Masuk Daftar
My Getplus

Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual di Majapahit

Pelaku pelecehan seksual di Majapahit dihukum dengan hukuman denda hingga hukuman mati.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 23 Des 2017
Gapura Bajang Ratu, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

KERAJAAN Majapahit mengatur hubungan perempuan dan laki-laki cukup ketat. Aturan itu ada dalam prasasti dan kitab perundangan-undangan Agama.

Prasasti Cangu (1358 M) yang berisi peraturan tempat penyeberangan di Bengawan Solo memuat pula keterangan yang menyiratkan hukuman berat bagi pelaku pelecehan seksual yang disebut strisanggrahana.

Aturan itu mengambil contoh kasus seorang tukang perahu tambang. Ia tak akan dianggap bersalah bila menyebrangkan perempuan manapun bila sudah bersuami. Selama dia tidak berbuat astacorah, yaitu delapan macam kejahatan yang berhubungan dengan pencurian. Pun jika ada perempuan tenggelam dan dipegang oleh tukang perahu. Misalnya, jika tukang perahu mengangkat dan memegangnya.

Advertising
Advertising

Sementara dalam teks perundang-undangan Agama, terdapat bab mengenai paradara. Bab ini ada di antara 19 bab yang jika ditotal semuanya berjumlah 275 pasal. Secara harfiah paradara berarti istri orang lain atau perbuatan serong. Dalam bab ini menyebutkan berbagai jenis hukuman dan denda yang dikenakan kepada laki-laki yang mengganggu perempuan.

Paling tidak ada 17 pasal dalam bab paradara. Di antaranya ketentuan bagi pemerkosa. Orang yang memperkosa istri orang lain, dendanya disesuaikan dengan kedudukan sang perempuan dalam kasta. Bila dia perempuan berkasta tinggi, yang dikategorikan sebagai perempuan utama, jumlah dendanya dua laksa. Jika berasal dari kasta menengah, dendanya selaksa. Jika istrinya berkasta rendah, dendanya lima tali.

Dalam hal ini penentu jumlah denda memang raja yang berkuasa. Kendati begitu, penerima denda menjadi hak sang suami.

“Jika sedang memperkosa tertangkap basah oleh sang suami, pemerkosa boleh dibunuh,” tulis arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa.

Denda diberlakukan jika sang suami menghendaki denda uang. Hukuman lainnya, pelaku bisa dipotong tangannya oleh raja. Dia diusir dari desa tempat tinggalnya dengan membawa tanda ciri kalau dia pernah memperkosa istri orang.

Jika yang diperkosa belum menikah, dirayu, diajak lari, atau ke tempat sepi, laki-laki ini disebut babi. Laki-laki ini dikenakan denda empat tali oleh raja.

Adanya saksi juga bisa menjadi pertimbangan kuat dalam kasus pemerkosaan. Dalam hal ini bila seorang gadis diperkosa dan berteriak menangis, dan banyak orang yang menyaksikan, orang-orang ini bisa menjadi bukti. Adapun pelaku dikenakan pidana mati oleh raja.

Sementara jika seorang laki-laki meniduri istri orang lain setelah dia menguntitnya sampai rumah si perempuan, dia dikenakan pidana mati oleh raja. Namun, bila si istri berhasil meloloskan diri dari pelukan laki-laki itu, pelaku didenda dua laksa.

“Denda diserahkan kepada yang punya istri sebagai penebus hidupnya. Jika berhasil menidurinya, dikenakan pidana mati oleh yang punya istri,” lanjut Titi.

Berbicara dan menegur perempuan yang bukan istrinya juga bisa dianggap pelecehan seksual. Itu bila dilakukan di tempat sepi. Dendanya dua laksa. Bahkan aturan ini juga mengikat pendeta. Jika tak mampu mematuhinya, status kependetaannya terancam hilang.

“Jangan bicara dengan perempuan yang sudah menikah, terutama di tempat sepi, karena nafsu birahi susah dikendalikan,” tulis Titi.

Dendanya menjadi lebih sedikit apalagi perempuan yang diajak bicara di tempat sepi bukan istri larangan, atau istri utama yang dipingit. Laki-laki ini didenda sebesar lima tali. Pun jika si laki-laki tak tahu kalau yang dia ajak bicara sudah bersuami. Dia tetap dikenai denda lima tali.

“Meskipun perempuan itu istri saudaranya, istri pamannya, istri menantunya, pokonya dengan perempuan yang telah menikah, perempuan larangan,” lanjutnya.

Perbuatan strisanggrahana juga meliputi mereka yang membantu dan memfasilitasi perbuatan dalam pasal paradara. Misalnya, orang yang menyuruh si laki-laki untuk meniduri istri orang. Dia akan dikenakan denda dua laksa.

Sementara menurut Kutara, orang yang meniduri perempuan bersuami dikenakan hukuman mati. Ia bisa hidup jika membayar denda empat laksa. Sementara orang yang menghasut dan menyuruh untuk meniduri si perempuan di rumahnya, juga dikenakan denda empat laksa oleh raja.

Meskipun dalam teks undang-undang Majapahit begitu tegas menghukum mereka yang melecehkan perempuan, dalam prasasti ditemukan juga adanya profesi juru jalir. Profesi ini tugasnya memungut pajak dari para pelacur. Dalam hal ini tak ada keterangan pasti yang menyebut pelacur itu pasti perempuan. Namun bisa dikatakan, pelacur pada masa Majapahit mendapat pengesahan dari penguasa.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Perupa Pita Maha yang Karyanya Disukai Sukarno Musik Rock pada Masa Orde Lama dan Orde Baru Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Tertipu Paranormal Palsu Poorwo Soedarmo Sebelum Jadi “Bapak Gizi” Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Perlawanan Perempuan Nigeria Terhadap Kebijakan Pajak Duka Atim dan Piati Picu Kemarahan PKI Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Jenderal Nasution Mengucapkan Selamat Hari Natal