AMAT senang baginda raja bersuami istri, permaisuri baginda amat berhati-hati ketika beliau melayani baginda raja. Tidak ada yang saling cemburu, ketiga istri baginda seiya sekata dan taat serta patuh kepada baginda raja.
Begitu teks Ramayana menggambarkan hubungan suami istri antara Dewi Kekayi, Sumitra, Kausalya dengan Raja Dasaratha, penguasa Kerajaan Ayodya. Ketiganya sama-sama berkedudukan sebagai permaisuri. Mereka diibaratkan seperti Dewi Durga, Dewi Gangga, dan Dewi Gauri, yaitu tiga sakti Dewa Siwa yang cantik berbudi luhur.
Pada masa Kuno, terutama masa kerajaan-kerajaan Jawa, bukan hal yang kontroversial jika seorang lelaki punya istri lebih dari satu. Data tekstual dan artefaktual membuktikannya. Terutama dalam dunia kakawin, praktik poligami digambarkan sebagai praktik yang damai. Artinya, tak ada yang saling cemburu di antara istri.
Hampir setiap tokoh dalam kesusastraan kuno memiliki lebih dari satu istri. Meski tak semua tokoh perempuan itu memainkan peran dalam setiap kakawin. Kresna misalnya, dikatakan punya 1.000 istri dalam Hariwangsa. Sementara dalam Kalayawanantaka jumlahnya 16.000 perempuan.
“Kenyataannya sering sekali dalam teks sastra menyebutkan hal ini (laki-laki beristri banyak, red.),” jelas arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa.
Baca juga: Pernikahan Orang Jawa Kuno
Poligami bisa dibilang, merupakan hal yang legal. Pasalnya dalam perundang-undangan tak pernah disebutkan adanya hukum kalau laki-laki boleh atau tak boleh mempunyai banyak istri.
Poligami pun dilakukan di semua lapisan masyarakat. Mulai dari kalangan bangsawan, agamawan, sampai kalangan bawah.
Ken Angrok, misalnya. Penguasa pertama Kerajaan Singhasari itu memiliki dua istri, Ken Dedes dan Ken Umang.
Raden Wijaya atau Kertarajasa pun punya empat istri. Keempatnya adalah putri Kertanagara, Raja Singhasari terakhir. Dalam prasasti dan Kakawin Nagarakrtagama disebutkan putri sulung bernama Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, putri kedua Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, putri ketiga Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan yang bungsu Sri Rajendra Dyah Dewi Gayatri.
Kemudian dalam Prasasti Wulig (935), prasasti dari masa Mpu Sindok, disebutkan kalau Rakryan Mangibil merupakan rakryan binihaji, yaitu selir atau istri raja. Padahal dalam Prasasti Cungrang II (929) dan Prasasti Geweg (939) diketahui kalau permaisuri Mpu Sindok bernama Mpu Kbi Dyah Warddhani. Rupanya, Mpu Sindok selain mempunyai permaisuri yang bernama Mpu Kbi Dyah Warddhani, juga mempunyai seorang selir bernama Rakryan Mangibil.
“Kemudian dari Prasasti Wukajana diketahui bahwa Rakai Wungkaltihang mempunyai empat orang istri yang membantu dalam upacara keagamaan,” jelas Titi.
Baca juga: Angka Poligini dari Masa ke Masa
Sementara di kalangan agamawan dan masyarakat biasa, praktik poligami terbaca lewat Prasasti Pesindon I dan Pesindon II (914). Di sana dikisahkan, Dang Hyang Guru Siwita yang telah mensucikan dirinya dengan istri dan selirnya
Selain dari data teksual, lewat relief candi praktik poligami juga tergambarkan. Biasanya, seperti di relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur, laki-laki bangsawan sering digambarkan dengan pendamping perempuan yang jumlahnya lebih dari satu.
“Dua atau lebih perempuan, yang mungkin adalah istri-istrinya,” lanjut Titi.
Di Candi Siwa Pambaran terdapat adegan Dasaratha dengan ketiga istrinya. Di Candi Panataran digambarkan Rahwana dan kedua istrinya, serta adegan Rahwana melarikan diri bersama istri-istrinya ketika istananya dibakar.
Jangankan soal legalitas praktik ini, Justito Adiprasetio dalam Sejarah Poligami menyebutkan kalau pada masa Jawa Kuno bahkan tidak ada terminologi untuk menyebut relasi perkawinan jamak. “Soal satu suami yang memiliki beberapa istri, tidak ada knowledge soal poligami,” katanya.
Dengan kata lain, pada saat itu poligami secara luas, tidaklah dibicarakan, apalagi diatur dan dilarang. Yang diatur adalah hal sekunder dalam hal suami beristri banyak. Misalnya dalam Undang-Undang Majapahit, dalam pasal 215, diatur soal drewe kaliran (warisan). Ini berkaitan dengan seorang brahmana yang memiliki empat istri.
Baca juga: Ketika Poligami Jadi Soal Negara
Undang-undang pernikahan, pada masa Majapahit khususnya, hanya mengatur soal tukon (mahar) dan kasta. Artinya, perkawinan poligami ini dapat berlangsung asalkan negosiasi mahar dan batasan-batasan kasta tidak dilanggar.
Tukon berasal dari terminologi Jawa Kuno yang bersinonim dengan membeli. Tak beda jauh dengan masa kini, orang Jawa masa lalu mengenal Tukon sebagai uang kesepakatan dari pihak laki-laki kepada orang tua perempuan sebelum perkawinan berlangsung.
Adapun soal kasta, biasanya perkawinan terjadi pada orang-orang yang dianggap mempunyai derajat yang sama. Artinya, seorang bangsawan harus menikah dengan sesama bangsawan. Demikian pula orang dari kalangan jelata harus menikah dengan yang sederajat.
“Perkawinan antarkasta adalah hal yang ditabukan dalam masyarakat,” kata Titi.
Baca juga: Hukuman Bagi Pelaku Pelecehan Seksual di Majapahit
Kendati praktik poligami dibebaskan, itu tak membuat praktik poligami memungkinkan pada masa lalu. Hukum pada masa itu begitu berat bagi pemuda yang mencoba mendekati, menggoda, dan atau meniduri istri orang lain. Ini disebutkan dalam bab Paradara.
“Jika penggoda atau pengganggu itu tertangkap basah oleh sang suami, sang suami berwenang untuk membunuhnya,” sebut pasal itu. Selain boleh dibunuh, pasal itu juga menyebut hukuman denda sebagai ganjarannya.
Memang ada sosok seperti Drupadi dalam wiracarita Mahabharata yang melakukan poligami. Kelima Pandawa adalah suaminya. Namun, dalam versi pedalangan Jawa Baru, ia diterjemahkan hanya sebagai istri Prabu Yudistira.*