NARASI tentang Jepang yang termuat di buku pelajaran sejarah maupun sejarah umum jamak berkutat pada periode kelam 3,5 tahun pendudukan dengan aneka cerita kekejaman yang mengikutinya. Bertolak dari fakta tersebut, Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) di Jalan Imam Bonjol I Jakarta –yang dulu merupakan tempat naskah proklamasi 17 Agustus 1945 dirumuskan, dituliskan, dan diketik– menghelat pameran bertajuk “Sakura di Khatulistiwa”, 9 Agustus-10 September 2022 sebagai pengingat bahwa bangsa Jepang sudah hidup berdampingan dan bersentuhan secara sosial dan ekonomi dengan penduduk lokal dan budaya setempat sejak sebelum Republik Indonesia berdiri.
Pameran di bekas rumah dinas seorang perwira kaigun (AL Jepang) itu menyajikan beragam narasi historis era pendudukan Jepang yang tersisihkan dari narasi baku. Digelar di lantai dua Munasprok, pameran itu menghadirkan sejumlah barang koleksi yang tersebar di lima galeri yang dipinjam dari koleksi Munasprok, Museum Penerangan, hingga Yayasan Persahabatan.
Galeri I: Jepang di Nusantara, menampilkan narasi tentang jejak awal orang-orang Jepang. Ruangan berdinding biru itu memamerkan sejumlah lukisan dan foto lawas perihal awal-awal kedatangan orang Jepang yang direproduksi. Periode ini dimulai pada era Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), di mana para ronin atau samurai tak bertuan didatangkan VOC sebagai pembunuh bayaran dalam rangka penaklukan Banda pada 1621.
Baca juga: Pameran Yōkai, Amabie, dan Pandemi
Selanjutnya, gelombang pertama perantau Jepang di era Hindia Belanda, dirintis karayuki, semacam pekerja seks komersial (PSK) pada medio abad ke-19. Itu digambarkan dalam sebuah foto lawas yang direproduksi yang memperlihatkan empat perempuan penghibur Jepang berparas jelita yang berpose santai dengan kimono. Sesuai etimologinya, para karayuki itu lazimnya menjejakkan kaki di Nusantara setelah mengembara dari Manchuria, Cina, dan Singapura dengan faktor pendorong ekonomi.
“Karayuki-san jadi lema untuk menyebut para perempuan yang berasal dari Pulau Amakusa di Semenanjung Shimabara di barat Kyushu. Karayuki yang artinya ‘pergi ke Cina’ tak lain karena Kyushu yang terdekat dengan Cina. Mereka biasanya datang dari masyarakat miskin di periode Meiji-Taishō untuk mencari nafkah di negeri orang sebagai PSK. Mereka sudah masuk ke Singapura dan berdiam di rumah-rumah bordil sejak 1870 bersaing dengan ah ku atau PSK Cina di era kolonial Singapura,” ungkap James Francis Warren dalam Ah Ku and Karayuki-san.
Baca juga: Menyesapi Cerita-Cerita Tersembunyi di Pameran Revolusi!
Para karayuki-san yang umumnya berusia 18 tahun itu umumnya dijadikan komoditas para human trafficker via jalur laut. Mereka diselundupkan dari Singapura maupun “diimpor” langsung dari Jepang dengan modus klasik: mencari penghidupan lebih baik di rantau. Konsentrasi terbanyak mereka dimulai dari Medan, Sumatera.
“Sebelum Perang Dunia I, terhitung ada 500 sampai 600 karayuki-san di Medan, lebih dari 100 di Batavia (kini Jakarta), lebih dari 200 di Surabaya, lebih dari 60 di Semarang, dan 400 sampai 500 di Lombok,” tulis Hiroshi Shimizu dalam artikelnya, “Evolution of the Japanese Commercial Community in the Netherlands Indies in the Pre-War Period”, termuat dalam buku Japan and South East Asia: From the Meiji Restoration to 1945.
Kembang Jepun Menjadi Aib
Menjamurnya karayuki-san di Asia Tenggara, khususnya di Hindia Belanda, baik dari Cina maupun Jepang didorong oleh faktor ekonomi dan sosial yang perlahan berubah di abad ke-19. Eric Tagliacozzo dalam Secret Trades, Porous Borders: Smuggling and States Along a South Asian Frontier, 1865-1915 mencatat, mulanya kebutuhan syahwat orang-orang Eropa cukup terpenuhi dengan kawin kontrak atau pergundikan dengan para perempuan setempat. Tetapi seiring ekspansi pekerja rantau meningkat, dibutuhkan pula impor wanita penghibur mereka.
“Itu jadi satu alasan (kolonialis) Singapura dan Batavia mentoleransi dan bahkan mendorong prostitusi karena sistem prostitusi mulai dibutuhkan untuk memenuhi rasio seks di masing-masing golongan masyarakat,” tulis Tagliacozzo.
Seiring para gundik maupun PSK dari Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan “diekspor” ke Singapura, maka gelombang “impor” PSK Jepang ke Hindia Belanda juga dimulai. Lazimnya, lanjut Tagliacozzo, para PSK ilegal itu ditempatkan di perkebunan-perkebunan guna memenuhi kebutuhan biologis para buruh.
Baca juga: Nyai Ontosoroh dan Kisah Pergundikan di Hindia Belanda
Dari Sumatera, para karayuki-san lalu menjamah kota-kota metropolitan di Jawa. Kehadiran mereka turut mendorong ekspansi ekonomi dan perdagangan Jepang. Pasalnya, para pedagang toko kelontong Jepang mulai berdatangan dengan tujuan awal untuk memenuhi segala kebutuhan para karayuki-san, di samping menjadi pelanggannya.
“Pedagang kelontong (Jepang) melayani kebutuhan karayuki-san, antara lain sewa-menyewa kamar (sehubungan kegiatan prostitusi), menyediakan masakan Jepang, membuka salon, dan jual beli ikat pinggang untuk kimono dan lain sebagainya,” ungkap F.X. Domini B.B. Hera dalam “Menjual Tubuh di Negeri Jajahan: Prostitusi Jepang di Hindia Belanda, 1885-1912” yang dimuat di Jurnal AGSI edisi Juli-September 2011.
Baca juga: Awal Mula Toko Jepang di Indonesia
Para “Kembang Jepun” itu jelas punya andil dalam perekonomian Jepang. Mereka mendatangkan devisa lewat remitansi bagi pemasukan Jepang.
“Banyak karayuki-san mengirim sebagian penghasilan mereka kepada keluarga yang miskin di Jepang. Kantor Pos Nagasaki pernah menerima remitansi mencapai lebih dari 200 ribu yen per tahun dari para karayuki-san di Asia Tenggara, terlepas dari banyak pula dari mereka yang meninggal karena malaria atau penyakit kelamin,” sambung Shimizu.
Fenomena karayuki di Hindia Belanda menurun drastis kala Gubernur Jenderal Alexander Willem Frederik Idenburg mengeluarkan larangan prostitusi khusus di Jawa dan Madura pada 1912. Mayoritas karayuki-san pun memilih eksodus dari Hindia Belanda. Sebagian balik ke Sumatera, dan hanya sebagian kecil bertahan di Jawa secara diam-diam dan beroperasi terselubung. Fenomena karayuki-san itu baru “punah” di Hindia Belanda memasuki pertengahan 1920-an.
“Prostitusi Jepang ‘dihapuskan’ pada 1912, dua tahun setelah konsulat (Jepang) didirikan. Hal ini terjadi karena perubahan paradigma pemerintah Jepang yang tidak lagi melihat prostitusi diperlukan demi kepentingan nasional namun dipandang sebagai kokujoku, kehinaan nasional. Dengan demikian mereka mencabut kategori pekerjaan tersebut dengan penghapusan prostitusi Jepang berlisensi (haisho),” imbuh Domini BB Hera.
Baca juga: Jaringan Toko Jepang
Aturan tersebut juga didorong kelas sosial yang dimiliki orang Jepang di Hindia Belanda. Berbeda dari orang-orang Arab dan Cina yang digolongkan sebagai warga kelas dua, orang Jepang disamakan statusnya sebagai warga kelas satu sebagaimana orang-orang Eropa. Kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 dan pendudukan Korea pada 1910 membuat Jepang dianggap negeri imperialis yang setara dengan bangsa Eropa.
Hingga Perang Dunia I, Jepang berangsur-angsur mengubah image-nya dengan mengutamakan ekspansi ekonomi lewat para pedagang ketimbang melalui para penyedia jasa seks. Sedikit di antara eks-PSK Jepang juga dikaryakan sebagai pekerja toko. Dengan berdirinya beberapa konsulat sejak 1909, kegiatan perekonomian dan perdagangannya mulai ditata dengan rapi.
“Untuk meningkatkan kesejahteraan para pedagang, didirikan Asosiasi Jepang Sumatera. Asosiasi itu juga bertujuan mempromosikan perdagangan orang-orang Jepang ke pejabat-pejabat Hindia Belanda. Setelah di Sumatera, asosiasi yang sama juga didirikan di Batavia, Semarang, dan Surabaya pada 1913,” tukas Shimizu.