Masuk Daftar
My Getplus

Candi Misterius di Pedalaman Sumatra

Untuk tujuan apa dibangun banyak candi di Kompleks Percandian Muaro Jambi?

Oleh: Risa Herdahita Putri | 03 Jan 2020
Candi Tinggi, salah satu bangunan candi di Kompleks Percandian Muarajambi, Jambi. (Risa Herdahita Putri/Historia).

Ignatius Suharno, arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, menunjukkan sebuah peta yang berisi titik-titik merah dan garis meliuk-liuk biru. Ia menjelaskan titik-titik merah itu mewakili candi dan garis biru mewakili kanal-kanal yang melingkupinya. 

Ada sekira sebelas kompleks candi yang tersebar di kawasan seluas 3000-an ha. Itu baru jumlah yang sudah dinamai dan dibuka untuk pengunjung. Selain itu masih ada puluhan gundukan tanah yang diduga di dalamnya menyimpan struktur bangunan kuno.  

"Ada 80-an menapo atau gundukan tanah yang mengandung reruntuhan bangunan kuno," kata Suharno, ketika ditemui di kawasan Candi Tinggi, salah satu candi dalam gugusan Kompleks Percandian Muarajambi, di Muaro Jambi, Jambi.

Advertising
Advertising

Candi yang sudah nampak dan punya nama panggilan di antaranya Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. 

Datuk Ibrahim Akbar, mantan Kepala Desa Muaro Jambi tahun 1980-an, menyebut nama-nama itu merupakan ciptaan masyarakat sekitar candi. Candi Tinggi misalnya, dinamai begitu karena masyarakat melihat candi itu berupa gundukan tanah yang paling tinggi di antara lainnya. 

Baca juga: Mencari Sriwijaya di Jambi

Kendati begitu, pria berusia 73 tahun itu, belum lahir ketika akhirnya candi-candi di sana ditemukan kembali. Ia hanya mendengar cerita itu dari para pendahulunya. 

Candi-candi di Muaro Jambi mulai ditemukan pada 1820 oleh seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke. Setelahnya berbagai penelitian pun dilakukan.

Pada 1954, akeolog R. Soekmono melakukan peninjauan terhadap peninggalan purbakala di Sumatra Selatan. Ia lalu mampir ke Muaro Jambi yang dulunya masih menjadi bagian wilayah itu. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain Candi Astano, Gumpung, dan Tinggi. Ketiganya masih berupa gundukan tanah tertutup rapat vegetasi hutan. 

Pembersihan kawasan candi baru dilakukan pada 1976. Dari situ nampaklah tujuh reruntuhan candi: Kotomahligai, Kedaton, Gedong I, Gedong II, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, dan Astano. 

Pemugaran dilakukan dua tahun kemudian. Penelitian arkeologi mulai aktif dilakukan sejak 1981. Awalnya oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Lalu dilanjutkan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi dan Balai Arkeologi Sumatra Selatan.

“Dari dulu sudah tahu ini namanya candi, tapi tak tahulah untuk apa. Kerajaan tahunya. Tapi tak tahu ini kerajaan apa,” kata Ibrahim.

Untuk Keagamaan dan Pendidikan

Candi-candi di Muaro Jambi tersebar dari barat ke timur, sepanjang 7,5 km, mengikuti aliran Sungai Batanghari. Memang belum jelas betul dulunya bangunan-bangunan kuno itu dipakai untuk apa. Banyak peneliti yang mengaitkan sisa-sisa bangunan itu dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh I-Tsing pada abad ke-7.

Sementara Suharno, yang memelihara dan melestarikan kompleks percandian di Muaro Jambi menjelaskan, sejauh ini bangunan-bangunan kuno itu ditafsirkan pernah berfungsi sebagai pusat keagamaan. 

“Perlu dibedakan antara pusat kerajaan dan pusat keagamaan. Masyarakat kalau bicara candi, pikirnya pasti ini pusat kerajaan," katanya. "Padahal ini pusat keagamaan. Muarajambi ini pusat keagamaan Buddha."

Baca juga: Mengunjungi Tempat Belajar I-Tsing

Tanda-tandanya, antara satu candi dan candi lainnya dibatasi oleh pagar keliling. Ini untuk membagi wilayah sakral dan profan. "Ada kolam, setiap candi pasti dilengkapi kolam. Air melambangkan kesucian," lanjutnya. 

Itu dikuatkan hasil penelitian Musawira, lulusan arkeologi Universitas Jambi. Khususnya di Candi Gumpung, dia melihat adanya bekas-bekas kegiatan agama pada masa lalu berupa temuan bata setengah lingkaran yang merupakan bagian dari stupa. Ada pula lantai pradaksina patha pada candi induknya. Pradaksina patha adalah lantai untuk melakukan ritual pradaksina, yaitu mengelilingi candi searah jarum jam.  

Di depan candi induk itu, ditemukan pula dua kolam. “Sebelum ritual mereka mensucikan diri, lalu mereka ke candi induk melakukan pradaksina. Kemungkinan yang di candi induk untuk para petinggi, nah yang di perwara (candi pendamping, red.buat umat kebanyakan," kata Musawira. 

Baca juga: Pertukaran Pelajar antara Sriwijaya dan Nalanda

Sementara Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog Universitas Jambi, ketika ditemui di Kompleks Percandian Muarajambi, mengatakan dengan banyaknya candi di dalam kompleks percandian itu, belum ada yang membahas masing-masing fungsinya. “Apakah terus digeneralisir? Kan harus dijawab masing-masing fungsinya. Belum ada sejauh ini,” katanya.

Jika Candi Gumpung digunakan untuk kegiatan ibadah, bagaimana dengan Candi Kedaton yang memiliki begitu banyak ruang dan halaman? Di kompleks candi seluas 5 ha itu ditemukan pula sumur dan kuali kuno.

“Di Kedaton, apakah itu asrama? Ada sumur, ada kuali di sana. Apakah biksu waktu itu memasak? Apakah mereka melibatkan warga lokal? Penyuplai beras siapa? Dari mana suplainya?” ujarnya. 

Baca juga: Tempat Pendidikan Buddha di Nusantara

Kajian fungsi bangunan pernah dilakukan arkeolog Agus Widiatmoko dalam disertasinya. Kesimpulannya, bangunan yang berpagar sedikit, misalnya satu, diidentikan dengan bangunan keagamaan.

“Pembagian ruang yang lebih banyak itu pendidikan. Apakah belajar atau asrama ini perlu dijawab,” kata Asyhadi.

Namun, menurut pria yang akrab disapa Didi itu, penemuan arca Prajnaparamitha bisa dijadikan penguat pendapat itu. Tokoh itu identik sebagai Dewi Pengetahuan dan Kebijaksanaan. “Jadi relasinya dengan pengetahuan,” kata Asyhadi. 

Ada pula arca Dwarapala, atau arca penjaga yang ditemukan di Candi Gedong II. Di Muarajambi karakter penokohannya berbeda dengan di kebanyakan candi. “Di sini (Dwarapala, red.) senyum, tak ada seram-seramnya. Malah sangat welcome. Ini artinya mungkin menyambut bukannya menjaga sesuatu dengan seram,” lanjutnya.

Baca juga: Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya 

Pun dilihat dari lokasinya, menurut Asyhadi, gugusan Kompleks Percandian Muarajambi secara keseluruhan cocok sebagai tempat belajar atau berupa mahavihara. Dalam membangun mahavihara para pendirinya pasti memilih lokasi yang jauh dari keramaian. Kalau tak di gunung, maka di tengah hutan.

“Untuk mencari tempat yang sunyi dan cocok untuk belajar, jauh dari godaan duniawi,” kata Asyhadi. “Kita lihat sekarang sungai ini (Batanghari, red.) begitu luas dan lebar. Bayangkan ribuan tahun lalu mungkin lebih lebar lagi, artinya akses lalu lalang susah dan jarang dilakukan.”

Adapun gaya arsitektur candi di Kompleks Percandian Muarajambi yang polos dan sederhana bisa memperkuat dugaan kalau percandian itu memang berkaitan erat dengan pendidikan. “Kalau untuk peribadatan akan digunakan yang lebih raya. Namun lagi-lagi tulisan yang membahas ini secara spesifik belum ada,” kata Asyhadi. 

TAG

candi muaro jambi sriwijaya

ARTIKEL TERKAIT

Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Di Balik Arca Prajnaparamita, Nandi dan Bhairawa Puncak Seni Arca dari Candi Singhasari Empat Arca Warisan Singhasari Akhirnya Tiba di Tanah Air Candi Singhasari dalam Catatan Thomas Stamford Raffles Perjalanan Arca Candi Singhasari Kembali ke Indonesia Menemukan Kembali Peradaban yang Hilang dengan Lidar Teknologi Pemindai Muarajambi Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Jambi