Masuk Daftar
My Getplus

Candrasengkala Prasasti Batutulis

Para ahli silang pendapat mengenai angka tahun prasasti Batutulis di Bogor. Manakah yang paling mendekati?

Oleh: Yudi Anugrah Nugroho | 18 Mar 2015
Tempat penyimpanan prasasti Batutulis di Bogor. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.

ADOLF Winkler, seorang kapten VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), dibantu seorang ahli ukur, 16 pasukan Eropa, dan 26 orang Makassar, melakukan ekspedisi untuk membuat peta lokasi “bekas kerajaan Pajajaran”. Pedomannya: hasil laporan ekspedisi pertama pasukan VOC yang dipimpin Sersan Scipio tiga tahun sebelumnya.

Pada 25 Juni 1690, rombongan Winkler tiba di daerah yang kini dikenal dengan daerah Batutulis, Bogor. Mereka mendapati batu prasasti setinggi dua hasta yang memuat informasi penting terkait sejarah Sunda Kuna. Winkler mencatat temuannya dalam Daghregister 1690.

Laporan Winkler memantik perhatian orang-orang Eropa untuk menyelidiki lebih lanjut prasasti Batutulis. Hasil penyelidikan mereka hanya membahas letak dan betuk prasasti Batutulis. Penelitian epigrafis baru dilakukan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 1817, yang dituangkan dalam karya monumental, The History of Java. Raffles melampirkan transkripsi prasasti Batutulis sebagai objek penyelidikannya, namun dia menyebut kondisi prasasti itu kurang baik.

Advertising
Advertising
Sarjana Belanda, R. Friederich, menentang pendapat itu. Dalam “Verklaring van den Batoe-toelis van Buitenzorg,” dimuat jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, I. 1853, dia menganggap prasasti itu masih layak baca. Walaupun hasil kajiannya menyisakan celah soal transliterasi, dia merupakan perintis kajian isi prasasti Batutulis. Dia membuat alih aksara dan terjemahan ke bahasa Belanda lengkap dengan transkripsinya pada 1853.

Prasasti Batutulis, yang memuat teks beraksara Jawa Kuna dalam sembilan baris susunan dan berbahasa Sunda Kuna, tak seluruhnya menampilkan bentuk aksara yang tampak dan ajeg. Satu aksara di depan frasa ban yang hanya tampak tanda diakritik (pepet) merupakan objek yang kerap diperdebatkan dan ditafsir ulang para ahli. Pasalnya ia berkaitan dengan candrasengkala atau atau kronogram (gambaran waktu dalam penentuan angka tahun) prasasti Batutulis.

Candrasengkala itu berbunyi panca pandawa ban bumi. Dalam “Het jaartal op den Batoe-toelis nabij Buitenzorg”, jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, LIII, 1911, etnolog Belanda, CM Pleyte, menafsirkan aksara yang tidak terbaca di depan kata ban adalah huruf Ä›, kemudian dia menyisipkan huruf m, menjadi emban (Ä›(m)ban). Pleyte memberi taksiran bahwa kata emban beroleh angka empat berdasar jumlah panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dengan demikian jumlah sengakalan itu; panca (5), pandawa (5), emban (4), dan bumi (1). Jadi, prasasti Batutulis bertarikh 1455 Çaka atau 1533 M.

Taksiran angka tahun Pleyte disanggah sejarawan Hoesein Djajadiningrat. Dia menjadi bumiputera pertama yang mengkaji prasasti Batutulis, dalam disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten pada 1913 di Rijksuniversiteit Leiden. Tanpa alasan pasti, Hoesein berpendapat bahwa ngemban lebih patut berangka tiga. Sehingga, angka tahun prasasti Batutulis ialah 1355 Çaka atau 1433 M.

Pendapat lain dipaparkan ahli epigrafi Poerbatjaraka. Dalam “De Batoe-Toelis bij Buitenzorg” jurnal TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), 59, 1920, dia menyebut frasa ngemban adalah dua. Dasarnya, arti kata ngemban yang bermakna menggendong atau mengemban/mengutus selalu berjumlah dua: menggendong dan yang digendong, mengutus dan yang diutus. Jadi, tarikh prasasti Batutulis ialah 1255 Çaka atau 1333 M.

Hasan Djafar, ahli epigrafi yang kerap mengkaji prasasti masa kerajaan Sunda, mencoba menjernihkan silang pendapat para ahli. Dia menyelaraskan angka tahun yang dipaparkan para ahli dengan masa bertahta raja yang mengeluarkan prasasti Batutulis.

Bila merujuk pendapat Hoesein, angka tahun Batutulis bertepatan dengan masa Niskala Wastukancana bertahta (1363-1467). Sedangkan pendapat Poerbatjaraka justru menempatkan prasasti Batutulis pada masa Prabu Maharaja (1350-1357) yang tewas di tanah lapang Bubat. Kedua pendapat itu, menurut Hasan, berbeda jauh dari informasi dalam prasasti. Isi prasasti Batutulis menyebut bahwa prasasti dibuat pada masa Prabu Surawisesa bertahta untuk mengenang jasa-jasa Prabu Ratu, cucu dari Niskala Wastukancana yang mangkat di Nusalarang. Prabu Ratu dinobatkan dengan nama Prabu Dewataprana, dan kembali dinobatkan bernama Sri Baduga Maharaja yang mangkat di Gunatiga.

“Dari Carita Parahiyangan dan Pustaka Rajya I Bhumi Nusantara, terutama parwa IV, Sarga I, diketahui bahwa Prabu Surawisesa memerintah pada tahun 1521-1535 dan berkedudukan di Pakuan-Pajajaran,” ujar Hasan kepada Historia. “Maka angka tahun yang paling mendekati adalah angka tahun 1433 M.” Pendapat Hasan Djafar selaras dengan tafsiran Pleyte.

Isi prasasti Batutulis, menurut Hasan, dapat dibagi menjadi tiga bagian: pembuka (manggala) yang memuat seruan wang na pun dan permohonan keselamatan kepada Dewa; tujuan (sambandha) pembuatan prasasti sebagai sakakala atau tanda peringatan untuk mendiang Sri Baduga Maharaja atas jasanya dalam membuat parit pertahanan sekeliling ibukota Pakuan-Pajajaran, membuat jalan yang diurug batu, membuat hutan larangan (samida), dan membuat Telaga Warna Mahawijaya; titimangsa atau candrasengkala bertulis panca pandawa ngemban bumi berangka 1455 Çaka atau 1533 M.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Sebelum Jenderal Symonds Tewas di Surabaya Menyibak Warisan Pangeran Diponegoro di Pameran Repatriasi Perjuangan Pasangan Sutomo dan Sulistina dalam Masa Revolusi Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Presiden Bayangan Amerika Serikat Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan Jalan Sunyi Asvi Warman Adam Meluruskan Sejarah Kisah Tukang Daging yang Menipu Bangsawan Inggris Park Chung Hee, Guru Gagal Jadi Diktator Korea Selatan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk