Desa Lamreh terletak di Kecamatan Mesjid Raya, Kabupatan Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di sana terdapat tinggalan Kerajaan Lamuri berupa bangunan seperti benteng, kompleks pemakaman, dan bekas hunian yang ditandai sebaran fragmen keramik.
Di pemakaman itu ditemukan beberapa nisan unik. Berbentuk tugu persegi yang meruncing ke atas seperti piramida. Penduduk setempat menyebutnya plakpling.
Menurut Repelita Wahyu Oetomo, peneliti dari Balai Arkeologi Medan, nisan itu mungkin bentuk peralihan dari masa pra-Islam ke Islam. Pasalnya, bentuk nisan itu menyerupai lingga dan menhir. Salah satu nisan ditemukan di dalam Benteng Kuta Lubuk. Cirinya menunjukkan masa yang jauh lebih tua daripada benteng itu.
Baca juga: Catatan tentang Islamisasi di Sumatra
Di nisan itu tertulis: “...assulthan Sulaiman bin Abdullah bin al Basyir Tsamaniata wa sita mi’ah 680 H (1281 M).”
Bila Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al Basyir wafat pada 680 H (1281 M), artinya masyarakat Lamreh telah lama mengenal Islam. Hal ini diketahui dari nama ayah dan kakek Sultan Sulaiman Abdullah bin Basyir yang berbau Islam.
Pertanggalan itu pun menunjukkan umur yang lebih tua dibandingkan nisan milik Sultan Malik as-Shaleh dari Kerajaan Samudera Pasai yang bertarikh 696 H (1297). Banyak sejarawan menjadikan nisan itu sebagai tanda masuknya Islam di Nusantara sekaligus bukti keberadaan Kerajaan Samudera Pasai.
Dengan demikian, menurut Repelita, Samudera Pasai dengan rajanya Malik as-Shaleh bukan merupakan kerajaan Islam tertua di Nusantara.
“Lamuri berkembang menjadi Kerajaan Islam yang cukup besar sebelum Samudera Pasai berdiri. Namanya sudah dikenal sejak masa Hindu-Buddha,” tulis Repelita dalam “Lamuri Telah Islam Sebelum Pasai” termuat di Jurnal Berkala Arkeologi Sangkhakala.
Lebih lanjut Repelita menjelaskan keberadaan Lamuri lama diperhitungkan berkat hasil alamnya. Letaknya cukup penting yaitu di wilayah perairan Selat Malaka. Kepopuleran Lamuri paling tidak sudah bertahan sejak abad ke-10 karena pada 916 penjelajah Arab, Abu Zaid Hasan, telah mencatat Lambri sebagai Rami/Ramni.
Baca juga: Ibnu Battuta Singgah di Samudra Pasai
Catatan tertua lainnya tentang Kerajaan Lamuri muncul dalam Prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil dari tahun 1030. Prasasti ini dibuat Raja Rajendra Cola I dari Kerajaan Cola di India Selatan.
Ilamuridesam dalam prasasti itu diterjemahkan oleh George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, sebagai Lamuri yang berada di ujung utara Sumatra. Ilamuridesam adalah salah satu negara yang ditaklukkan ketika Kerajaan Cola menyerbu Sriwijaya.
“Lambri kemudian berubah menjadi mandala kerajaan Tamil itu,” tulis O.W. Wolters dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII.
Baca juga: Ekspansi Raja Cola sampai Sriwijaya
Kendati demikian, pada 1225, Zhao Rugua, orang Tiongkok yang sering mengunjungi pelabuhan di Sumatra, menyebut bahwa Nanwuli atau Lambri membayar upetinya kepada Sanfoqi (Sriwijaya).
Sementara pada masa berikutnya, Mpu Prapanca dalam Negarakrtagama, menggambarkan Lamuri sebagai negeri yang mendapat pengaruh Majapahit.
Lamuri terus disebut dengan berbagai nama. Orang-orang Arab, Marco Polo, Biarawan Oderic, dan penjelajah abad pertengahan lainnya, menyebut Lamuri sebagai Lamori atau Lambri.
Marco Polo, penjelajah Italia, pada 1292 menyebut Lambry sebagai salah satu tempat di utara Sumatra. Dia mencatat, kerajaan itu telah mengaku tunduk pada Kaisar Mongol, Kubilai Khan.
Menurut W.P. Groenevledt, Lan-bu-ri yang diterjemahkan menjadi Lambri muncul dalam catatan salah seorang jenderal utusan Kubilai Khan, Ike Mese. Catatan itu termuat dalam Sejarah Dinasti Yuan dari abad ke-13. Disebutkan ketika pasukannya tiba di Champa dalam perjalanannya ke Jawa, mereka mengirimkan sejumlah utusan ke beberapa negara untuk meminta pernyataan tunduk kepada Tiongkok. Lambri dan Sumatra ada di antara negara-negara itu.
Baca juga: Kegagalan Khubilai Khan di Jawa
Lambri masih disebut kemudian dalam catatan Cheng Ho, yang termuat dalam Sejarah Dinasti Ming dari abad ke-15. Lambri termasuk di antara 30 negara yang dia singgahi dalam ekspedisinya.
Groeneveldt juga mengidentifikasi Lam-bo-li sebagai Lambri dalam catatan Ma Huan, penerjemah resmi Cheng Ho. Lewat Yingya Shenglan, Ma Huan cukup panjang lebar menjabarkan Lambri. Menurutnya negeri itu terletak di sebelah barat Sumatra dan berjarak tiga hari pelayaran. Waktu itu, dari 1.000 keluarga yang mendiaminya, seluruhnya sudah memeluk Islam. Begitu pula rajanya.
“Ketika kapal Tiongkok merapat di Lambri, raja menggunakan kesempatan ini untuk mengirim upeti ke Tiongkok,” catat Ma Huan.
Baca juga: Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit
Adapun penjelajah Portugis, Tome Pires dalam Suma Oriental, menceritakan bahwa Aceh merupakan negeri pertama yang dia temukan setelah menelusuri Pulau Sumatra. Sementara Lamuri terletak tepat setelahnya. Wilayah ini membentang hingga ke pedalaman.
"Laporan Portugis masih menyebut Lambri pada 1511," tulis Wolters. "Tetapi pusat perdagangan kerajaan baru yang disebut Aceh, beberapa kilometer lebih ke timur, segera menggantikannya."
Baca juga: Islamisasi Jawa Menurut Tome Pires