Masuk Daftar
My Getplus

Kondisi Perbatasan Sunda dan Jawa

Tome Pires, penjelajah Portugis, mencatat kondisi perbatasan Sunda dan Jawa.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 21 Agt 2019
Peta Jawa dari sekira abad ke-18 seakan menggambarkan Sunda dan Jawa yang terpisah pulau. (Wikipedia).

Sunda adalah tanah para kesatria. Pun bagi para pelaut. Pelaut-pelaut Sunda begitu pemberani dan selalu siap berperang. Keduanya lebih terkenal dibandingkan kesatria dan pelaut Jawa.

Demikian menurut penjelajah Portugis, Tome Pires dalam catatannya, Suma Oriental pada abad ke-16. Dia kerap membandingkan Sunda dengan Jawa. Menurutnya orang Sunda selalu bersaing dengan orang Jawa. Begitupun orang Jawa selalu ingin bersaing dengan mereka.

Dalam keseharian, orang Jawa dan Sunda tidak banyak berteman. Namun tidak pula bermusuhan. Mereka mengurus urusan masing-masing. Mereka saling berdagang. Tetapi jika bertemu di lautan sebagai bajak laut, pihak yang lebih siap akan lebih dulu menyerang.

Advertising
Advertising

“Serangan akan selalu terjadi di Cimanuk, tak peduli betapa pun erat hubungan atau pertemanan di antara mereka,” jelas pires.

Baca juga: Gajah Mada Segan pada Kerajaan Sunda

Pelabuhan Cimanuk menjadi pembatas kedua negeri itu. Sungainya membelah dan mengalir di antara wilayah Sunda dan Jawa.

Karenanya, kendati sama-sama ada di Pulau Jawa, orang akan mengira dua kerajaan itu berada di pulau yang berbeda. “Siapapun yang pernah datang ke tempat ini akan melihat bahwa kedua negeri sesungguhnya berada di tanah yang sama, karena dahan terluar dari pohon itu saling bersentuhan,” jelas Pires.

Di ujung sungai, ada Pelabuhan Cimanuk. Kata Pires, pelabuhan ini bukan tempat bagi jung untuk merapat, melainkan hanya tiang pelabuhan. “Demikian kabar yang disampaikan oleh orang-orang, sebagai lainnya mengiyakan,” kata Pires. 

Baca juga: Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires

Pelabuhan ini berada di bawah kekuasaan Raja Sunda. Cimanuk menjalankan perdagangan yang baik, di mana Jawa juga berdagang dengannya.

Di sana ada sebuah kota yang besar dan bagus. Para kapten dan penguasa di pelabuhan ini merupakan tokoh penting. Mereka semua ditakuti dan dipatuhi oleh penduduk yang hidup di wilayahnya masing-masing.

Banyak orang Moor, sebutan Pires bagi orang muslim, tinggal di perbatasan kerajaan itu. Kerajaan Sunda tak memberi izin bagi orang Moor untuk masuk ke wilayah mereka. Kecuali bagi sedikit saja dari mereka.

Baca juga: Muslim Pertama di Tatar Sunda

Jika menurut Pires perbatasan Sunda-Jawa pada abad ke-16 berada di Sungai Cimanuk, yang kini mengaliri wilayah Indramayu hingga Garut, itu berbeda pada masa yang lebih tua. Wilayah Kerajaan Sunda pada masa Pires sepertinya menyempit jika dibandingkan keterangan dalam catatan perjalanan Bujangga Manik.

Menurut Jacobus Noorduyn, ahli linguistik Belanda, catatan Bujangga Manik mungkin ditulis pada sekira perempat kedua abad ke-15. Tak mungkin lebih awal dari itu. Tak mungkin pula lewat dari 1511, yaitu ketika Malaka dirampas oleh orang Portugis.

Pada masa itu, menurut Noorduyn, masih disebut wilayah Kerajaan Majapahit membentang bertemu batas dengan wilayah Kerajaan Sunda. Sungai di Brebes menjadi pembelahnya. Sungai itu dulu disebut Cipamali. Sekarang ia disebut Kali Pamali.

“(Wilayah Majapahit, red.) meliputi seluruh bagian yang penduduknya berbahasa Jawa di pulau itu, kecuali mungkin daerah Demak,” jelas Noorduyn.

Baca juga: Meninjau Kembali Wilayah Kekuasaan Majapahit

Bujangga Manik, pertapa Hindu-Sunda, melakukan pengembaraan suci dari istana Pakuan (sekarang, Bogor), melewati wilayah utara Jawa bagian barat. Dia lalu menyusuri pantai utara Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga ke ujung Jawa bagian timur. Dari sana, dia kembali ke Sunda lewat selatan.

Dalam perjalanannya, Bujangga Manik melalui perbatasan budaya Sunda dan Jawa, yaitu Sungai Cipamali. Di perbatasan kedua negara ini rupanya ada tempat yang dikeramatkan. Sebelum menyeberang ke Jawa, dia menyempatkan diri singgah di Arega Jati kemudian ke Jalatunda. 

Agus Aris Munandar dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaha Sunda Kuna menjelaskan, Arega jati mungkin merupakan suatu perbukitan atau bukit yang dinamakan Jati. Sebab arega berasal dari kata Sanskerta, Agra yang artinya Gunung. Sementara Jalatunda merupakan petirtaan atau sumber air yang disucikan. 

Baca juga: Menggali Peninggalan Kerajaan Sunda Kuno

Sekarang, di dekat perbatasan Kabupaten Kuningan dan Brebes ada tiga puncak bukit yang disebut penduduk dengan Gunung Tilu. Bentuk tiga bukit berdekatan, dalam budaya Jawa kuno dan Sunda Kuno, merupakan jelmaan puncak Mahameru yang bergerigi. Sementara Arega Jati bisa berarti Gunung Sejati atau sejatinya gunung. Itu tak lain adalah simbol Gunung Meru, di mana dewa-dewa bersemayam.

Catatan Bujangga Manik tak banyak membandingkan kedua negara itu, sebagaimana yang dilakukan Pires. Namun, catatan itu setidaknya memuat informasi kalau waktu itu di wilayah Majapahit banyak pusat-pusat keagamaan terkenal, tempat Bujangga Manik mengabdikan dirinya sebagai pertapa dan meninggalkan kehidupan bangsawannya di Sunda.

Baca juga: Candi-candi Kerajaan Sunda Kuno

TAG

Sunda Majapahit

ARTIKEL TERKAIT

Selamatkan Negarakertagama dari Aksi KNIL Mengenang Dwitunggal Pembaharu Tari Sunda Kerajaan Tarumanagara dalam Berita Cina Mengatur Orang Asing di Jawa Kuno Akulturasi Budaya dalam Naskah Pegon Naskah Pegon Tertua di Jawa Koko Koswara, Pembaharu Karawitan Sunda Memahami "Preman" yang Diberantas Gajah Mada Kala Sumedang Larang di Bawah Kuasa Mataram Ketika Orang Sunda Mulai Berhaji