Masuk Daftar
My Getplus

Yang Muda yang Keliling Dunia (2)

Dari lima pemuda yang keliling dunia, cuma satu yang tuntaskan mimpinya.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 22 Jul 2018
Saleh Kamah, salah satu pemuda yang berkeliling dunia dengan sepeda, disambut warga di Yogyakarta dengan kalungan bunga, (Dok. Iwan Satyanegara Kamah, keponakan Saleh Kamah).

SEBUAH sedan merek Studebaker meluncur pelan ke halaman Istana Negara. Penumpangnya empat orang: tiga pemuda dan seorang lelaki tua. Sedan berhenti di dekat anak tangga Istana. Penumpangnya turun dan menuju sebuah ruangan.

Lukisan Pangeran Diponegoro menunggang kuda terpajang di dinding salah satu ruangan Istana. Dua orang pemuda lain telah lebih dulu hadir di sana.

Mereka adalah Saleh Kamah dan Damardjati, pemuda Indonesia yang berhasrat keliling dunia naik sepeda. Sedangkan para penumpang mobil Studebaker terdiri atas Rudolf Lawalata, Abdullah Balbed, dan Sudjono, anak muda yang berkehendak jelajah dunia dengan jalan kaki. Mereka ditemani Tjokrodiningrat, petugas protokoler DKI Jakarta suruhan Walikota Sudiro.

Advertising
Advertising

Hari itu, 8 Januari 1955, asa lima pemuda mendekat pada kenyataan. Mereka akan bertemu Presiden Sukarno. Sejak lima pemuda tadi memulai petualangan keliling dunia tiga sampai empat bulan sebelumnya, mereka telah menyatakan harapannya bertemu dengan Presiden. Harapan ini terungkap dalam banyak media kala itu.

Sukarno membaca surat kabar dan menyatakan kesediaannya bertemu dengan lima pemuda tersebut. Dia bangga mengetahui ada lima pemuda bertekad keliling dunia sembari memperkenalkan Indonesia ke warga dunia.

“Bawalah Merah Putih ke seluruh penjuru dunia. Tepuklah dadamu dan katakanlah inilah Indonesia!” kata Sukarno kepada Saleh Kamah dan Damarjati, seperti diceritakan Saleh Kamah dalam memoarnya, Catatan Seorang Wartawan. Sukarno juga menghadiahkan sepeda merek Philips untuknya dan Damardjati.

Baca juga: Yang Muda yang Keliling Dunia (1)

Pesan serupa tertuju pula kepada Lawalata, Abdullah Balbed, dan Sudjono. “Anakku… Bawalah dirimu mengelilingi dunia, tapi tunjukanlah jiwamu tetap kepada Tuhan dan Indonesia,” pesan Sukarno, seperti diungkap Sudjono dalam memoarnya, Rp50 Keliling Dunia. Sukarno membekalkan pula kamera Zeiss Icon, ransel, slide tentang Indonesia, dan baju batik untuk mereka.

Pesan Sukarno memompa semangat lima pemuda tersebut. Tak perlu menunggu lama, kelompok pejalan kaki, Lawalata dan Sudjono, langsung meninggalkan Jakarta naik kapal dari Pelabuhan Tanjung Priok keesokan harinya. Mereka menuju Singapura dengan modal dengkul. Masing-masing punya 50 rupiah, setara 700 ribu sekarang.

Abdullah Balbed harus tinggal beberapa lama di Jakarta lantaran urusan paspornya belum kelar. Dia akan menyusul temannya begitu mereka sampai di Bangkok, Thailand.

Kelompok pesepeda berbeda jalan. Mereka terbang naik pesawat KLM (maskapai Belanda) menuju Rangoon, Burma. Dari Rangoon mereka akan melanjutkan bersepeda ke Pakistan Timur, India, Pakistan Barat, Irak, Iran, Mesir, Lebanon, Suriah, Turki, Yunani, Italia, Swiss, Prancis, Jerman Barat, Belanda, Inggris, lalu naik kapal laut ke Amerika, terus ke Jepang, Filipina, dan kembali ke Indonesia.

Kritik Tren Keliling Dunia

Pertemuan lima pemuda dengan Presiden Sukarno menghidupkan benih-benih petualangan para pemuda lain. Banyak pemuda mengutarakan niatnya keliling dunia dan bertemu Sukarno agar membantu wujudkan hajat mereka. Keadaan ini jadi tidak sehat.

“Negara Republik Indonesia bisa bangkrut atau gulung tikar karena keuangannya habis untuk ongkos keliling dunia putra-putrinya tercinta,” tulis Minggu Pagi, 6 Februari 1955.

Minggu Pagi menyarankan pemuda Indonesia berpikir lebih jernih. Jangan sembarang ikut tren. “Jangan gegampang pergi keliling dunia kalau tidak punya uang sangu sendiri,” tulis Minggu Pagi.

Baca juga: Demam Sepeda 1990-an

Menurut redaksi Minggu Pagi, berkeliling dunia tidak semudah berkeliling pasar malam. Rencana bisa mudah dibuat di atas kertas, tapi kenyataan di jalan akan selalu jauh berbeda. Bakal banyak kesulitan di jalan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Apa yang diutarakan Minggu Pagi banyak benarnya. Saleh Kamah dan Damardjati kehabisan ongkos di Rangoon. Padahal mereka berencana kerja serabutan untuk memperoleh ongkos jalan. Ternyata mendapat kerja di luar negeri tak semudah yang mereka bayangkan.

Saleh Kamah dan Damardjati juga kena masalah administratif di Rangoon. Kedutaan Besar India tak sudi mengeluarkan visa untuk mereka.

“Salah seorang staf Kedutaan dengan gusar menyatakan bahwa kami tidak punya persiapan matang. Ia gusar karena kami sebelumnya tidak minta penjelasan dari Kedutaan tentang situasi keamanan dan lain-lain,” kenang Saleh Kamah. Mereka harus balik ke Indonesia. Perjalanan mereka pun berakhir di Burma.  

Pemuda yang Berhasil

Lawalata dan Sudjono berjumpa lagi dengan Abdullah Balbed di Bangkok. Mereka meneruskan berjalan kaki ke wilayah Burma. Mereka bersua dengan medan berat di perbatasan Thailand dan Burma. Hujan turun tiap hari. Air membeceki tanah tempat mereka berjalan. Kaki jadi sulit bergerak. Tapi mereka sampai juga di Burma.

Lawalata, Sudjono, dan Abdullah lekas melapor ke Kedutaan Indonesia di Burma. Di sini mereka dapat kabar bahwa Saleh Kamah dan Damardjati terpaksa pulang ke Indonesia lantaran masalah ongkos dan administrasi. Mereka sedih mendengarnya, tapi perjalanan harus tetap dilanjutkan.

Lawalata, Sudjono, dan Abdullah berhasil melewati Burma. Mereka masuk India, Asia Barat, dan lanjut menjelajah ke Eropa. Di Jerman Barat mereka menampilkan slide tentang Indonesia kepada orang-orang Jerman Barat. Di sini mereka sadar bahwa Indonesia sama sekali belum dikenal orang dengan baik.

“Saya sungguh terkejut karena beberapa dari mereka mengira Indonesia masih hutan melulu. Belum ada kota dengan gedung bertingkat dan jalanan aspal penuh mobil,” kenang Sudjono.

Kelompok pejalan kaki harus pergi dari Jerman Barat tanpa Lawalata. “Karena sesuatu hal, dia tidak dapat meneruskan perjalanan,” catat Sudjono tanpa menerangkan lebih jauh alasannya.

Baca juga: Budaya Sepeda Orang Indonesia

Sudjono dan Abdullah kemudian terbang ke Amerika Serikat. Mereka memenangi sebuah kuis berhadiah sepeda di sana. Mereka mengaku bahwa sepanjang perjalanan tak bisa selalu berjalan kaki. Ada kalanya naik kendaraan. “Karena izin tinggal di setiap negara dibatasi. Jadi sebagian tempat harus ditempuh dengan kendaraan,” kata Abdullah dalam kata pengantar buku Sudjono.

Rute perjalanan selanjutnya Abdullah dan Sudjono ialah Jepang. Tapi hanya Sudjono yang meneruskan perjalanan. Sebab Abdullah memutuskan membuat keluarga dan tinggal di Amerika Serikat. Untuk menyiasati ongkos mahal, Sudjono harus bekerja keras di kapal menuju Jepang.

Sudjono akhirnya tiba kembali di Indonesia setelah enam tahun berkeliling dunia. Dia turun dari kapal yang berlabuh di Tanjung Priok. Seperti saat berangkat, Sudjono beroleh kesempatan lagi berjumpa dengan Presiden Sukarno.

“Saya benar-benar bangga ketika itu, karena diterima langsung oleh seorang pemimpin yang namanya bergema di berbagai belahan bumi,” kenang Sudjono.

Dari perjalanan keliling dunia bermodal dengkul itu, Sudjono mengaku memperoleh banyak pengalaman dan pengetahuan tentang hidup. Di tempat jauh dan asing, cintanya pada negara dan bangsa menjadi lebih kuat. Dia selalu terkenang dengan keluarga, Presiden Sukarno, dan orang-orang yang pernah menyemangatinya keliling dunia. Dan ketika balik ke Indonesia, rindunya terbayar tuntas. Siapa mau ikut jejaknya?

TAG

keliling dunia

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea