Masuk Daftar
My Getplus

Tentang Mawie, Lili dan Romansa Perang Burma

Kisah kecil tentang orang Indonesia yang ikut perang Burma dan bertemu jodoh di tengah pertempuran.

Oleh: Bonnie Triyana | 11 Sep 2017
Gerilyawan Partai Komunis Burma berjalan kembali ke markasnya setelah perundingan damai gagal, November 1963. Foto: Yangon Heritage Trust/wikimedia.org.

TIGA generasi berkumpul pada rumah yang terletak di jantung kota Almere itu. Sebagian besar berbahasa Indonesia, sedikit di antaranya terdengar bercakap-cakap dalam berbagai bahasa: Belanda, Cina dan bahkan Rusia. Hari itu, Sabtu 9 September yang lalu, mereka berkumpul memperingati enam bulan wafatnya seorang suami, ayah, kakek juga kawan yang selalu bersama di dalam hari-hari terang maupun kelam hidup berpuluh tahun jauh dari tanah air.

Mawie Ananta Jonie, seorang penyair sekaligus wartawan yang dikenang hari itu, berpulang pada 1 Maret yang lalu. Mungkin namanya tak banyak dicatat dalam narasi utama sejarah di Indonesia yang seringkali hanya mengisahkan tokoh-tokoh besar beserta drama kehidupannya. Tapi Mawie punya kisahnya sendiri.

Terlahir sebagai anak Minang dua tahun sebelum Jepang datang menduduki Indonesia. Malang melintang sebagai aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), penyair dan wartawan. Pada 1964 berangkat ke Tiongkok untuk tugas belajar namun prahara politik 1965 mengubah jalan nasib dari benderang menjadi remang. Semenjak itu dia meniti jalan hidup sebagai orang terhalang pulang, mengembara mulai dari negeri Tiongkok, Burma dan sejak 1989 bermukim di Belanda.

Advertising
Advertising

Di tengah-tengah acara, seseorang yang hadir dalam peringatan itu berbisik-bisik, “Mawie kuat karena ada Lili,” katanya ditingkahi anggukan setuju dari kawan di sebelahnya. Siapa Lili? Lili Salawati, istri Mawie, bukan perempuan biasa. Sampai ketika dia mengatakannya sendiri, saya tak menyangka kalau dia berasal dari Burma. “Maaf bahasa Indonesia saya kurang bagus,” katanya merendahkan diri. Lili Salawati nama Indonesia pemberian Mawie.

Dalam sambutannya, Lili kembali mengenang masa-masa awal pertemuannya dengan Mawie. “Waktu itu dia sering datang ke tempat saya, numpang makan. Saya waktu itu tegur dia kok setiap kali datang selalu makan,” kata Lili. Rupanya di sanalah cinta Mawie bersemi.

“Waktu dia bilang cinta sama saya, saya tidak membalas dan tak bisa mengerti itu. Bahkan sampai kemudian kami menikah, punya anak, saya belum pernah mengatakan cinta padanya,” kata Lili menambahkan.

Kesempatan membalas ucapan cinta baru terjadi saat suami yang mendampinginya selama berpuluh tahun itu terbaring sakit. “Waktu seminggu sebelum dia meninggal, saya bilang sama Mawie, bap...saya cinta kamu,” ujarnya disambut riuh tepuk tangan.

Lili melanjutkan ceritanya tentang sebuah insiden yang nyaris membunuh nyawa sepuluh orang saat mereka berada di pedalaman Burma. Kala itu setiap kali musim penghujan tiba, sungai mendadak meluap dengan cepatnya. “Orang-orang itu naik gerobak yang ditarik sapi hanyut disapu banjir. Mawie lempar bajunya ke arah saya lantas loncat sungai selamatkan orang-orang itu. Untuk itu saya berterima kasih betul padanya.” Sepuluh nyawa manusia berhasil lolos dari maut berkat Mawie.

Lantas bagaimana sepasang anak manusia itu bisa bertemu jodoh di Burma? Cerita saya dapatkan dari tamu lain. Lili, katanya, komandan kompi tentara perempuan kiri yang berafiliasi kepada Partai Komunis Burma ketika pecah perang sipil semasa kediktatoran Ne Win. Sedangkan Mawie turut berjuang atas nama solidaritas kaum kiri, datang langsung dari Tiongkok yang saat itu baru saja melangsungkan revolusi besar kebudayaan proletar. Mereka bertemu di medan perang Burma.

Saya melihat ini sebuah kisah yang sangat filmis: dengan gambaran letusan senjata dan suasana mencekam di sela-sela peperangan. Lukisan romansa masa pertempuran itu terekam juga di dalam sebuah puisi karya Mawie untuk memperingati 30 tahun pernikahannya yang berjudul Untuk Sebuah Mimpi dan Arti Kata Merdeka.

Ketika luka luka itu masih terus meradang dengan sakitnya adikku,

aku seberangi sungai dan panjati puncak puncak gunung negerimu.

Ini untuk sebuah mimpi dan arti kata merdeka yang diperjuangkan,

dan di sini aku pernah bikin janji jika aku mati kuburlah tanpa nisan.

Waktu itu barisanmu berderap maju tanpa kata menyerah,

bersemangat sumpah “hutang darah harus dibayar dengan darah”.

Orang orang boleh saja bermimpi ya adikku tiada yang melarang,

tapi kenyataan kenyataan lain dari apa yang dirancang.

Hari ini adalah hari yang Ke 30 pernikahan kita

dibawah tenda dan senja dengan bunga merah kesumba.

Sayup sayup terdengar suara tembakan senapan jauh,

di lekuk siku jalan cinta kita bersauh.

Amsterdam, 05/02/2006

Usai perang pasangan ini menetap di Tiongkok, kemudian mendapatkan suaka politik dari Belanda. Mereka dikarunia dua anak. Semua berbahasa Indonesia. “Bapak selalu mengajarkan kepada kami bahwa orang Indonesia harus bisa bahasa Indonesia,” ujar anak sulungnya.

Hari makin surut. Matahari perlahan tenggelam, mengganti hari yang hangat menjadi dingin di awal musim gugur. Semua tamu beranjak pergi meninggalkan rumah yang telah dihuni oleh “keluarga gerilya” itu selama berpuluh tahun.

TAG

surat dari amsterdam

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Genderuwo yang Suka Menakut-nakuti Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Eric Carmen dan "All By Myself" Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Yusman Sang Maestro Patung dari Pasaman Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea