DALAM novel Max Havelaar (1860), Multatuli, nama pena Eduard Douwes Dekker, menggambarkan bagaimana komoditas kopi dan aneka hasil bumi menyimpan kegetiran praktik tanam paksa di masa kolonial. Sejarah menyakitkan itu didekonstruksi dan dieksplorasi sejumlah seniman seni rupa lewat karya-karya mereka di Pameran “The Book That Killed Colonialism”.
Pameran yang dibuka Dirjen Kebudayaan RI Hilmar Farid pada Kamis (5/10/2023) petang itu merupakan bagian dari Festival “Road to Max Havelaar” yang digelar di Bentara Budaya Jakarta dari 5-9 Oktober 2023. Pamerannya menyajikan sekira 20 karya lukisan, patung, dan instalasi dengan sejarah kopi dan kolonialisme sebagai benang merahnya.
“Kita mengajak teman-teman seniman untuk merayakan Max Havelaar. Menjadi awareness juga buat teman-teman seniman bahwa dari buku Max Havelaar ini juga menjadi inspirasi buat dieksplor. Kita batasi tematiknya itu, di mana menurut Pramoedya (Ananta Toer), buku ini berhasil membunuh kolonialisme,” kata ketua panitia pameran, Prawoto Indarto, kepada Historia, Kamis (5/10/2023).
Baca juga: Membuka Mata dan Hati Setelah Multatuli Pergi
Pameran ini, lanjut Indarto, adalah bagian dari gerakan perjalanan Max Havelaar untuk mengkritisi kembali masalah kemanusiaan yang muncul dari situasi global yang makin kompleks. Oleh karenanya lukisan-lukisan realis yang jadi pilihan, agar mempermudah masyarakat mencerna simbolisme dan interaksi dengan Max Havelaar.
“Makanya lukisan-lukisan yang ada di sini banyak yang beraliran realis. Kita ingin menempatkan bahwa inilah kenyataan atau realitas yang ada di kehidupan sehari-hari yang ada kaitannya dengan eksploitasi dan sebagainya,” lanjutnya.
Satu di antara eksplorasi dan upaya dekonstruksi kapitalisme Barat itu terdeskripsi dalam lukisan bertajuk “The Western Supremacy: Cultuurstelstel & King Willem III” karya Syakieb Sungkar. Lukisan cat minyak di atas kanvas berdimensi 150 x 150 cm itu menyajikan gambaran para petani bumiputera yang berjibaku di perkebunan kopi sedang diawasi seorang feodal. Di atasnya terdapat gambaran uang melimpah, kapal dagang, dan Raja Willem III melayang di langit biru sebagai penikmat manisnya kolonialisme di atas pahitnya penderitaan para petani akibat tanam paksa. Gamblangnya skema kolonialisme dari hulu ke hilir yang terlalu kuat untuk dilawan itu tergambar jelas di sana.
Baca juga: Aroma Kopi yang Menggugah Revolusi Dunia
Kendati kolonialisme sudah lenyap kini, kapitalisme sebagai “moyangnya” tetap eksis menciptakan ketidakadilan yang masih terasa di tengah-tengah masyarakat saat ini.
“Bahwa praktik fair trade-nya kapitalisme sebenarnya juga tidak adil karena ada strategi ganda. Di satu sisi negara-negara miskin disuruh liberal tapi di sisi lain ketika produk dipasarkan di negara-negara kaya malah dibatasi aturan-aturan. Seperti yang terjadi pada (gugatan) Uni Eropa yang melarang hilirisasi nikel, itu gambaran nyata perdagangan bebas,” tukas Indarto.
Baca juga: Menikmati Pameran “Para Sekutu Yang Tidak Bisa Berkata Tidak”