebagai Pakubuwono IX, Sekar Kadhaton masih saja tidak menerima pinangannya. Padahal, Pakubuwono IX sudah menawarkan tempat yang sangat istimewa untuknya sebagai permaisuri, bukan menjadi selir.
Keputusan Sekar Kadhaton sudah bulat. Ia tidak akan menerima pinangan dari Pakubuwono IX. Sekar Kadhaton ingin menyangkal fantasi laki-laki mengenai ciri istri baik adalah mereka yang rela dipoligami. Lagipula, saat itu Pakubuwono IX telah memiliki istri.
“Sang Putri ini tetap mempertahankan keperawanannya, dan status kecakapan spiritualnya naik terus sampai tingkat yang melegenda dan tak ada tandingannya,” sambung Nancy K. Florida.
Baca juga: Cinta Sultan Bersemi di Perpustakaan
Sekar Kadhaton kemudian mendalami dan dikenal sebagai penulis, intelektual terpandang, dan pelaku jalan tasawuf. Ia menghasilkan karya sastra berjudul Serat Wulang Pambayun: Pethikan saking Kitab Tapsir, yang berisi ajaran moral yang berkiblat pada Islam.
Menyadari jika usahanya mendapatkan cinta Sekar Kadhaton tidak membuahkan hasil, Pakubuwono IX akhirnya mengaku kalah. Pada 1863, Pakubuwono IX memberi pengarahan pada carik-cariknya (juru tulis kerajaan) untuk membuat karya sastra berjudul Serat Murtasiyah.
Serat tersebut menceritakan ada seorang putri cantik, berbakat, dan cemerlang dari seorang kyai Islam terpandang bernama Murtasiyah. Meskipun umurnya sudah dianggap pantas untuk menikah, Murtasiyah menolak para lelaki yang datang melamarnya karena ingin melanjutkan belajar teologi Islam dan Tasawuf. Pada akhirnya Murtasiyah mau menikah karena orang tuanya mengajari keutamaan perempuan untuk mewujudkan pencapaian tingkat spiritual dengan menjalani kehidupan suami-istri.
Baca juga: Pangeran Samber Nyawa Menyerah Kepada Pakubuwana III
Karya sastra berbentuk puisi Jawa ini menggambarkan imajinasi Pakubuwono IX mengenai kisah fantastis dan teladan seorang perempuan menjadi istri Jawa yang sempurna.
Pembuatan karya sastra ini menandai bahwa Pakubuwono IX sudah mengikhlaskan Sekar Kadhaton yang tidak dapat menjadi permaisurinya. Meskipun demikian, ia tetap memberikan gelar spesial untuk Sekar Kadhaton pada 1887, yakni Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun.
Gelar tersebut tersemat hingga akhir hayat Sekar Kadhaton. Ketika Sekar Kadhaton wafat tahun 1917, prosesi pemakamannya dilakukan layaknya permaisuri raja.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar