MOTOR Devan Firmansyah, penggiat di Komunitas Jelajah Jejak Malang, memasuki areal pemakaman umum di Desa Polowijen, Malang. Dia mengarahkan motor bebeknya menyusuri jalan kecil yang kiri kanannya hanya terlihat nisan-nisan dan pohon kaboja.
“Selamat datang di Setra Panawijen,” kata mahasiswa sejarah IKIP Budi Utomo, Malang itu.
Setra marujuk pada tempat wingit. Setra biasanya berupa hutan yang pada masa Hindu-Buddha dijadikan tempat pembuangan atau pembakaran mayat. Banyak yang percaya lokasi itu pernah menjadi tempat bertapa Mpu Purwa, ayah Ken Dedes.
Sejurus kemudian, Devan menunjukkan beberapa potongan bata kuno ketika melewati salah satu tikungan dalam kompleks makam yang luas itu.
Sejarawan Malang Suwardhono mengiyakan kalau nama Polowijen yang kini dikenal, dulunya lebih dikenal dengan Panawijen. Kitab Pararaton menyinggungnya sebagai tempat tinggal seorang pendeta Bhrahama bersama seorang putrinya yang bernama Ken Dedes.
Baca juga: Ken Dedes perempuan utama
Devan lalu menghentikan motornya di depan sebuah bangunan berpagar. Palang cagar budaya melindungi tempat itu. Situs Ken Dedes, begitu tempat itu dikenal. Apa yang ada di dalam pagar tak lebih dari sebuah bangunan baru, sebuah pendopo.
Pendopo itu menghadap pada cungkup yang memayungi sebuah sumur. Di belakangnya ada cungkup kecil lain yang memayungi artefak, dikenal masyarakat dengan batu kenong. Lokasi ini nampaknya merupakan situs hunian keagamaan. Di sana pun sempat ditemukan beberapa fragmen bata merah.
Menariknya, Situs Ken Dedes didukung pula dengan cerita tutur lokal. Suwardono, yang pernah menelitinya mengatakan, kisah itu berkaitan dengan riwayat putri Dedes, sebagai putri seorang penduduk di Panawijen dengan sosok pemuda dari daerah Dinoyo, Malang, yang bernama Joko Lulo.
“Terdapat beberapa titik persamaan antara cerita rakyat Polowijen dengan naskah Pararaton, yang nantinya apabila keduanya dikonfirmasi akan terjalin sebuah peristiwa yang kontinuitas,” kata Suwardono, yang ditemui di kediamannya, di Kota Malang.
Cinta Pertama Ken Dedes
Sebagian penduduk Polowijen masih mewarisi riwayat nenek moyangnya. Ceritanya, pada zaman dulu di Desa Panawijen (kini Polowijen), Kota Malang hiduplah seorang gadis cantik jelita bernama Putri Dedes. Banyak yang datang melamar. Namun, tak ada satu pun yang dia terima.
Datanglah lamaran dari seorang pemuda bernama Joko Lulo. Asalnya dari Desa Dinoyo. Parasnya buruk tapi kesaktiannya tinggi. Putri Dedes menolaknya dengan halus. Sebagai persyaratan, dia menyuruh Joko Lulo membuat sumur sedalam satu windu atau delapan tahun perjalanan.
Di luar dugaan, Joko Lulo mampu membuat sumur itu dalam waktu singkat. Mau tak mau, Putri Dedes harus menerima pinangan Joko Lulo. Keluarga Joko Lulo meminta pertemuan pengantin hendaknya dilaksanakan pada waktu tengah malam. Artinya, sebelum suara tempat nasi terdengar, tanda pagi sudah datang. Permintaan ini diajukan demi menutupi wajah Joko Lulo yang buruk.
Sayangnya, begitu hendak dipertemukan, tiba-tiba terdengar suara tompo, tempat nasi dari bambu, yang dibunyikan oleh para gadis Panawijen. Sebagian ada pula yang membakar jerami di sebelah timur. Akibatnya dalam waktu singkat ayam pun berkokok. Ketika cahaya mulai menerangi dan nampaklah wajah Joko Lulo yang buruk rupa.
Baca juga: Ken Angrok ksatria yang terkalahkan
Melihat wajah asli Joko Lulo, Putri Dedes melarikan diri dan menceburkan dirinya ke dalam sumur windu. Joko Lulo pun menyumpahi warga Panawijen, kelak tak akan menikah hingga usia lanjut. Setelah mengeluarkan kutukan itu, Joko Lulo menyusul Putri Dedes menceburkan diri ke sumur.
“Joko Lulo dan Putri Dedes menghilang tak diketahui rimbanya. Beberapa lama kemudian baru diketahui Putri Dedes sudah menjadi istri pembesar di Tumapel,” tulis Suwardono dalam hasil penelitiannya, Mutiara Budaya Polowijen.
Setelahnya, alat-alat gamelan yang tadinya untuk menyambut kedatangan keluarga mempelai laki-laki berubah menjadi batu. Hingga kini terdapat tinggalan umpak batu di situs itu yang dipercaya sebagai alat gamelan yang membatu tadi. Bentuknya memang menyerupai gong. Sumur tempat Putri Dedes dan Joko Lulo menceburkan diri pun masih dikenal dengan nama Sumur Windu.
Suwardono yakin Putri Dedes di Dewa Polowijen adalah tokoh yang sama dengan Ken Dedes yang pernah hidup di Desa Panawijen dalam Pararaton. “Hanya saja ada perubahan bunyi atas namanya, dari Dêdês, sebagaimana dalam Pararaton, menjadi Dedes dengan bunyi e pada kata ‘sentral’, menurut cerita tutur,” kata Suwardono.
Baca juga: Asal usul Ken Angrok
Dari tutur itu juga diketahuilah sebelum menjadi istri Tunggul Ametung, dia pernah dijodohkan dengan Jojo Lulo. Nama Joko Lulo tak ditemukan dalam Pararaton. Suwardono meyakini nama ini sebenarnya sebutan masyarakat Polowijen bagi Ken Angrok.
Berdasarkan Pararaton, Ken Angrok dilahirkan oleh Ken Endok dengan ayah yang gaib. Dengan begitu, bisa dibilang Ken Angrok mempunyai ayah yang tak jelas. Sementara menurut Nagarakrtagama, hanya disebutkan ayahnya Sang Girinatha atau Siwa. Dalam kalangan bangsawan istana pun akan menimbulkan persepsi, leluhurnya, Ken Angrok, dikenal sebagai seseorang yang lahir tanpa ibu.
“Jika mengikuti keduanya, akan didapatkan Ken Angrok lahir tanpa ayah dan ibu. Dalam lingkungan masyarakat Jawa ini disebut lola,” ujar Suwardono.
Menurut Suwardono Joko Lulo yang buruk rupa dalam kisah tutur sebenarnya merujuk pada perilaku Angrok yang buruk. “Sebetulnya bukan mukanya, tapi perilaku,” katanya.
Hal menarik lainnya dari kisah tutur ini adalah tempat asal Joko Lulo yang disebut dari Dinoyo. Di sekitar Desa Dinoyo ini terdapat Dukuh Karuman. Di sinilah Ken Angrok diaku dan mengaku sebagai anak Bango Samparan sebelum dia pergi berpetualang.
“Ketika Ken Angrok dewasa, dia dikenal bukan sebagai pemuda dari Pangkur, tempat lahirnya, tetapi pemuda dari Karuman,” kata Suwardono.
Baca juga: Di balik nama Ken Angrok
Bisa dimaklumi jika penduduk Polowijen lebih mengingat Dinoyo dibanding Karuman. Dinoyo adalah kota pemerintahan yang sudah dikenal sejak masa Kerajaan Kanjuruhan. Dinoyo bahkan masih dikenal hingga masa Mpu Sindok sebagai daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan.
“Sementara Karuman baru tercatat pada saat Pararaton digubah. Di dalam prasasti yang berkenaan dengan Malang tidak terdapat nama Desa Karuman,” ujar Suwardono.
Lagipula, kata Suwardono, secara rasional tak mungkin Ken Dedes langsung jatuh cinta dan menerima begitu saja orang yang membunuh suaminya. Alasan yang masuk akal apabila Ken Dedes sudah mengenal Angrok jauh sebelum dia dilarikan oleh Tunggul Ametung.
Begitupun Ken Angrok, alih-alih pertama melihat di Taman Boboji seperti versi Pararaton, justru sejak di Panawijen dia sudah menyadari kecantikan Ken Dedes.
“Makanya ketika Tunggul Ametung mati, yang membunuh jadi Kebo Ijo, Ken Angrok naik takhta, kalau nggak kenal duluan Ken Dedes nggak mungkin. Bukan kenalnya di Taman Boboji,” jelas Suwardono.
Baca juga: Siapa sebenarnya ayah Ken Angrok?
Apalagi mengingat tabiat Ken Angrok yang nakal. Dalam penjelajahannya berkeliling wilayah timur Gunung Kawi, dia menggagahi gadis-gadis yang ditemuinya. Sementara Pararaton memberitakan di Panawijen ada seorang putri pendeta yang cantik jelita, yaitu Ken Dedes.
“Eh ‘hidung’ kaya Ken Angrok masa nggak tahu di sana ada gadis cantik. Jelas sudah tahu,” kata Suwardono.
Ketika pada akhirnya Ken Dedes dilarikan Tunggul Ametung, sang Akuwu Tumapel, Mpu Purwa, dalam kutuknya seperti sudah tahu akan ada balasan setimpal bagi yang melarikan putrinya. Joko Lulo, yang menurut Suwardono adalah Ken Angrok itu, pasti tak akan tinggal diam melihat perempuan yang dia cintai dibawa lari. Tunggul Ametung akan dibunuh dan Putri Dedes akan direbut kembali.
“Makanya ketika dilarikan akuwu, akhirnya dia (Ken Angrok) dimanfaatkan, oleh bapaknya (Mpu Purwa) dan para brahmana,” tegas Suwardono.
Baca juga: Dendam membara Mpu Purwa