Masuk Daftar
My Getplus

Cara Perempuan Zaman Kuno Mengakhiri Pernikahan

Pada zaman Majapahit, perempuan bisa membatalkan pernikahan kalau suaminya punya penyakit gila hingga impoten. Perempuan juga bisa mengajukan perceraian.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 02 Jul 2019
Masjid Ageng Ngayogyakarta, tempat Pengadilan Surambi

Terutama gadis bangsawan, mereka seringkali menikah karena alasan politik. Kendati begitu, banyak perempuan yang tak bahagia dalam pernikahannya boleh mengajukan cerai.

Pada masa Majapahit pernikahan diatur dalam teks hukum Agama atau Kutaramanawa. Disebutkan seorang istri boleh membatalkan perkawinannya jika suaminya menderita beberapa penyakit tertentu. 

Jika laki-laki menderita penyakit gila, batuk kering, ayan, impoten, banci, dan akhirnya istri tak suka kepadanya, sang istri diimbau untuk menunggu tiga tahun. Selama itu sang suami diberi kesempatan untuk berobat. 

Advertising
Advertising

Jika selama tiga tahun tidak sembuh, kata aturan itu, jangan salahkan istri kalau dia menikah lagi dengan orang lain. "Tukon (mahar) tak usah dikembalikan kepada suaminya. Menunggu dahan bertunas namanya,” tulis aturan itu.

Baca juga: Pernikahan Orang Jawa Kuno

Adapun soal aturan cerai, harus ada empat bukti. Dinamakan siddha atadin, yaitu saksi, memecah uang yang diucapkan oleh saudara dari pihak laki-laki, memberikan air untuk mencuci muka, dan memberikan butir beras. Jika empat bukti tak dilakukan perceraian tidak sah. Perkawinan belum terpisah.

Karenanya, perempuan akan didenda empat laksa oleh raja yang berkuasa apabila dia menikah dengan laki-laki tanpa bukti-bukti perceraian.

Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Jawa menyebutkan pada masa perkembangan Islam beberapa putri bangsawan juga tercatat pernah mengajukan cerai atas suami-suami mereka. 

Raden Ayu Notodiningrat, cucu Mangkunegoro II (bertakhta 1796-1835), menderita dalam perkawinannya. Dia menikah dengan Bupati Probolinggo di ujung timur Jawa yang kasar dan tak sopan. Dia pun mengajukan perceraian atas dasar penganiayaan dan berhasil pada 1821.

Baca juga: Asal-Usul Batas Usia Minimal dalam UU Perkawinan No.1/1974

Tuduhannya itu dia sampaikan kepada eyangnya. Isinya, dia merasa sang suami tak memperlakukan dirinya sesuai dengan martabat dan kelahirannya sebagai bangsawan. Pertama, dia tak dipercaya kalau uang rumah tangga tak bersisa. Suaminya tak mau memahami bagaimana uang itu telah dihabiskan.

Kedua, ketika suaminya marah, dia disiksa. Nama orangtuanya pun difitnah. Ketiga, setiap kali sang putri membuat kesalahan sedikit saja dalam melayani, suaminya akan mengatakan hal-hal yang tidak benar tentangnya.

"Membandingkan saya dengan seorang teledek jalanan atau seorang pelacur,” tulis Raden Ayu Notodiningrat.

Kasus lainnya menimpa Ratu Bendoro, anak Sultan Hamengkubuwono I dari Yogyakarta. Secara hukum dia dipisahkan dari suaminya, Raden Mas Said atau Mangkunegara I pada Desember 1763. Itu usai suatu periode yang amat pahit dan sengit antara kedua istana.

Baik Ratu Bendoro maupun Ratu Ayu Notodiningrat memperoleh perceraian dengan membawa perkara kepada Penghulu Surakarta di Pengadilan Surambi di Kasunanan. “Putusan dalam kasus Ratu Bendoro menjadi preseden bagi kasus Raden Ayu Notodiningrat hampir 60 tahun sesudahnya,” tulis Carey.

Baca juga: Ketika Sukarno Digugat Cerai Istri-Istrinya

Carey pun menjelaskan perceraian bisa diperoleh seorang istri dengan berbagai dalih. Yang paling umum adalah pelanggaran kontrak pernikahan. Biasanya dengan alasan kurangnya dukungan dan atau desersi (melarikan diri) suami. Perceraian demikian dikenal sebagai talak.

“Ini didasarkan pada hukum syafi’i yang kondang dan dikenal seantero Pulau Jawa,” jelas Carey.

Ada juga istilah taklek. Ini merupakan perceraian bersyarat yang diucapkan dalam upacara pernikahan.

Melalui sistem ini, seorang perempuan pun menjadi lebih mudah mendapatkan perceraian. Pasalnya suaminya telah berjanji bahwa dia bisa dianggap membuat talak jika mengabaikan, menganiaya, atau tidak memberi dukungan finansial kepada sang istri.

Terakhir, perceraian yang disebut mancal. Di sini, sang istri membeli kebebasannya sendiri.

Harga kebebasan itu bisa saja sejumlah mas kawin yang dibayar kepada keluarga pengantin perempuan ketika menikah atau disisakan sebagai utang. Namun biasanya harganya lebih tinggi daripada itu.

Baca juga: Perkawinan Anak yang Tak Kunjung Hilang

“Selain persetujuan suami sangat penting dan pengumuman pembatalan resmi harus diucapkan oleh penghulu yang berurusan dengan semua hal menyangkut perkawinan, perceraian, warisan, di Pengadilan Surambi, ruang terbuka di depan Masjid Agung,” jelas Carey.

Kasus-kasus seperti itu, menurut Carey, menunjukkan kalau perempuan bangsawan atau putri raja Jawa bukan budak belian suami seperti yang sering digambarkan dalam literatur kolonial Hindia Belanda. Perempuan Jawa memiliki hak hukum. Semakin tinggi kelahiran mereka, semakin besar kemungkinan mereka menggunakan hak itu dalam kasus desersi atau kekerasan pihak suami.

TAG

Perkawinan Perempuan

ARTIKEL TERKAIT

Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Bikini dari Paris Kisah Babu Datem dan Upaya Melindungi Pekerja Hindia di Belanda Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Mencari Pasangan Lewat Koran