Sehari usai Proklamasi, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Sukarno terpilih sebagai presiden pertama Indonesia. Lepas sidang, dengan berjalan kaki, Sukarno pulang ke rumahnya di Jalan Pegangsaan. Di jalan, dia bertemu dengan tukang sate pinggir jalan. Lalu, meluncurlah perintah pertamanya sebagai presiden: “Sate ayam lima puluh tusuk.”
Tanpa sungkan, dengan berjongkok di dekat got dan tempat sampah sebagaimana orang kebanyakan, Sukarno melahap sate pesanannya. “Itulah seluruh pesta perayaan terhadap kehormatan yang kuterima,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Sate terbilang makanan populer sejak dulu. Dari pedagang kaki lima hingga restoran menyajikan menu sate. Pada 2011 dalam survei CNN Go sate menempati urutan 15 sebagai World’s 50 most delicious foods. Dalam jajak pendapat pembaca oleh lembaga yang sama sate juga masuk dalam delapan jajanan kaki lima terfavorit di dunia.
Siapa nyana sate menyimpan sejarah panjang perpaduan beragam kebudayaan.
Paduan Arab-India
Riwayat sate bisa dirunut dari perkembangan konsumsi daging orang Nusantara. Merujuk studi sejarawan Anthony Reid, di masa klasik orang Nusantara umumnya jarang mengkonsumsi daging karena minimnya lahan untuk beternak. “Makan daging selalu bermakna ritus karena kaitannya yang erat dengan upacara pengorbanan hewan,” tulis Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450–1680.
Daging hewan sebagai persembahan umumnya muncul dalam upacara daur hidup seperti khitan, perkawinan, dan kematian. Daging juga menjadi sajian khusus dalam pendirian bangunan baru, pembuatan kapal, pembersihan desa, dan peringatan penting keagamaan.
“Orang kaya menyembelih kerbau, kambing, atau babi, sedangkan orang miskin setidak-tidaknya berusaha menyajikan ayam. Di istana-istana raja terdapat banyak acara pesta termasuk saat-saat menerima duta asing atau utusan setempat,” tulis Reid.
Baca juga: Awal Mula Manusia Suka Makan Daging
Daging sebagai konsumsi harian diperkirakan dimulai seiring kedatangan orang-orang Arab dan India muslim untuk berniaga sekira abad ke-10. Di Arab, daging kambing diolah dengan cara dibakar dan dikenal dengan shish kebab. Metode itu populer sejak zaman Kesultanan Utsmaniyah. Sebelum sampai di Nusantara tradisi kebab diduga mendapat pengaruh India. Hal ini wajar mengingat India adalah persinggahan musafir Arab yang hendak menuju kepulauan Nusantara.
“Orang India yang muslim mengadopsi kuliner kebab lalu ada proses mixing di antara kedua budaya itu. Itulah asalnya masakan yang ditusuk dan dibakar yang kita kenal sebagai sate. Bahannya pun jelas menunjukkan selara Arab dan India muslim, berupa daging sapi, kambing, domba,” ujar Fadly Rahman, sejarawan kuliner yang mengajar di Program Studi Sejarah Universitas Padjadjaran, Bandung.
Jejak India terlihat dari nama kuliner ini. Alih-alih menggunakan nama kebab, di Nusantara olahan daging ini justru dikenal dengan nama sate. Sebutan sate, yang populer di Jawa dan Melayu, diperkirakan berasal dari bahasa etnis muslim Tamil di pesisir India dan Sri Lanka.
Baca juga: Makan Daging Masa Jawa Kuno
Ada juga yang menyebut sate mendapat pengaruh Tionghoa. Alasannya, kata sate merupakan pelokalan dari sa tae bak yang merujuk pada makanan dengan bahan “tiga potong daging”. “Di Tiongkok sate menggunakan tiga kerat daging karena angka tiga menyimbolkan keberuntungan. Daging yang lazim digunakan adalah ayam dan babi,” ujar Fadly.
Sama seperti asal-usulnya yang sumir, sejak kapan nama sate disematkan untuk olahan daging ini juga sulit dipastikan. Meski begitu, sebelum sate populer, masyarakat kita mengenal makanan sejenis itu. Misalnya, di Mataram dan Bali.
Ketika istana Mataram dipindahkan dari Kartasura ke Surakarta pada 1744, Sunan Pakubuwono II memulai tradisi adang sega tahun Dal dalam perayaan Grebeg Maulud. Itu ritus istimewa karena digelar pada tahun Dal, tahun kelima dalam siklus delapan tahunan penanggalan Jawa, yang bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad. Saat itu sunan memasak nasi yang diperuntukkan bagi rakyatnya. Lauknya: dendeng dan sate penthul. Lauk ini, sama dengan ritusnya, hanya dimasak saat perayaan tahun Dal.
Baca juga: Kuliner Tiga Dunia
Sementara di Bali, dalam lontar Dharma Caruban yang merangkum tata cara dan menu dalam upacara Hindu, disebutkan ada sembilan sesate yang wajib ada dalam upacara Galungan. Salah satunya penawa sanga, sesate yang menjadi perlambang senjata Sang Hyang Nawa Dewata atau dewata yang bersemayam di sembilan penjuru mata angin.
Menilik temuan itu, apakah masyarakat lokal telah mengolah sate sebelum meluasnya pengaruh Arab dan India? Fadly meragukan hal itu. “Jelas dari wujud berbeda dari umumnya sate. Sate lilit dan pusut dalam kuliner Bali tidak menggunakan potongan daging, tetapi daging cincang dicampur parutan kelapa dan bumbu-bumbu,” kata Fadly.
DarI Jalanan hingga Rijsttafel
Pada abad ke-19 terjadi peningkatan jumlah imigran Arab, terutama dari Hadramaut, di Hindia Belanda. Diperkirakan sejak itulah sate kian populer. Terutama di Jawa yang memiliki koloni Arab dalam jumlah besar di Batavia, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, dan Surabaya.
“Kalau melihat foto-foto abad ke-19, ada yang menampilkan penjual sate dengan pikulan. Bisa jadi pada masa itu sate telah menjadi makanan rakyat yang populer,” ujar Fadly.
Sate kemudian naik kelas ketika buku-buku masakan mulai diterbitkan. Terlebih dengan berkembangnya industri pariwisata awal abad ke-20. “Dengan adanya hotel-hotel dan restoran, akhirnya menu-menu lokal seperti sate tampil di menu card. Melalui penyajian yang di-Barat-kan, sate dinikmati pula orang Eropa. Sate menjadi khas dalam rijsttafel,” kata Fadly.
Baca juga: Soerat Makan Kolonial
Sebagaimana tradisi berkembang, sate pun demikian. Kini, sate bukan hanya terbuat dari daging. Sebutlah sate ikan, sate telur puyuh, sate usus, sate kerang, atau sate kere yang berbahan tempe. Dalam buku masakan Mustika Rasa yang disusun semasa Presiden Sukarno, sate digolongkan sebagai “masakan dengan bahan baku yang ditusuk dan dibakar. Dihidangkan dengan sambal kecap atau sambal kacang.” Ini jelas membedakan sate dari kebab.
Hal senada juga diutarakan Fadly Rahman bahwa “sate lebih merupakan teknik memasak, bukan masakan daging sebagaimana acap dimaksud keliru oleh kebanyakan orang.”