Masuk Daftar
My Getplus

Awal Mula Manusia Suka Makan Daging

Daging membuat manusia menjadi manusia. Makan daging terkait pertumbuhan otak.

Oleh: Risa Herdahita Putri | 20 Mei 2019
Seorang pria memegang daging. (RossHelen/Shutterstock).

Mengapa daging di atas panggangan terlihat menggiurkan? Mengapa mendengar suaranya mendesis saja bisa membuat air liur menitik? Yang jelas itu karena manusia suka makan daging. Namun mengapa manusia lebih banyak makan daging bila dibandingkan dengan sepupu-sepupu primatanya?

Ada beberapa teori yang bisa menjawabnya. Termasuk soal kapan, bagaimana manusia mulai memasukkan daging dalam jumlah lebih besar ke dalam menu omnivoranya.

Kisahnya dimulai antara 2,6 dan 2,5 juta tahun silam. Waktu itu, bumi jauh lebih panas dan kering. Nenek moyang jauh manusia, yang secara kolektif disebut hominin, sebagian besar hidup dari buah, daun, biji, bunga, kulit kayu, dan umbi-umbian.

Advertising
Advertising

Saat suhu naik, hutan rimbun menyusut dan padang rumput besar tumbuh subur. Tanaman hijau pun menjadi langka. Tekanan evolusi memaksa moyang manusia itu untuk menemukan sumber energi baru.

Baca juga: Ikuti Proyek DNA: Sebineka Apa Kamu?

Di sisi lain, padang rumput menyebar di seluruh Afrika. Ini mendukung semakin banyak herbivora merumput. “Lebih banyak rumput berarti lebih banyak hewan yang merumput, dan lebih banyak hewan yang merumput berarti lebih banyak daging,” kata Marta Zaraska, penulis buku Meathooked: The History and Science of Our 2.5-Million-Years Obsession With Meat.

Begitu manusia mencoba daging sesekali, tidak butuh waktu lama untuk menjadikannya bagian utama dari menu makanannya. Kendati begitu, nenek moyang hominin manusia diperkirakan belum mampu menjadi pemburu. Dimungkinkan, mereka hanya mengambil daging dari bangkai yang jatuh.

Beberapa jalur bukti menunjuk pada perubahan pola makan Homo. Perubahan sturktur gigi Homo purba menunjukkan adanya kebiasaan makan daging. Itu sebagaimana ditunjukkan juga oleh penyempurnaan teknologi perkakas batu.

History menulis, di situs-situs di Kenya yang berasal dari 2 juta tahun lalu, para arkeolog telah menemukan ribuan “pisau” batu di dekat tumpukan besar fragmen tulang hewan. Mereka membutuhkan alat batu sebagai gigi kedua. Pasalnya, gigi moyang hominin manusia lebih besar daripada manusia modern. Rahang mereka dirancang untuk menggiling dan mencerna bahan makanan nabati, bukannya daging mentah.

Baca juga: Bukti Terbaru Asal Usul Manusia Modern

Namun, alat itu oleh beberapa ahli dipercaya lebih digunakan untuk menghancurkan tulang besar dan mengiris daging, bukan untuk berburu mangsa hidup. Dagingnya diperoleh dari sisa hewan buruan milik predator yang hidup kala itu. Artinya, moyang manusia lebih dari satu juta tahun lalu adalah pemulung, bukannya pemburu.

Kedati begitu, menurut Richard Leakey seorang ahli paleoantropologi dan konservasi di Kenya, semua itu masih merupakan kontroversi dalam antropologi. Tak jelas apakah manusia secara aktif memulung dengan menunggu kucing besar untuk membunuh mangsanya dan kemudian menakuti mereka dengan lemparan batu atau suara keras. Atau apakah mereka secara pasif mencari apa yang tersisa ketika pemburu bergigi tajam meninggalkan hasil buruannya.

“Tapi saya tak ragu bahwa daging berperan penting dalam kehidupan sehari-hari leluhur kita,” tegasnya dalam Asal Usul Manusia.

Daging, Bekal Evolusi Manusia

Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa daging membuat manusia menjadi manusia. Leakey bilang, meningkatnya ukuran otak yang merupakan bagian dari paket evolusi Homo mungkin telah menuntut spesies ini melengkapi pola makannnya dengan sumber yang kaya energi.

“Otak adalah organ yang rakus secara metabolis. Pada manusia modern, misalnya, otak hanya 2 persen berat tubuh. Namun ia melahap 20 persen cadangan energi,” katanya.

Rekonstruksi manusia prasejarah sedang makan daging di The Chicago Field Museum (Henry Guttmann Collection/Hulton Archive/Getty Images).

Primata adalah kelompok berotak paling besar di antara semua mamalia. Sementara, manusia telah terus menerus memperbesar ciri ini. Otak manusia tiga kali otak kera dengan ukuran tubuh yang sama.

“Antropolog Robert Martin dari Institute of Anthropology, Zurich, telah menegaskan bahwa meningkatnya ukuran otak ini kiranya bisa terjadi hanya bila ada tambahan pasokan energi,” lanjut Leakey.

Baca juga: Spesies Baru Manusia Ditemukan

Daging merupakan sumber yang padat kalori, protein, dan lemak. Hanya dengan menambah daging dalam jumlah yang memadai pada pola makannya, moyang hominin manusia itu bisa membentuk otak dengan ukuran melampaui Australopithecus, pendahulunya.

“Berdasarkan semua alasan itu, saya menyarankan, adaptasi penting dalam paket evolusioner Homo purba adalah memakan daging,” kata Leakey.

Bahkan dalam bukunya, Zaraska mengatakan manusia masih mendambakan daging hari ini sebagian karena otaknya berevolusi dari sabana Afrika dan masih terhubung untuk mencari sumber protein yang padat energi itu. Ini di samping alasan signifikansi budaya dan adanya korelasi yang jelas dengan kemampuan finansial seseorang.

Baca juga: Manusia Pertama di Benua Amerika

“Negara-negara industri Barat rata-rata lebih dari 220 pon daging per orang per tahun, sedangkan negara-negara Afrika termiskin rata-rata kurang dari 22 pon per orang,” tulisnya dikutip History.

Sementara, terlalu banyak makan daging kini dikaitkan dengan penyakit jantung dan penyakit kanker tertentu. Dulu, hal-hal itu tidak dikhawatirkan oleh leluhur jauh manusia. “Karena mereka tidak hidup cukup lama untuk menjadi korban penyakit kronis. Tujuan hidup nenek moyang kita sangat berbeda dari tujuan kita. Tujuan mereka adalah masih bisa hidup keesokan harinya," kata Zaraska.

TAG

Prasejarah Kuliner Genetika

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Dari Manggulai hingga Marandang Ranah Rantau Rumah Makan Padang Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana Diaspora Resep Naga Wisata Kuliner di Tengah Perang Pilih Cabai atau Lada? Aroma Pemberontakan di Balik Hidangan Pasta Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Terites, dari Kotoran Hewan yang Pahit jadi Penganan Nikmat