Masuk Daftar
My Getplus

Catatan tentang Islamisasi di Sumatra

Bagaimana penjelajah asing mencatat proses Islamisasi di Sumatra?

Oleh: Risa Herdahita Putri | 21 Des 2018
Peta Sumatra 1588

PERDEBATAN soal kapan pertama kali Islam masuk ke Nusantara belumlah khatam. Sebagian percaya Islamisasi dimulai abad ke-7. Lainnya tak yakin dan menilai Islam baru masuk ke Nusantara sekira akhir abad ke-12 M.

Arkeolog Uka Tjandrasasmita salah satu yang percaya Islam masuk sejak abad ke-7 M. Sedangkan abad ke-13 M adalah pertumbuhannya menjadi kerajaan bercorak Islam. Namun menurutnya hingga abad ke-13 M tahapan masuknya agama Islam masih terbatas di daerah Selat Malaka.

Baca juga: Mempertanyakan kembali teori Islamisasi di Nusantara

Advertising
Advertising

Sebenarnya ada isyarat kalau pada abad ke-7 sampai ke-8 M Islam sudah masuk Sumatra.

S.Q. Fatimi pada 1963 lewat jurnalnya berjudul “Two letters from the Maharaja to the Khalifah” dalam Islamic Studies menyebutkan raja Sriwijaya pernah mengirim surat kepada dua raja Arab: Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umaiyah (661-680 M), dan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M). 

Kedua surat itu ditemukan sastrawan al-Jahiz di arsip Dinasti Umayyah. Isinya maharaja Sriwijaya meminta raja Arab mengirim guru untuk mengajar Islam di Sriwijaya. Namun, tak diketahui apakah masing-masing raja Arab itu memenuhi permintaan maharaja Sriwijaya. Yang jelas, kata guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, kedua surat itu menunjukkan kalau para pelaut, pedagang muslim pendatang tidak memperkenalkan Islam kepada maharaja Sriwijaya. 

"Sehingga dia merasal perlu meminta guru yang mengajarkan Islam," kata Azra dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7 2018.

Baca juga: Adakah peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?

Azra menyebut periwayatan al-Ramhurmuzi dalam kitab Ajaib al-Hind yang ditulis sekira 390 H (1000 M), sumber Timur Tengah paling awal tentang Nusantara. Isinya tentang kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Penuturannya mengindikasikan Islam sudah ada di Nusantara pada abad ke-10 M dengan adanya orang muslim di Sriwijaya. 

"Tapi nampaknya muslim itu orang asing. Sebaliknya tak ada indikasi kalau penduduk lokal telah masuk Islam apakah dalam jumlah relatif kecil, apalagi massal," ujar Azra. Lebih lanjut dia menegaskan lebih yakin proses Islamisasi di Nusantara mulai terjadi pada akhir abad ke-12 M.

Kesultanan Perlak

Keberadaan Kesultanan Perlak yang dipercaya berdiri abad ke-9 M, Uka Tjandrasasmita meragukannya. Dalam makalahnya, “Pasai dalam Dunia Perdagangan” yang terbit di Pasai Kota Pelabuhan Jalan Sutra: Kumpulan Makalah Diskusi, Uka menulis keberadaan Perlak masih perlu diteliti. Apakah menjelang kedatangan Marco Polo ke sana atau jauh sebelumnya sudah berkembang.

Sepulang dari Tiongkok, penjelajah asal Venesia itu singgah di pesisir Selat Malaka pada 1292 M. Dia menceritakan di Ferlec (Perlak), sekarang Aceh timur, sudah terdapat pedagang Saracen yang berdatangan dengan kapal-kapalnya secara teratur. Merekalah yang mengenalkan hukum Islam kepada penduduk Perlak. Dulunya, orang-orang di Perlak adalah penyembah berhala.

“Jadi, paling tidak beberapa tahun sebelumnya Perlak sudah didatangi pedagang muslim,” kata Uka.

Baca juga: Kerajaan-kerajaan misterius di Pulau Sumatra

Kendati begitu, menurut Marco Polo, yang berubah kepercayaan rupanya hanya penduduk kota. Mereka yang tinggal di pegunungan hidup seperti binatang dan menyembah berbagai hal. Apapun yang mereka lihat pertama kali ketika bangun tidur di pagi hari, maka itulah yang mereka sembah.

Marco Polo menyaksikan kondisi tak berbeda di Samudera atau yang dia sebut dengan Sumatra. Tempat itu yang kemudian menjadi pelabuhan terkemuka bernama Pasai. Dia melewatkan lima bulan di sana. Katanya penduduk di sana adalah penyembah berhala. Orang-orangnya liar. Agaknya 53 tahun kemudian kondisi di Samudera sudah jauh berbeda. Ini disaksikan Ibn Battuta, pelawat Maroko yang mampir ke Samudera Pasai pada 1345.

Baca juga: Ibnu Battuta singgah di Samudera Pasai

Dalam Rihla Ibnu Batutah, Ibnu Battuta berkisah tentang pertemuannya dengan sultan ketiga Samudera Pasai, Sultan Malik al-Zahir II. Sang sultan merupakan muslim yang saleh, menjalankan Islam dengan penuh semangat. Sementara itu dia tak menyebut Perlak.

“Satu hal yang penting, mereka yang menjemput (Ibnu Battuta di pelabuhan, red.) adalah ulama dari mancanegara, yang dilihat dari namanya berasal dari Persia,” kata Azra.

Ketika itu Samudera Pasai merupakan kesultanan yang kosmopolitan. Kendati keislaman di kesultanan sudah kuat, wilayah Pasai masih belum sepenuhnya Islam. Di sana masih banyak warga yang belum Islam.

“Dia (sultan, red.) sering terlibat dalam perang agama melawan orang-orang kafir maupun dalam misi penyerangan. Mereka menguasai orang kafir yang tinggal di daerah sekitar, yang akan membayar pajak kepada mereka demi mempertahankan kedamaian,” tulis Ibnu Battuta.

Kesultanan Samudera Pasai

Sekira dua abad berikutnya, penjelajah asal Portugis, Tome Pires datang memberikan kesaksian yang lebih lengkap soal Sumatra terutama Samudera Pasai. Perlak tak lagi muncul dalam kesaksiannya. Padahal dia menyebutkan nama-nama kerajaan lainnya di Sumatra.  

Baca juga: Islamisasi Jawa menurut Tome Pires

Menariknya, kata Pires, Pasai dulunya diperintah oleh raja Pagan. Ketika dia datang, 160 tahun seudah berlalu sejak raja pagan itu digulingkan oleh pedagang Moor yang licik. Waktu itu, orang Moor sudah menguasai pesisir pantai. Mereka akhirnya mengangkat seorang raja Moor yang berasal dari kasta Bengal. Mulai saat itu, Pasai selalu dipimpin oleh orang Moor.

“Semua penduduknya yang berada di pesisir pantai di sisi Terusan Malaka beragama Moor. Meski demikian, hingga kini mereka masih berlum berhasil mengubah kepercayaan masyarakat pedalaman,” lanjut Pires.

Dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia, Uka Tjandrasasmita menjelaskan munculnya kerajaan Samudera Pasai dapat dihubungkan dengan kondisi politik Kerajaan Sriwijaya yang mulai melemah. Kerajaan maritim itu tak lagi mampu menguasai daerah kekuasaannya.

Situasi itu kemudian dipergunakan oleh orang muslim. Tak hanya untuk membentuk perkampungan perdagang yang ersifat ekonomis. Namun juga untuk membentuk struktur pemerintahan, yang menurut cerita tradisi Hikayat Raja Pasai, dengan mengangkat Marah Silu, kepala suku Gampong Samudera, menjadi Sultan Malik as-Salih. Dialah sultan pertama Samudera Pasai.

Adapun Perlak sudah merupakan kerajaan bercorak Islam ketika Marco Polo datang dengan sultannya, Marhum Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Pada masa pemerintahan Raja Muhammad Amin Syah (1225-1263 M) terjadi pernikahan antara putri dari Perlak bernama Ganggang Sari dengan Marah Silu yang kemudian mendirikan Kerajaan Samudera Pasai.

Tentunya versi cerita tradisi ini agak berbeda dengan penuturan Tome Pires yang menyebut raja Samudera Pasai adalah orang Moor. Namun pastinya bahkan pada masa Samudera Pasai pun mayoritas masyarakat Nusantara belum memeluk Islam. Apalagi di Jawa, Majapahit masih berkuasa. Di Nusantara, pada abad ke-13 M, proses Islamisasi itu masih berlangsung.

TAG

Islam

ARTIKEL TERKAIT

Mengungkap Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah Jalan Spiritual Kartini Patra Mokoginta Gagal Jadi Raja dan Dibuang Teror Darul Islam Mengintimidasi sampai ke Alam Mimpi Jaringan Kosmopolitan Islam dan Komunis dalam Arus Revolusi Menengok Transformasi Peranan Tarekat Islam Mengenal Tokoh Haji Misbach Komunis Agen Syiar Islam di Belantara Papua Lika-liku Hamas di Jalur Gaza Tiga Peristiwa yang Terjadi September 1965