Masuk Daftar
My Getplus

Gus Dur dan Film Dakwah

Kegemaran Gus Dur membaca buku dan menonton film membuatnya punya pandangan berbeda tentang film dakwah.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 17 Apr 2021
Ilustrasi (Betaria Sarulina/Historia)

Setiap Ramadan tiba, film-film dakwah Islam tayang sangat sering di televisi. Film-film itu berupaya menyampaikan pesan Islam lewat bentuk-bentuk lahir yang kentara. Misalnya terlihat pada busana, ucapan, adegan di masjid, dan suasana keluarga dalam rumah. Tak jarang orang merasa dikhotbahi ketika menontonnya sehingga menjadi kurang nyaman. Akhirnya, film itu justru ditinggalkan.

K.H. Abdurrachman Wahid, mantan presiden Indonesia 1999–2001, punya rumus jitu agar film dakwah tak terjebak pada formalitas semacam itu. Gus Dur, sapaan akrabnya, selain dikenal sebagai sosok gemar membaca, juga gandrung pada film. Sejak remaja dan tinggal di Yogyakarta, pada 1950-an dia gemar menonton film-film serius.

“Hampir sebagian besar waktunya selama tinggal di kota ini ia habiskan dengan menonton film,” sebut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur.

Advertising
Advertising

Baca juga: Gus Dur dan Buku

Kegemarannya ini jelas tak lazim bagi seorang anak kyai dan tumbuh di lingkungan orang-orang tradisionalis. Dia diharapkan akan menjadi pemimpin agama. Menonton film bukanlah kegiatan yang bisa diterima oleh lingkungannya. Karena itulah Gus Dur sering bersiasat agar tetap bisa menonton film.

Pilihan film Gus Dur juga berbeda dari teman sebayanya. “Apresiasi Gus Dur terhadap film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh kebanyakan teman-teman sebayanya,” lanjut Greg.

Kegemaran Gus Dur pada film masih berlanjut ketika dia belajar di Kairo, Mesir, pada 1960-an. Di sini waktunya lebih banyak habis untuk menonton film daripada belajar di kampus. Film favoritnya adalah film-film terbaik dari Prancis. Tapi dia juga senang menonton film negara Eropa lainnya dan Amerika.

Baca juga: Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri

Kegemaran menonton film ditambah hasrat membaca yang tinggi membuat Gus Dur memiliki pandangan yang luas dalam mengapresiasi film. Memasuki 1980-an, dia menyoroti film-film dakwah Indonesia yang mulai banyak beredar. Tapi Gus Dur melihat film-film dakwah itu masih mengedepankan bentuk-bentuk lahir ketimbang esensi ajaran Islam.

Menurut Gus Dur, film-film dakwah buatan anak negeri berbeda sekali dibandingkan dengan film dakwah buatan sineas asing. Gus Dur membandingkan film Panggilan Tanah Suci karya Djamaludin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani, dan Atheis dengan The Messenger dan Lion of the Dessert.

Gus Dur melihat empat film ini sama-sama berupaya menggambarkan apa itu Islam. Bedanya, dua film asing itu mampu keluar dari ungkapan formal keagamaan. “Film-film dakwah kita menjadi forum khotbah akan kebenaran subordinasi ilmu pengetahuan kepada kebenaran agama,” kata Gus Dur dalam “Filem Dakwah Kita Menjadi Forum Khotbah”, termuat dalam Aktuil, No. 21 Tahun 1982.

Baca juga: Membersihkan Najis dari Film

Meski tak menampik adanya bentuk formal dalam dua film asing itu, Gus Dur menyebut dua film itu adalah “penggambaran Islam sebagai keyakinan akan kebenaran esensial dari Islam bukannya kebenaran formalnya seperti tercermin dalam Panggilan Tanah Suci.. Atheis,” tulis Gus Dur dalam “Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk” yang termuat dalam Seni Dalam Masyarakat Indonesia.

Gus Dur kemudian menyajikan contoh film tentang pesan agama lain seperti The Priest of St. Pauli, Boys Town, dan The Singer not Song.

Film pertama mengetengahkan kisah hidup pastor dan kemerosotan moral dan agama di sarang penjahat. Pastor itu harus menenggang keadaan demikian. Film kedua bercerita pula tentang seorang pastor, tapi jauh dari kesan film agama.

Film ketiga mengangkat sisi historis kehidupan beragama kaum Katolik dan mempertanyakan kebenaran klaim sang gadis yang dianggap telah melihat Tuhan. Film terakhir menggambarkan pengorbanan seorang pendeta untuk membela seorang bajingan. Pada akhir film, bajingan itu memeluk agama Kristen. Tapi bukan karena kebenarannya, melainkan lantaran dia takluk pada tindak-tanduk si pendeta.  

Baca juga: Gus Dur yang Poliglot

Sementara itu, film Atheis justru harus berakhir dengan penegasan pada kebenaran dan kemenangan agama. Hasan, salah satu tokoh utama film tersebut yang sinis pada agama, mengucapkan kalimat Laa ilaaha ilallah sebelum tewas. “Seolah-olah tanpa itu ia akan tetap kafir dan tidak akan diterima Tuhan di sisi-Nya,” tulis Gus Dur.

Padahal film itu berangkat dari karya sastra anggitan Achdiat Kartamihardja yang tak dianggap sebagai sastra agama. Tapi dalam versi filmnya, karya itu berakhir sebagai sarana khotbah.

Panggilan Tanah Suci pun terjebak dalam pendekatan serupa. Kisahnya tentang seorang dokter yang memuja ilmu pengetahuan tapi meremehkan kebenaran agama. Tokoh ini lalu dituntun kembali menuju jalan yang benar. “Tidak ada dialog antara dua pandangan yang sama-sama kuat, tetapi kemudian yang satu menundukkan yang lain melalui kesulitan yang luar biasa,” terang Gus Dur.

Gus Dur mengkritik pendekatan satu sisi film-film dakwah tadi. “Yang belum yakin nantinya akan menjadi orang beriman penuh pada akhir film, yang menghina kebenaran agama nantinya akan insyaf pada ujung cerita, dan yang menentang agama nantinya akan menerimanya dengan tulus pada kesudahan kisah,” lanjut Gus Dur. Sehingga, menurut Gus Dur, pendekatan satu sisi seperti ini membelenggu ekspresi seni film tersebut.

Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur

Gus Dur melihat pendekatan demikian tumbuh dari masyarakat yang memang masih memperlakukan agama sebagai sesuatu yang formal saja. “Kegiatan masjid-masjid kampus, terutama dalam bulan Ramadan, menyajikan sebuah contoh sederhana dari ‘kebangkitan Islam’ secara formal tersebut,” kata Gus Dur.

Gus Dur menyarankan agar insan film berani mempertanyakan validitas penyajian agama dalam bentuknya yang paling formal itu. Dia yakin insan film Indonesia mampu membuat film dakwah yang berbicara lebih kompleks daripada sekadar menyampaikan bentuk-bentuk formal agama. Contohnya sudah ada dalam film Bulan di Atas Kuburan. Karya Asrul Sani ini tampil lebih menarik dan filmis daripada Panggilan Tanah Suci.

Pada akhirnya, Gus Dur menilai film dakwah pada masa mendatang akan berharga jika mampu mengembangkan keberanian untuk lepas dari bentuk penyampaian pesan formal. “Kebebasan bentuk penggarapan masalah dan keragaman penyajian masalah adalah keharusan mutlak kalau kita merasa ikut terlibat dengan masa depan film sebagai medium dakwah agama Islam,” kata Gus Dur.

TAG

gus dur film

ARTIKEL TERKAIT

Pyonsa dan Perlawanan Rakyat Korea Terhadap Penjajahan Jepang Benshi, Suara di Balik Film Bisu Jepang Warrior, Prahara di Pecinan Rasa Bruce Lee Exhuma dan Sisi Lain Pendudukan Jepang di Korea Eksil, Kisah Orang-orang yang Terasing dari Negeri Sendiri Jenderal Orba Rasa Korea Sisi Lain dan Anomali Alexander Napoleon yang Sarat Dramatisasi Harta Berdarah Indian Osage dalam Killers of the Flower Moon Alkisah Bing Slamet