“Poligami merupakan praktik yang merugikan penduduk dan menyebabkan kesengsaraan. Namun praktik ini diperbolehkan di Jawa, seperti di banyak negara Islam lainnya, baik secara hukum atau agama. Kendati tak banyak yang mempraktikannya.”
Begitu Thomas Stamford Raffles menulis dalam History of Java. Dia menyamakan praktik poligami yang berlaku di Jawa dengan praktik yang sama di negara Islam lainnya. Padahal, kata Justito Adiprasetio dalam Sejarah Poligami, praktik ini sebenarnya melanjutnya tradisi dari masa kerajaan Hindu-Buddha.
Sejarawan Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Jawa menyebutnya sebagai politik penyambung dengan daerah bawahan. “Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton dalam tahun-tahun menjelang Perang Jawa, adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk berprokreasi,” tulis Carey.
Baca juga: Poligami pada Zaman Kuno
Misalnya, pada abad ke-18, Sunan Surakarta menjadikan sejumlah perempuan dari Pulau Madura sebagai permaisuri. Pernikahan ini dilaksanakan untuk memastikan hubungan baik dengan para penguasa lokal Madura, terutama keluarga Cakraningratan, terkhusus keturunan Panembahan Cakraningrat II dari Madura Barat (Bangkalan). Keluarga mereka muncul sebagai kekuatan utama di Jawa Timur pada masa gejolak politik antara 1704-1745.
“Lenyapnya sistem kasta dalam perkawinan tak lantas membuat perkawinan menjadi benar-benar terbuka mengingat perkawinan tetap digunakan sebagai strategi politik, antara warga nonkeraton, bangsawan, dan nonbangsawan,” catat Justito.
Bahkan dalam memilih selir ada pertimbangan politiknya. Ini pun memecah selir-selir raja dalam tingkatan yang berbeda. Mereka yang tergolong selir utama adalah anak-anak perempuan priayi utama atau pangeran dan bangsawan berdarah biru.
Sementara yang tergolong selir kelas dua biasanya terdiri dari kelompok yang lebih heterogen. Ada penari Serimpi dari keluarga bangsawan golongan atas, yang hampir semua adalah kerabat dekat raja. Banyak pula selir kelas dua yang dipilih sebagai istri tidak resmi karena kecantikan dan daya tarik seksualnya.
Baca juga: Daya Tarik Seksual Selir
Menurut Carey memiliki banyak macam perempuan di Keputren merupakan kebanggaan beberapa raja Jawa Tengah selatan pada abad ke-19 atas kekuatan seksual mereka.
Raja Jawa Tengah bisa memiliki hingga empat istri resmi (garwa padmi) dan sejumlah istri tak resmi, yaitu selir (garwa ampeyan). Di Surakarta, Pakubuwono IV memiliki 56 anak dari dua permaisuri, dua-duanya kelahiran Pamekasan (Madura), dan lebih dari 25 selir.
Di Yogyakarta pada periode yang sama, Hamengku Buwono II memiliki setidaknya 80 anak dari tiga istri resmi dan sekira 30 selir. J.W. Winter, penerjemah resmi di Surakarta menceritakan bagaimana Sunan Pakubuwono V (1820-1823) biasanya tidur pada malam hari dengan para istri resmi. Siang harinya, dia tidur dengan selir.
Baca juga: Soendari Gigih Lawan Poligami
Bukan cuma raja-raja Jawa bagian tengah. Di bagian barat juga. Bupati Sumedang Pangeran Suria Kusumah Adinata (1836-1882) yang dijuluki Pangeran Sugih mempunyai empat istri dan 27 selir.
Bupati Sukapura Raden Adipati Wiradadaha (1764-1846) dikenal memiliki banyak istri dan selir sehingga anaknya berjumlah 30 orang. Bupati Bandung, Raden Adipati Wiranatakusumah II yang dijuluki Dalem Karanganyar juga memiliki banyak istri dan selir. Dalam salah satu lakon cerita pantun juga diceritakan, Prabu Siliwangi memiliki istri lebih dari 100 orang.
Kendati membawa tradisi politik masa sebelumnya, Islam pada dasarnya permisif dengan praktik poligami. Kata Justito, Islam Jawa bisa membuat sultan atau bangsawan tinggi Kerajaan Mataram bisa memiliki istri empat seperti yang dibatasi oleh Islam. Walaupun mereka juga biasanya memiliki selir lebih dari empat.
Baca juga: Persaingan Para Istri Raja
Pasalnya, menurut Justitio, Islam Jawa bisa jadi melampaui Islam itu sendiri. Bagi Islam Jawa kedudukan sultan sangat tinggi. Perintah sultan adalah bagian dari wahyu Tuhan.
“Akhirnya pembatasan yang muncul dalam Islam untuk memiliki istri lebih dari empat tak kemudian berlaku bagi diri mereka, yang merupakan representasi Tuhan,” tulis Justito.
Dalam praktiknya status “istri” dan “selir” tetap dipisahkan. Istri akan tetap dibatasi empat jumlahnya, tetapi tidak dengan selir.
Justito menulis, ketika masa kerajaan Islam, politik perkawinan dan praktik perseliran digunakan pula dalam hal penyebaran agama. Seperti Raden Patah yang memiliki tiga istri. Ketiga perkawinannya dapat dilihat memiliki posisi dalam politik kerajaan. Istri Raden Patah adalah putri Sunan Ampel, yang menjadi permaisuri utama. Istri kedua seorang putri dari Randu Sanga. Istri ketiga adalah putri Bupati Jipang.