TAHUN-tahun belakangan ini, sejumlah usaha ritel terkenal menutup gerainya di Indonesia. Analis bisnis menduga perubahan tren belanja sebagai penyebabnya. Generasi milenial, terlahir antara 1980 dan 1990, lebih memilih belanja pengalaman baru dengan menjelajah tempat-tempat asing di antero bumi ketimbang berbelanja ritel. Hasrat seperti itu pernah ngetren di Indonesia pada 1950-an.
Rudolf Lawalata, pemuda kelahiran 1930 asal Maluku, punya hasrat mengelilingi dunia dengan berjalan kaki. Dia ingin memperkenalkan Indonesia kepada warga dunia. Pada tiap jengkal tanah tempatnya bertapak di negeri asing, dia akan tancapkan bendera merah putih.
“Di samping dia sendiri juga ingin menambah pengalaman-pengalaman di luar negeri nantinya,” tulis Aneka, 1 Desember 1954.
Orang-orang sekitarnya sempat terperanjat dan menganggap Lawalata gila. “Ah, kau pergi untuk mati,” kata seorang saudaranya. Mereka tak berkenan dengan impian Lawalata. Apalagi Lawalata sudah beranak dua dan beristri satu. Istrinya pun lagi hamil tujuh bulan.
Tapi Lawalata kepalang keras kepala. Tekadnya berkeliling dunia kadung bulat. Istri dan anak pun mengalah. Keluarga akhirnya berkenan merestuinya. Maka berangkatlah dia pada 7 Oktober 1954. Dia perkirakan perjalanannya makan waktu 10 tahun.
Baca juga: Yang Muda yang Keliling Dunia (2)
Lawalata bertolak dari Makassar, tempat perantauannya, menuju Surabaya, Jawa Timur, dengan kapal laut. Dia tiba di Surabaya pada akhir Oktober, lantas bertemu dengan sejumlah pejabat pemerintah. Dia minta dukungan pemerintah setempat berupa peta, arahan, dan nasihat untuk meluweskan misi jalan kaki keliling dunia.
Pejabat pemerintah setempat menaruh takzim pada Lawalata. Mereka menilai Lawalata sebagai simbol semangat Indonesia baru, Indonesia yang merdeka dan sejajar dengan bangsa lain; mampu melakukan apa yang bangsa lain pernah lakukan, yaitu menjelajah dunia.
Setelah pertemuan Lawalata dengan pejabat itu, nama Lawalata tersebar dan hinggap di telinga khalayak. Media memberitakan sosok dan rencana perjalanannya.
Baca juga: Budaya Sepeda Orang Indonesia
Lawalata menjejak wilayah Jawa Tengah pada November. Orang tempatan berdiri di tepi jalan, menyambut, dan mengelukan namanya. Seorang istri bupati membuatkannya beras kencur untuk dioleskan ke kakinya yang bengkak setelah menempuh ratusan kilometer. Tak sedikit pula yang merogoh kocek untuknya.
Tapi Lawalata menolak pemberian uang untuk keperluan pribadinya. “Ia tak mau menerima dan mempergunakan pemberian-pemberian yang diperolehnya untuk keperluan diri sendiri, dan telah menyerahkan semua pemberian itu kepada PMI (Palang Merah Indonesia),” tulis Aneka, 10 Januari 1955.
Lawalata hanya berharap bantuan kemudahan administrasi dan navigasi. Semisal visa, surat keterangan dari Presiden Sukarno untuk di negara-negara yang akan dilaluinya, dan rute perjalanan.
Diikuti Orang Lain
Belum habis rasa takzim orang pada Lawalata, muncul seorang pemuda usia 20 tahunan bernama Saleh Kamah. Dia berasal dari Manado dan bekerja di Sulawesi Selatan sebagai wartawan. Keinginannya serupa Lawalata: menaklukan tiap jengkal daratan dan lautan dunia. Bedanya, Lawalata jalan kaki, dia naik sepeda.
Saleh Kamah terpikat dengan cerita turun-temurun pitarahnya. Mereka adalah pengembara ulung, pencari teripang hingga ke Pantai Utara Australia sejak abad ke-14. Mereka berkenalan dengan suku Aborigin dan bertukaran kebudayaan. Kisah pencari teripang asal Sulawesi Selatan itu dapat dinikmati oleh generasi sekarang dalam buku The Voyage to Marege: Macassan Trepangers in Northern Australia karya C.C. Macknight.
Rasa ingin tahu terhadap kebudayaan masyarakat di belahan dunia lain turut pula mendorong Saleh Kamah berkeliling dunia. “Ia ingin sekali mengetahui, apakah sebenarnya yang terselip dalam kota-kota dunia yang besar seperti Kairo, Paris, London, New York, dan lain-lain,” tulis Minggu Pagi, 5 Desember 1954.
Baca juga: Demam Sepeda 1990-an
Keinginan Saleh Kamah menjelajah dunia berseberangan dengan harapan keluarganya. Mereka maunya Saleh Kamah sekolah saja atau bekerja. Tidak usah macam-macam. Ada banyak tentangan dari keluarga. Orang di luar keluarga pun mencibir Saleh Kamah.
“Malah ada sementara orang yang mengatakan, bahwa orang yang berbuat itu adalah orang yang sudah putus harapan atau tidak mempunyai pekerjaan,” catat Minggu Pagi. Tapi Saleh Kamah sudah berbulat tekad. Akhirnya dia tetap pergi. “Jam 10 pagi tepat, di hari Pahlawan 10 November,” tulis Aneka, 1 Januari 1955.
“Biar api dan topan mengganas
Berabad jang tak pernah diulang
Mendjadi kewadjiban bagiku untuk mengulang
Dan nantikan aku sesudah tunai
Kewadjiban dari mojangku,”
Demikian puisi Saleh Kamah kepada keluarga dan orang sekitarnya pada hari kepergiannya. Dia pergi sendirian dari Makassar menuju pulau Jawa. Dari Jawa, dia bakal menyeberang ke Sumatra lantas masuk ke wilayah Asia Tenggara. Terus merangsek ke Asia Selatan, Eropa, terbang ke Amerika. Lanjut lewat jalur Pasifik, Jepang, Uni Soviet, Tiongkok, Burma, dan akhirnya masuk lagi ke Indonesia.
Baca juga: Pendiri Bangsa Cerita tentang Sepeda
Selain Lawalata dan Saleh Kamah, hasrat keliling dunia juga ada pada pemuda Damardjati, J. Rahasia, A.C. Djuhari, Sudjono, dan Abdullah Balbed.
Para pemuda itu punya satu tujuan, tapi berlainan cara untuk keliling dunia. Damardjati mengayuh sepeda, J. Rahasia berlayar dengan kapal bikinannya sendiri, A.C. Djuhari mengompreng kendaraan, sedangkan Sudjono dan Abdullah Balbed berjalan kaki.
Sebelum meninggalkan Indonesia, para pemuda tersebut menyasar Jakarta. Mereka ingin bertemu Presiden Sukarno dan minta restu. Mereka yakin restu dan dukungan dari Sukarno akan menjadi bekal tambahan di perjalanan, selain bekal materi dan fisik.