Setelah bercokol selama kurang lebih seabad, pada 25 Februari 1605, Portugis dipaksa hengkang dari Maluku. Masa kuasa Portugis di kepulauan rempah-rempah itu berakhir setelah ditikung oleh kompeni dagang Belanda (VOC). Salah satu syarat waktu garnisun Portugis menyerah ialah bahwa ada jaminan kebebasan beragama.
“Setelah beberapa bulan, perjanjian itu hanyalah huruf mati bagi orang Belanda,” tulis Antonio Pinto da Franca dalam Pengaruh Portugis di Indonesia.
Kedatangan bangsa Portugis ke Maluku telah dimulai sejak 1512. Usai menaklukkan bandar perdagangan Malaka pada 1511, Alfonso de Albaquerque mengirimkan satu tim ekspedisi menuju pusat produksi rempah-rempah. Tibanya armada Portugis yang dipimpin Francisco Serrao di Ambon sekembalinya membeli pala di Hitu, menarik perhatian Sultan Ternate, Abu Lais. Abu Lais menawarkan Portugis untuk mendirikan benteng di Ternate. Sebagai imbalannya, cengkeh yang dihasilkan Ternate akan dijual hanya kepada Portugis. Portugis bersedia dan menyepakati pembelian cengkeh dengan harga tinggi.
"Bagi sang sultan, selain menjanjikan keuntungan dan kekayaan yang lebih besar, aliansi dengan Portugis akan memperkuat posisinya dalam bersaing dengan penguasa pribumi lainnya, terutama Tidore dan Jailolo," tulis Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.
Baca juga: Kisah Martir Portugis di Aceh
Semasa menduduki Maluku, Portugis menikmati aktivitasnya di bidang ekonomi. Pasokan rempah-rempah yang berhasil dimonopoli selalu memenuhi lumbung kapal Portugis untuk di jual ke pasar dunia. Selain keuntungan dari hasil perdagangan, misi penginjilan Portugis berkembang dengan pesat.
“Sampai 1560, sebanyak 10.000 warga Ternate, Ambon, dan sekitarnya telah beralih ke agama Kristen (Katolik). Sementara di Moro, Misi Jesuit mengklaim sebanyak 47 komunitas Katolik disana. Tiap komunitas terdiri antara 700-800 orang,” tulis M. Adnan Kamal dalam Kepulauan Rempah-Rempah.
Namun kehadiran Portugis kerap memicu pertentangan kepentingan dengan Ternate maupun kerajaan tetangga. Ketegangan terhadap Portugis ditambah dengan meluasnya populasi Katolik Maluku. “Campur tangan Portugis dalam soal-soal intern kerajaan membawa mereka terlibat dalam pertikaian politik antarkerajaan, pada umumnya lebih merugikan daripada menguntungkan,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium.
Menurut Francois Valentijn, misionaris zaman VOC dalam Oud en Nieuw Oost Indien sebagaimana dikutip Kamal, para sultan di Kepulauan Maluku: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo bermufakat untuk mengenyahkan orang-orang Kristen dari Maluku. Segi-segi politik kesepakatan ini ditangani Sultan Hairun dari Ternate. Sementara upaya militer diserahkan kepada Katarabumi, perdana menteri Jailolo.
Baca juga: Akhir Tragis Sultan Ternate di Tangan Portugis
Perseteruan Portugis dengan kerajaan-kerajaan lokal di Maluku memuncak dengan terbunuhnya Sultan Hairun pada 1570. Gubernur Portugis, Diego Lopez de Mesquita menyuruh seorang prajurit yang juga keponakannya bernama Antonio Pimental untuk menikam Hairun dengan sebilah keris. Jenazah Hairun saat pembunuhan terjadi, ditenggelam ke laut. Peristiwa itu menjadi tonggak petaka bagi Portugis.
Sultan Baabulah, penerus takhta Ternate, bersumpah menuntut balas atas kematian ayahnya. Semua raja di Maluku bersatu dan berikrar akan membantu Baabulah. Kerajaan-kerajaan lokal yang dipimpin Ternate mengepung akses laut Portugis menuju Malaka dan Goa (India). Benteng Portugis di Gamlamo (Gamalama) dikepung sehingga orang-orang Portugis hidup terisolasi. Sebaliknya, Ternate mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Baabulah. Ternate dibuka menjadi pelabuhan bebas yang ramai dikunjungi bangsa-bangsa pedagang.
Pada tahun 1580, Portugis yang berunifikasi dengan Spanyol membentuk basis militer di Tidore. Sejak itu, pasukan gabungan Portugis berkali-kali mengirimkan ekspedisi militer untuk merebut kembali Gamlamo maupun kerajaan di sekitarnya.
Baca juga: Inilah Tiga Orang Jawa yang Membahayakan Portugis
Musuh lokal Portugis di Maluku semakin bertambah ketika pada 1601, armada laut Portugis berkekuatan 30 kapal yang dipimpin Andre Hurtado de Mendoca menyerang kapal-kapal Belanda di pantai Ambon. Mereka bertekad, setelah menghancurkan Belanda kepulauan itu akan diperbolehkan berdagang dengan Portugis saja. Karena tidak berhasil, “orang-orang Portugis menuju ke Hiton, ibukota Ambon, lalu membantai semua penduduk kota itu, menebang semua pohon cengkeh dan memperkuat benteng pertahanan mereka di sana,” tulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: dari Abad XVI sampai dengan Abad XX.
Di tahun yang sama, terbentuk persekutuan anti-Portugis antara VOC dan penduduk Hitu di Ambon. “Dari persekutuan tersebut, VOC mendapat imbalan berupa hak tunggal untuk membeli rempah-rempah dari Hitu,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Pada bulan 23 Februari 1605, kapal-kapal VOC menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon. Benteng pertahanan Portugis diserang bertubi-tubi dan berhasil dijebol. Dua hari kemudian, Portugis yang diwakili capitan benteng, Gaspar de Mello menyerahkan benteng Portugis tanpa perlawanan kepada VOC. Penyerahan bersyarat itu menetapkan pasukan Portugis yang bersenjata harus keluar dari wilayah Maluku dan bagi mereka yang ingin tetap tinggal harus bersumpah setia kepada Belanda. Seorang gubernur berbangsa Belanda diangkat untuk memerintah di sana atas nama Staten Generaal (parlemen Belanda).
Baca juga: Misi Gagal Spanyol-Portugis Mengusir Belanda dari Nusantara
Menurut Bernard Dorleans, penggunaan kapal-kapal besar jenis caraque menjadi penyebab kekalahan Portugis. Caraque buatan portugis yang berbobot mati 1500-2000 ton merupakan kapal model Eropa yang terbesar pada zaman itu. Mengingat bobotnya yang besar, caraque sangat cocok dalam kegiatan perniagaan tetapi tidak sesuai untuk peperangan laut.
Dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara:Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia karya Paramita Rahayu Abdurachman, sebanyak 32 keluarga Portugis yang tersisa di Ambon mengungsi ke pegunungan wilayah Soya. Mereka diberi suaka sebidang tanah oleh Raja Soya dan berbaur dengan penduduk setempat.
Era kompeni mulai menggantikan pengaruh Portugis di Maluku. Setelah beberapa generasi, orang Portugis yang tersisa memeluk agama Protestan yang dibawa misionaris Belanda.