Hak Pilih Perempuan di Negeri Jajahan
VVV pelopor organisasi perempuan yang menyerukan hak pilih di Hindia Belanda.
KABAR pemberian hak pilih perempuan di Belanda memicu sejumlah aktivis perempuan di Hindia Belanda memperjuangkan hal serupa. Asosiasi Hak Pilih Perempuan atau dalam bahasa Belanda Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV) lalu mempelopori perjuangan itu pada awal abad ke-20. VVV adalah organisasi yang berpusat di Belanda dan diketuai aktivis perempuan Aletta Jacobs.
VVV di Batavia didirikan atas inisiatif Charlotte Jacobs, saudara perempuan Aletta. Dia ahli obat pertama di Belanda yang datang ke Hindia Belanda pada 1884 dan menetap selama hampir 30 tahun. Kedatangannya pertamakali bukan untuk urusan perjuangan hak pilih di negeri jajahan.
Cabang VVV pertamakali didirikan pada 1908. Pendirian cabang VVV, tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State, merupakan reaksi atas pemberian hak pilih bagi lelaki Eropa. Pendirian ini juga mendekati pemilihan Dewan Kota di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Mereka mendesak pemerintah untuk memberikan kursi pada wakil perempuan. Namun begitu pemerintah menolaknya.
Pada 1918 cabang VVV di Hindia Belanda mengajukan usulan pada anggota Dewan Rakyat yang baru terbentuk untuk mendukung hak pilih perempuan dan meminta Gubernur Jenderal untuk memberikan kesempatan pada perempuan mengikuti pemilihan Dewan Kota.
Pada awal pendiriannya VVV memang hanya mengupayakan hak pilih bagi perempuan Belanda. Anggotanya didominasi oleh perempuan Belanda sejak awal mula berdiri. Beberapa anggota VVV yang menonjol merupakan istri dari pejabat penting atau anggota Volksraad.
“Bentuk awal feminisme Belanda di Hindia Belanda bisa dikatakan sangat Eurosentris, rasis, dan elitis,” tulis Elsbeth. Namun situasi negeri jajahan membuatnya harus menyesuaikan dengan perempuan dari ras yang berbeda untuk menguatkan kampanye tentang hak pilih.
Pada 1918 VVV meminta bantuan dari 14 organisasi perempuan Indonesia untuk membuat petisi penghapusan kata laki-laki dalam regulasi pemilihan Dewan Daerah. Hanya tiga organisasi yang merespons permintaan tersebut dan hanya satu , yakni PIKAT dari Manado yang mau membantu membuat petisi.
“Mereka (VVV) menemukan kesulitan karena minimnya perhatian perempuan Indonesia terkait hak pilih. Perngiriman surat dari VVV ke berbagai organisasi perempuan hanya sedikit mendapat respons,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays.
Ketika perempuan Belanda memperoleh hak pilih penuh pada 1919, mereka memutuskan untuk menggencarkan perjuangan akan hak pilih di negara jajahan. Mereka juga mengganti nama organisasi menjadi Asosiasi Hak Pilih Perempuan di Hindia Belanda (Vereeniging Voor Vrouwenkiesrecht in Nederlands Indie, VVVNI).
Anggota VVVNI mengikuti pertemuan pada 1919 di Dewan Rakyat yang membahas tentang hak pilih perempuan. Mereka mendapat dukungan untuk hak pilih perempuan di pemilihan Dewan Kota Batavia. “Soal hak pilih hanya masalah waktu. Kelak pemerintah Belanda akan memberikannya pada perempuan di Hindia Belanda sama seperti di Belanda,” kata Presiden VVVNI, nyonya Pannekoek-Nijman.
Ketika mengajukan usulan tentang hak pilih bagi semua ras pada 1920-an, VVVNI mendapat tantangan untuk membuktikan bahwa perempuan Indonesia, setidaknya yang berpendidikan, juga menginginkan hak pilih. VVVNI kemudian merekrut perempuan Indonesia dan menjalin hubungan dengan organisasi perempuan Indonesia untuk meningkatkan kesadaran akan hak pilih perempuan.
Pada 1920-an, beberapa perempuan Indonesia bergabung dengan VVV karena tertarik untuk memperjuangkan hak pilih ketika sedikit sekali organisasi perempuan Indonesia memeperhatikan soal itu. Organisasi perempuan Indonesia lebih fokus pada masalah kesejahteraan perempuan, seperti perkawinan, pendidikan, dan nasib buruh.
Perempuan Indonesia yang ikut VVV sebagai anggota eksekutif adalah Rukmini Santoso, adik Kartini; Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung yang aktif melawan pernikahan anak; dan Nyonya Abdul Rachman (nama dirinya tidak diketahui) istri dari pejabat sipil di Jawa. Datu Tumenggung dan Nyonya Abdul Rachman menjadi penghubung antara VVV dan organisasi perempuan Indonesia yang berkembang pada 1920-an.
Hubungan antara VVVNI dan organisasi perempuan Indonesia agak sulit karena organisasi perempuan kebanyakan adalah organisasi sayap. Sama seperti organisasi induknya, organisasi perempuan Indonesia termasuk organisasi nasionalis. Pemimpin VVV, MA Stibbe Koch dan S van Overveldt-Biekart, tak bersimpati pada pergerakan nasionalisme. Mereka hanya ingin berjuang untuk mendapat hak pilih bagi perempuan berpendidikan, termasuk sebagian kecil perempuan Indonesia yang sudah mendapat pendidikan Barat.
“Sebetulnya, renggangnya hubungan VVV dengan organisasi perempuan bukan sepenuhnya salah pemimpin VVV yang anti gerakan nasionalis. Sampai 1930-an, organisasi perempuan dari seluruh kelompok ras hampir semuanya non-politis yang lebih banyak menyoroti masalah kesejahteraan sosial. Feminis Eropa di Batavia sangat eropasentris dan kesulitan terbesar mereka adalah menerima perkembangan nasionalisme pada 1920-an,” tulis Susan dalam Women and the State in Modern Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar