Masuk Daftar
My Getplus

Ikhtiar Mengubah Wajah Film Silat Indonesia

Kekerasan, darah, seks, dan eksploitasi tubuh perempuan mendominasi film-film silat Indonesia. Wiro Sableng kekinian berusaha meninggalkannya.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 28 Agt 2018
Sheila Timothy, produser Wiro Sableng 212. (Dok. Lifelike Pictures).

Sheila Timothy, produser perusahaan film Lifelike Pictures, memperoleh tawaran mengejutkan dari Vino Giovani Bastian, aktor sohor sekaligus adik iparnya, pada 2015. Tawaran dari Vino berupa memfilmkan cerita silat laris Wiro Sableng karya Bastian Tito, ayah Vino. Lala, panggilan akrab Sheila Timothy, seperti memperoleh kembali serpihan masa lalunya ketika mendapat tawaran itu.

Lala mengaku masa remajanya tumbuh bersama film-film silat. “Karena termasuk angkatan tua, saya suka nonton film silat zaman dulu. Saya suka sejarah,” kata Lala kepada Historia. Dia juga punya mimpi suatu hari nanti ingin mencipta film aksi dan fantasi. Dia menilai tawaran Vino cukup menarik.

“Tapi saya takut untuk memfilmkan Wiro Sableng. Saya masih ragu-ragu. Saya tahu untuk membuat Wiro Sableng jadi film yang keren pasti butuh persiapan matang, riset mendalam, dan budget yang tak sedikit,” ungkap Lala. Padahal saat itu Lala belum pernah sekalipun membaca buku Wiro Sableng. Dia hanya tahu Wiro Sableng dari sinetron televisi dekade 1990-an.

Advertising
Advertising

Vino kemudian memberi Lala sepuluh buku Wiro Sableng. Lala membacanya dan langsung jatuh hati. “Pak Bastian punya style sendiri. Cara dia bercerita itu detail. Karakter tokohnya, kostum, dan perguruan si tokoh. Saya jatuh cinta dengan ceritanya,” terang Lala. Dia berpikir jika Wiro Sableng beralih rupa menjadi film akan cemerlang.

Ketakutan Lala perlahan sirna. Dia mulai berani wujudkan mimpinya. Dia menghubungi teman-temannya seperti Yayan Ruhian, instruktur silat; Adrianto Sinaga, desainer produksi; dan Aria Prayogi, komposer musik. Ketiganya nama tenar pada bidangnya masing-masing dan bersedia membantu Lala.

Kepada Yayan, Lala mengatakan ingin silat di Wiro Sableng berbeda dari film-film silat umumnya. “Silat itu beauty. Banyak filosofinya. Bukan violence,” kata Lala. Lalu dia berdiskusi dengan Adrianto tentang detail produksi seperti konsep seni, ilustrasi, komik, game, latar tempat, senjata, dan arsitektur bangunan. Terakhir dia menemui Aria untuk memintanya menghadirkan musik yang sesuai dengan cerita Wiro Sableng.

Lala dan teman-temannya berupaya menuju ke satu titik: menghadirkan wajah Indonesia dalam Wiro Sableng. “Film ini harus kelihatan Indonesia. Jangan sampai penonton malah berpikir, ‘kok film Hongkong sih, kok film Korea sih’,” kata Anto, panggilan akrab Adrianto Sinaga.

[pages]

Film Silat Masa Lalu

Ikthiar Lala dan teman-temannya serupa dengan segelintir idealis perfilman nasional masa lalu. Mereka punya kepercayaan bahwa film silat juga mampu mengetengahkan wajah dan permasalahan tentang keindonesiaan. Buat mereka, film silat bukan sekadar alat dagang dan hiburan bermutu rendah.

Kehadiran film silat di Indonesia tak lepas dari pengusaha film berdarah Tionghoa. “Ada kemungkinan mereka yang membawa film-film itu ke Indonesia pada saat bisnis film mulai berkembang pada 1920-an,” kata Sofian Purnama, pengajar mata kuliah kajian film Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Banyak film impor dari negeri Tiongkok menghadirkan kuntao (salah satu ilmu beladiri dari Tiongkok) sebagai unsur utama. Film-film seperti ini kurang berkutat pada jalan cerita dan urusan estetik, tapi mempunyai banyak penggemar dari kalangan bawah. Tergiur dengan kelarisan film silat Tiongkok, pengusaha film di Hindia Belanda berupaya menerapkan resep ala film silat Tiongkok.    

J.B. Kristanto, kritikus sohor film, mencatat ada beberapa judul film bertema silat produksi dalam negeri selama 1930-an. Antara lain Si Ronda, Si Pitoeng, dan Delapan Djago Pedang. Dua judul pertama mengangkat cerita tentang jago silat lokal di Batavia.

Si Pitoeng jadi pola film silat berlatar Betawi,” tulis J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-1995. Sedangkan Delapan Djago Pedang bercerita tentang para ahli kuntao.

Resep laris ala film silat Tiongkok mulai dapat lawan pada 1953. Masa ini mencatatkan kesan berbeda pada film silat berjudul Harimau Tjampa produksi Perfini, perusahaan film pimpinan Usmar Ismail, tokoh film idealis. Harimau Tjampa tak lagi menjadikan silat sebagai unsur utama dalam film. Unsur kekerasan berkurang, sementara penceritaan memperoleh porsi tambahan. Tapi jalan ceritanya masih mirip kebanyakan film silat: tentang balas dendam.

“Dengan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Lukman berguru silat di Kampung Pau,” demikian J.B. Kristanto mendeskripsikan jalan cerita awal Harimau Tjampa. Film ini mengambil latar alam Sumatra Barat dan memakai bakaba —cara bercerita tradisional masyarakat Minangkabau— untuk menghadirkan wajah Indonesia. Dan untuk itu pula, bebunyian alat musik tradisional Minangkabau diperdengarkan dalam film ini.

Hasilnya, panitia Festival Film Asia di Singapura pada 1955 memberi film ini penghargaan kategori musik terbaik. Selain itu, Harimau Tjampa juga menyabet penghargaan dalam Festival Film Indonesia 1955 untuk skenario terbaik.

Setelah keberhasilan Harimau Tjampa, produksi film silat dalam negeri justru menghilang. Kalaupun ada, film silat itu bermutu rendah. “Film silat tidak dibuat berencana dan massal sehingga lekas saja dilupakan orang,” tulis Kompas, 5 Mei 1971. Film-film silat dari negeri Tiongkok, Hongkong, dan Jepang mengisi kekosongan pasar film silat dalam negeri. Penonjolannya pada kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks. Keadaan ini berlangsung hingga akhir 1960-an.

Saat bersamaan, produksi film nasional turun drastis. “Pada tahun 1967 film impor mencapai 499 judul, sedangkan film nasional hanya berjumlah 6 judul saja,” catat Haris Jauhari dalam Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia. Penyebabnya, masyarakat enggan menonton film Indonesia. Mereka menilai film Indonesia tidak bermutu. Karena film nasional sepi penonton, pengusaha film kesulitan memutar modal untuk bikin film.

Keadaan ini mendorong Menteri Penerangan mengeluarkan kebijakan Nomor 71/SK/M/1967. Isinya kewajiban importir film menyisihkan uang sebesar 250 ribu rupiah untuk tiap satu film asing yang mereka impor mulai 1 Januari 1968. Dana itu akan masuk kas Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), kemudian menjadi modal bagi pengusaha film nasional untuk memproduksi film. Salah satu hasilnya ialah film silat berjudul Djampang Mentjari Naga Hitam pada 1969.

Film ini berasal dari cerita silat bersambung karya Zaidin Wahab di harian Api Pancasila pada 1967. DPFN memilih cerita ini lantaran cerita silat ini punya banyak pembaca dan menampilkan hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia seperti makanan, bebuahan, alam, dan masalah-masalah sosial yang biasa ditemui di Indonesia. Pertimbangan lainnya ialah besarnya selera publik pada film-film silat.

Lilik Sudjio, sutradara Djampang Mentjari Naga Hitam, mengatakan bahwa selera publik boleh saja diikuti. “Asal kita mampu memberi variasi,” kata Lilik dalam Kompas, 22 Januari 1969. Untuk menghindari latah dan hal klise seperti dalam film silat Tiongkok dan Jepang, dia menekankan pentingnya kreativitas. “Dengan silat saja akan membosankan,” lanjut Lilik.

Cerita film Djampang Mentjari Naga Hitam masih sekitar pembalasan dendam dan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Tapi tim DPFN berupaya menonjolkan segi estetis silat dengan melibatkan instruktur silat dari Korps Pentjak Silat DCI Djaja. Latar keindahan alam dan kekayaan busana Nusantara tampil sebagai unsur penguat film ini. Kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks hanya memperoleh ruang minimal. Sehingga film ini diikutsertakan dalam sejumlah festival film di luar negeri seperti Kairo (Mesir) dan Frankfurt (Jerman).

Ikhtiar DPFN bikin film silat bermutu baik tak menyentuh pengusaha film. Sebagian besar pengusaha film justru memproduksi film silat dengan pakem lama yang itu-itu saja: kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks. "Ini dimaksudkan penuh sebagai film silat. Dramanya bukan soal yang penting," kata Tati Widodo, produser Tati and Sons film yang memproduksi film Tjisadane dalam Kompas, 9 Agustus 1971. Film itu memuat adegan penari sensual dan ciuman panas.

Asrul Sani, sutradara film sohor, mengkritik keras perilaku jumud semacam itu. Menurutnya, terus berpaku pada pakem yang itu-itu saja merupakan sebentuk bunuh diri. “Bangsa yang tidak kreatif adalah yang tenggelam dalam lubuk yang airnya tidak mengalir lagi dan makin lama makin berbau busuk, untuk akhirnya berubah jadi racun yang membunuh bangsa itu sendiri,” tulis Asrul dalam “Sikap Kreatif dalam Pembuatan Film Indonesia” termuat di Surat-Surat Kepercayaan.

Bertahun-tahun kekerasan, darah, seks, dan eksploitasi tubuh perempuan mendominasi film-film silat. Kini Lala dan kawan-kawannya berupaya mengusung kreativitas dalam film silat Wiro Sableng. Janji Lala dan kawan-kawan Wiro Sableng akan berbeda dari film silat yang sudah-sudah. Mereka coba menghadirkan wajah Indonesia lewat elemen sejarah, fantasi, aksi, dan komedi. Benarkah? Mari tunggu penayangan Wiro Sableng pada 30 Agustus 2018 nanti di bioskop.

Baca juga: 

Pendekar Konyol dan Ajaran 212
Trailer Wiro Sableng 212 Diluncurkan
Semesta Wiro Sableng Menyapa Dunia

TAG

Wiro-Sableng Sheila-Timothy Adrianto-Sinaga Film Pencak-Silat

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon Alkisah Bing Slamet