Masuk Daftar
My Getplus

Ketika Dua Kubu Seniman Muda Membuat Gebrakan

Tak hanya menyatukan dua kubu yang berseteru, Gerakan Seni Rupa Baru ikut membidani kelahiran seni rupa kontemporer Indonesia.

Oleh: Nur Janti | 11 Jan 2018
Pameran Gerakan Seni Rupa Baru/Foto: archive.ivaa-online.org/repro: Iwan Kurniawan.

MUAK dengan keputusan dewan juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia (18-31 Desember 1974) yang tak menganggap karya seni modern usungan pelukis-pelukis muda, sejumlah seniman muda melakukan protes. Mereka membuat keputusan bersama yang menganggap keputusan itu sebagai wajah asli kemunduruan seni rupa Indonesia, kemudian dikenal dengan “Desember Hitam”. Para seniman muda itu lalu bergabung dan melahirkan Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).

Sebelum Desember Hitam ada, dunia seni rupa terbagi dalam dua kubu: Bandung dan Yogyakarta. Kubu Bandung berisi seniman lulusan ITB, karya-karyanya bergaya abstrak, berkeyakinan bahwa praktik seni rupa bersifat universal, dan tak percaya adanya seni rupa khas Indonesia. Karya-karya kubu Bandung sudah memperlihatkan gejala apolitis sejak awal keunculannya pada1950-an.

Sementara, seniman kubu Yogyakarta, tulis Aminuddin Siregar dalam Instalasi Sunaryo (1998-2003), menawarkan narasi, cerita, dan citraan realistik dalam karyanya. Kubu Yogyakarta juga percaya adanya nilai-nilai tradisi dan sosial. Perkembangan arus utama seni rupa Indonesia juga berpusat di Yogyakarta. Oleh karena itu, kubu Yogyakarta menyebut kubu Bandung kebarat-baratan dan bukan nasionalis.

Advertising
Advertising

Pertentangan kedua kubu ini sampai disebut Claire Holt dalam Art in Indonesia: Continuities and Change sebagai “The Great Debate”. Tapi seniman muda dari kedua kubu kemudian bersatu setelah Pameran Besar Seni Lukis Indonesia tahun 1974. Mereka memprotes seniman-seniman mapan di masanya. Menurut kurator seni Jim Supangkat, seniman muda Yogyakarta pada dasarnya mengkrritik terjadinya depolitisasi pada perkembangan seni rupa Indonesia, khususnya di kubu Yogyakarta sendiri.

Pada 1960-an, para seniman Yogyakarta dekat dengan organisasi-organisasi kiri. Karya-karya mereka kebanyakan mengangkat masalah sosial-politik. “Dibandingkan masa Orde Baru, lukisan Indonesia cenderung menampilkan sosial-politik karena Indonesia sedang ke kiri ketika itu. Seniman-seniman terlibat organisasi-organisasi underbow-nya PKI,” kata Jim via telepon kepada Historia.

Sesudah 1965, Orde Baru yang militerisitis dan anti-komunis melakukan pemberangusan dan pembersihan organ-organ yang dianggap kiri. Orang-orang ditangkap dan dikirim ke berbagai tempat penahanan atau Pulau Buru. Hal ini menimbulkan ketakutan di lingkungan seniman dan muncullah gejala depolitisasi dengan wujud penggantian tema sosial-politik menjadi tema heroik dan nasionalis yang disukai pemerintah. “Daripada ditangkap, kemudian bicara yang bagus-bagus saja. Mungkin malah menyanjung-nyanjung keberhasilan Orde Baru.”

Hal itulah yang menjadi sasaran kritik Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB). Sejak terbentuk tahun 1975, GSRB beberapa kali mengadakan pameran. Pada Agustus 1975, pameran yang dihelat GSRB di Taman Ismail Marzuki (TIM) menampilkan 70 karya dari 11 pelukis muda.

“Paling Top ‘75” karya FX Harsono, “Kamar Tidur Perempuan dengan Anaknya” karya Jim Supangkat, dan “Sang Direktur” karya Hardi, sebagian karya yang dipamerkan dalam pameran itu menjadi eksekusi nyata protes para seniman muda kepadan “guru-guru”-nya. Karya-karya mereka tidak terikat pada nilai-nilai lama yang diusung pelukis era sebelumnya, seperti kecermatan, sentuhan, dan kontemplatif. Sebaliknya, mereka menampilkan ide atau pengalaman sehari-hari yang tak sekadar alam desa atau pemandangan indah tetapi soal polusi, perang, dan industri.

“Paling Top ‘75”, misalnya, menampilkan sebuah senjata api di dalam kurungan kayu. “Pistol paling top, yang buat Harsono, itu pada pameran seni rupa baru. Di masa itu ketika dipamerkan tidak memunculkan isu soal militerisme tapi ya maksudnya mungkin militer,” ujar Jim.

Pada Februari dan April 1977 serta 1979, GSRB kembali mengadakan pameran di Jakarta dan Bandung. Meski demikian, menurut Jim, karya-karya GSRB dari 1975 sampai 1979 tidak secara eksplisit menampilkan tema sosial-politik. Gejala mengangkat tema sosial-politik justru muncul pada dekade 1980. “Awal tahun 1970-an itu Soeharto belum terlalu represif. 1970-an itu Indonesia masih merayakan perkembangan ekonomi. Nah, baru pada 1980-an muncul karya-karya yang menyuarakan masalah sosial-politik karena makin represifnya Orde Baru.”

Namun, keretakan akhirnya muncul dalam tubuh GSRB. Menurut Jim, hal itu berawal dari silang pendapat antara dirinya dan Hardi. “Pameran 1979 itu bentuk gerakannya terlihat karena pesertanya banyak, seniman muda banyak yang ikut dan itu menunjukkan gerakan. Hardi tidak setuju anggotanya menjadi banyak. Dia ingin kalau GSRB tetap menjadi kelompok kecil,” kata Jim. Jim juga tak sepakat dengan keinginan Hardi membawa seni rupa ke tengah pusaran konflik elit politik di bawah Soeharto. “Pertengkaran antara Ali Murtopo dengan Sutopo Yuwono, Hardi malah terlibat dalam pertengkaran power itu. Nah saya tidak suka.”

Setelah di Bandung tahun 1979, GSRB pun bubar. Para eksponen GSRB seperti FX Harsono, Siti Adiyati Subangun, Jim Supangkat, Dadang Christanto dan beberapa seniman muda lain kembali muncul pada 1987. Mereka mengeluarkan Manifesto Gerakan Seni Rupa Baru pada 2 Mei 1987 yang secara garis besar berisi kritik terhadap definisi seni rupa, praktik seni yang dianggap elitis, dan adanya ketidakpekaan terhadap gejala baru seni rupa Indonesia. Praktiknya mereka lakukan pada Pasaraya Dunia Fantasi Proyek I di Taman Ismail Marzuki, 15-30 Juni 1987.

Selain mengkritik depolitisasi dalam seni, GSRB juga mengkritik seniman-seniman mapan yang dalam praktik seni kebarat-baratan dan elitis serta memaknai seni rupa sebatas seni lukis, patung, dan grafis. GSRB bukan hanya penanda tetapi sebagai ibu yang melahirkan seni rupa kontemporer Indonesia.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo