Masuk Daftar
My Getplus

Chailan Si Peliput Kongres Perempuan Pertama

Chailan aktif sebagai penentang perkawinan anak sembari memperjuangkan hak pilih perempuan pribumi.

Oleh: Nur Janti | 04 Jan 2020
Chailan Syamsu Datuk Tumenggung. (Betaria Sarulina/Historia).

DALAM Kongres Perempuan Pertama, 1928, ada satu perempuan yang hadir khusus untuk meliput acara tersebut. Dialah Chailan Syamsu Datuk Tumenggung, tokoh perempuan yang lantang menyuarakan hak pilih bagi perempuan pribumi dan penghapusan perkawinan anak.

Chailan meliput atas perintah Pejabat Penasihat Urusan Pribumi CH O van der Plas. Van der Plas merupakan atasan suami Chailan yang bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia-Belanda. Dalam tugas ini, Chailan diminta untuk membuat laporan rinci tentang penyelenggaraan dan pembahasan dalam kongres tersebut.

Meski ditugaskan oleh pejabat Hindia, laporan Chailan, seperti dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama, Tinjauan Ulang, bernada simpatik. Ia mencatat ide-ide perempuan tentang perkawinan yang adil juga penghapusan perkawinan anak.

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Perdebatan di Kongres Perempuan

Ada sekira 600 perempuan hadir dalam kongres tersebut. Tak semua hadirin berasal dari kalangan “tak berpendidikan”. Chailan heran karena tak ada istri pejabat dan wartawan Eropa yang hadir, padahal pers Indonesia terwakili dengan baik. Ia juga mengkritik panitia kongres yang tak mengundang organisasi perempuan di Jawa Barat. Ketika Chailan mengkonfirmasi hal tersebut, rupanya panitia tak tahu kalau di Jawa Barat sudah ada organisasi perempuan.

Chailan sendiri juga aktif dalam gerakan perempuan. Ia merupakan ketua Persatuan Isteri Pegawai Bumiputra (PIPB) dan Sarekat Kaum Ibu Sumatera (SKIS).

Chailan lahir di Bukittinggi, 6 April 1905. Setelah menikah dengan Lanjumin Datuk Tumenggug, ia tinggal di Batavia. Keaktifannya dalam gerakan makin menjadi setelah pindah ke kota ini.

Ketika gerakan perempuan Indonesia belum memperjuangkan hak pilih, Chailan memilih bergabung dengan Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, VVV). Lantaran cukup aktif, ia dipercaya duduk sebagai anggota dewan VVV cabang Batavia.

Baca juga: 

Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan

Chailan menjadi satu di antara sedikit perempuan Indonesia yang bergabung dengan organisasi yang digagas feminis Belanda Aletta Jacobs itu. Selain Chailan, perempuan Indonesia yang bergabung dengan VVV ialah Rukmini Santoso (adik Kartini) dan Nyonya Abdul Rachman (nama dirinya tidak diketahui).

Ketika VVV hendak mengubah haluan dengan memperjuangkan hak pilih hanya untuk perempuan Eropa, Chailan menolak keras. Penolakan Chailan dan para pendukungnya tak membuahkan hasil.

“Dia meninggalkan posisi dewan setelah setahun, secara formal karena banyaknya pekerjaan di tengah krisis dunia namun pengunduran dirinya bisa jadi karena perbedaan pendapat antara dia dan anggota dewan VV lain tentang posisi perempuan Indonesia dalam asosiasi,” tulis EIsbeth Locher-Scholten, dalam Women and The Colonial State.

Baca juga: 

Hak Pilih Perempuan di Negeri Jajahan

Setelah keluar dari VVV, ia aktif mengkampanyekan pentingya hak pilih di kalangan perempuan pribumi. Dalam Kongres Perempuan Indonesia III, 1938, Chailan memberi pidato tentang pentingnya kehadiran perempuan dalam pembentukan kebijakan dan hak pilih perempuan pribumi. Kongres yang tergugah dengan pidatonya pun menyepakati bahwa soal hak pilih harus terus diperjuangkan sekaligus menyatakan bahwa para perempuan akan berjuang di ranah politik. Chailan bersama Maria Ullfah pun diajukan sebagai anggota Dewan Rakyat oleh para perempuan.

Selain menyuarakan soal politik perempuan, sejak 1930 Chailan aktif dalam penghapusan perkawinan anak. Ia pun salah satu perempuan yang ikut berkontribusi dalam Indisch Vrouwen Jaarboek (Buku Tahunan Perempuan Indies, 1936), kompilasi tulisan perempuan Indies dari semua ras.

Baca juga: 

Perkawinan Anak yang Tak Kunjung Hilang

Menurut Susan Blackburn dalam Women and The State Modern Indonesia, tulisan Chailan diambil dari observasinya pada masyarakat urban di sekitarnya. Misalnya saja, ketika Chailan menyebut adanya penurunan praktik perkawinan anak, ia tidak menyebutkan data secara spesifik. Namun, menurut Susan, karyanya cukup penting untuk melihat kondisi perkawinan anak di era tersebut.

“Perlahan, orang akan meyadari bahwa perkawinan anak sejatinya merupakan kanker di sekitar kita yang harus dilawan secara keras,” tulis Chailan.

TAG

perempuan hari-ibu

ARTIKEL TERKAIT

Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Bikini dari Paris Kisah Babu Datem dan Upaya Melindungi Pekerja Hindia di Belanda Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama