Masuk Daftar
My Getplus

Poligami pada Zaman Kuno

Praktik poligami pada zaman kuno terekam dalam karya sastra, prasasti, dan relief candi. Ada tokoh yang istrinya ribuan.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 26 Jun 2019
Lelaki bangsawan dikelilingi beberapa perempuan bangsawan yang mungkin istri-istrinya. Pemandangan semacam ini banyak muncul di relief Karmawibhangga, di kaki Candi Borbobudur/Wikipedia

Amat senang baginda raja bersuami istri, permaisuri baginda amat berhati-hati ketika beliau melayani baginda raja. Tidak ada yang saling cemburu, ketiga istri baginda seiya sekata dan taat serta patuh kepada baginda raja.

Begitu teks Ramayana menggambarkan hubungan suami istri antara Dewi Kekayi, Sumitra, Kausalya dengan Raja Dasaratha, penguasa Kerajaan Ayodya. Ketiganya sama-sama berkedudukan sebagai permaisuri. Mereka diibaratkan seperti Dewi Durga, Dewi Gangga, dan Dewi Gauri, yaitu tiga sakti Dewa Siwa yang cantik berbudi luhur.

Pada masa Kuno, terutama masa kerajaan-kerajaan Jawa, bukan hal yang kontroversial jika seorang lelaki punya istri lebih dari satu. Data tekstual dan artefaktual membuktikannya. Terutama dalam dunia kakawin, praktik poligini digambarkan sebagai praktik yang damai. Artinya, tak ada yang saling cemburu di antara istri.

Advertising
Advertising

Hampir setiap tokoh dalam kesusastraan kuno memiliki lebih dari satu istri. Meski tak semua tokoh perempuan itu memainkan peran dalam setiap kakawin. Kresna misalnya, dikatakan punya 1.000 istri dalam Hariwangsa. Sementara dalam Kalayawanantaka jumlahnya 16.000 perempuan.

“Kenyataannya sering sekali dalam teks sastra menyebutkan hal ini (laki-laki beristri banyak, red.),” jelas arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa.

Baca juga: Pernikahan Orang Jawa Kuno

Poligini bisa dibilang, merupakan hal yang legal. Pasalnya dalam perundang-undangan tak pernah disebutkan adanya hukum kalau laki-laki boleh atau tak boleh mempunyai banyak istri.

Poligini pun dilakukan di semua lapisan masyarakat. Mulai dari kalangan bangsawan, agamawan, sampai kalangan bawah.

Ken Angrok, misalnya. Penguasa pertama Kerajaan Singhasari itu memiliki dua istri, Ken Dedes dan Ken Umang.

Raden Wijaya atau Kertarajasa pun punya empat istri. Keempatnya adalah putri Kertanagara, Raja Singhasari terakhir. Dalam prasasti dan Kakawin Nagarakrtagama disebutkan putri sulung bernama Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, putri kedua Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, putri ketiga Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan yang bungsu Sri Rajendra Dyah Dewi Gayatri.

Kemudian dalam Prasasti Wulig (935), prasasti dari masa Mpu Sindok, disebutkan kalau Rakryan Mangibil merupakan rakryan binihaji, yaitu selir atau istri raja. Padahal dalam Prasasti Cungrang II (929) dan Prasasti Geweg (939) diketahui kalau permaisuri Mpu Sindok bernama Mpu Kbi Dyah Warddhani. Rupanya, Mpu Sindok selain mempunyai permaisuri yang bernama Mpu Kbi Dyah Warddhani, juga mempunyai seorang selir bernama Rakryan Mangibil.

“Kemudian dari Prasasti Wukajana diketahui bahwa Rakai Wungkaltihang mempunyai empat orang istri yang membantu dalam upacara keagamaan,” jelas Titi.

Baca juga: Angka Poligini dari Masa ke Masa

Sementara di kalangan agamawan dan masyarakat biasa, praktik poligami terbaca lewat Prasasti Pesindon I dan Pesindon II (914). Di sana dikisahkan, Dang Hyang Guru Siwita yang telah mensucikan dirinya dengan istri dan selirnya

Selain dari data teksual, lewat relief candi praktik poligini juga tergambarkan. Biasanya, seperti di relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur, laki-laki bangsawan sering digambarkan dengan pendamping perempuan yang jumlahnya lebih dari satu.

“Dua atau lebih perempuan, yang mungkin adalah istri-istrinya,” lanjut Titi.

Di Candi Siwa Pambaran terdapat adegan Dasaratha dengan ketiga istrinya. Di Candi Panataran digambarkan Rahwana dan kedua istrinya, serta adegan Rahwana melarikan diri bersama istri-istrinya ketika istananya dibakar.

Jangankan soal legalitas praktik ini, Justito Adiprasetio dalam Sejarah Poligami menyebutkan kalau pada masa Jawa Kuno bahkan tidak ada terminologi untuk menyebut relasi perkawinan jamak. “Soal satu suami yang memiliki beberapa istri, tidak ada knowledge soal poligami,” katanya.

Dengan kata lain, pada saat itu poligini, atau poligami secara luas, tidaklah dibicarakan, apalagi diatur dan dilarang. Yang diatur adalah hal sekunder dalam hal suami beristri banyak. Misalnya dalam Undang-Undang Majapahit, dalam pasal 215, diatur soal drewe kaliran (warisan). Ini berkaitan dengan seorang brahmana yang memiliki empat istri.

Baca juga: Ketika Poligami Jadi Soal Negara

Undang-undang pernikahan, pada masa Majapahit khususnya, hanya mengatur soal tukon (mahar) dan kasta. Artinya, perkawinan poligini ini dapat berlangsung asalkan negosiasi mahar dan batasan-batasan kasta tidak dilanggar.

Tukon berasal dari terminologi Jawa Kuno yang bersinonim dengan membeli. Tak beda jauh dengan masa kini, orang Jawa masa lalu mengenal Tukon sebagai uang kesepakatan dari pihak laki-laki kepada orang tua perempuan sebelum perkawinan berlangsung.

Adapun soal kasta, biasanya perkawinan terjadi pada orang-orang yang dianggap mempunyai derajat yang sama. Artinya, seorang bangsawan harus menikah dengan sesama bangsawan. Demikian pula orang dari kalangan jelata harus menikah dengan yang sederajat.

“Perkawinan antar kasta adalah hal yang ditabukan dalam masyarakat,” kata Titi.

Kendati praktik poligini dibebaskan, itu tak membuat praktik poligami memungkinkan pada masa lalu. Hukum pada masa itu begitu berat bagi pemuda yang mencoba mendekati, menggoda, dan atau meniduri istri orang lain. Ini disebutkan dalam bab Paradara.

Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual di Majapahit

“Jika penggoda atau pengganggu itu tertangkap basah oleh sang suami, sang suami berwenang untuk membunuhnya,” sebut pasal itu. Selain boleh dibunuh, pasal itu juga menyebut hukuman denda sebagai ganjarannya.

Memang ada sosok seperti Drupadi dalam wiracarita Mahabharata yang melakukan poligami. Kelima Pandawa adalah suaminya. Namun dalam versi pedalangan Jawa Baru, ia diterjemahkan hanya sebagai istri Prabu Yudistira.

TAG

Poligami Pernikahan

ARTIKEL TERKAIT

Ratu Bendara, Perempuan Korban Pernikahan Politis Membina Rumah Tangga yang Baik ala Raja Jawa Menengok Sejarah Gowok Ada Oknum Polisi dalam Pembunuhan Berencana Marhaenis Tips Memilih Jodoh Ala Raja Jawa Rias Pengantin ala Serat Centhini Membentuk Sekutu Politik Pameran Mengudar Bacaan Liar Menikahi Saudara Sepupu pada Zaman Kuno Aliansi Politik dengan Poligami