Dulu, raja Jawa Tengah selatan bisa memiliki empat istri resmi atau garwa padmi. Bukan hal aneh pula jika raja punya sejumlah istri tak resmi, yaitu selir atau garwa ampeyan. Di Surakarta, Pakubuwono IV memiliki 56 anak dari dua permaisuri. Ada lebih dari 25 garwa ampeyan. Di Yogyakarta, pada periode yang sama, Hamengkubuwono II punya setidaknya 80 anak dari tiga garwa padmi. Sementara dia juga punya 30 selir.
J.W. Winter, penerjemah resmi di Surakarta menceritakan bagaimana Sunan Pakubuwono V (1820-1823) biasanya tidur pada malam hari dengan para garwa padmi. Siang harinya, dia tidur dengan selir.
Rupanya tak semua selir raja ada pada tingkatan yang sama. Ada yang digolongkan sebagai selir utama. Mereka diambil dari anak-anak perempuan priayi utama atau pangeran dan bangsawan berdarah biru. Berbeda dengan abdi dalem priayi manggung atau prajurit éstri yang selalu menemani raja ketika keluar keraton, selir kelas utama tak boleh menginjakkan kaki keluar istana.
Ada juga yang tergolong selir kelas dua. Mereka biasanya terdiri dari kelompok yang lebih heterogen. Ada penari Serimpi dari keluarga bangsawan golongan atas, juga hampir semua adalah kerabat dekat raja. Banyak pula selir kelas dua yang dipilih sebagai istri tidak resmi karena kecantikan dan daya tarik seksualnya.
Menurut sejarawan Peter Carey, memiliki banyak macam perempuan di Keputren merupakan kebanggaan beberapa raja Jawa Tengah selatan pada abad ke-19 atas kekuatan seksual mereka. Misalnya, Mangkunegoro V (1881-1896) yang terkenal gemar main perempuan, diduga sampai menginstruksikan abdi dalem istana Mangkunegaran ke Paris untuk menghadiri Pameran Universal pada 1889. Utusan ini kemudian membawa kembali dua PSK kelas atas ke Surakarta untuk menjadi selirnya.
“Sayangnya tak ada referensi atas selir berkebangsaan Prancis itu dalam silsilah Mangkunegaran yang disusun ahli genealogi Mangkunegaran,” kata Carey.
Di antara para istri raja itu, Carey mengatakan, hampir selalu terjadi persaingan sengit. Terutama di antara permaisuri, tentang pengganti raja. Setiap permaisuri ingin melihat anaknya ditunjuk sebagia putra mahkota.
“Suatu ambisi yang sering mengadu domba keluarga raja,” kata Carey.
Contohnya, pada pemerintahan Sultan Kedua terjadi perseteruan tiga permaisuri. Ratu Kedaton sebagai ibu putra mahkota; Ratu Mas, putri Pangeran Pakuningrat (Mataram); dan Ratu Alit, anak Pakubuwono II dan ibu Pangeran Mangkudiningrat II.
Ratu Alit atau Ratu Kencono Wulan yang paling tangguh. Dia tak ada hentinya bersekongkol agar anak menantunya, Raden Tumenggung Notodiningrat, nantinya menjadi Pakualam II, dipromosikan sebagai putra mahkota. Akhirnya, putra mahkota bergelar Raja Putro Narendro yang menjadi Hamengkubuwono III.