Lika-liku Perjuangan Hak Pilih Perempuan
Tak puas mendapat hak pilih pasif untuk Dewan Kota pada Februari 1938, perempuan Indonesia terus menuntut hak pilih penuh. Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung membahas hak itu.
KENDATI diskriminasi terhadap perempuan di ranah domestik maupun publik masih terjadi hingga detik ini, perempuan Indonesia tak lagi direpotkan oleh perjuangan hak pilih. Di masa lalu, hak politik personal sebagai warganegara itu merupakan impian.
Perjalanan perjuangan hak pilih perempuan dimotori organisasi-organisasi perempuan Indonesia pada 1930-an. Di tahun-tahun sebelumnya, sedikit sekali catatan tentang perjuangan mereka. “Ada beberapa alasan atas kelambanan dalam menyadari isu hak pilih. Organisasi konservatif, biasanya berdasar agama, meyakini bahwa perempuan tidak siap untuk berperan dalam urusan politik dan tidak pernah didorong untuk melakukannya. Selain itu, politik selalu diartikan sebagai dunia laki-laki,” tulis Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia.
Hal itu membuat perempuan Belanda di Hindia-Belanda lebih cepat memperjuangkan secara terorganisir hak pilih ketimbang perempuan Indonesia. Pada 1908, mereka mendirikan cabang Asosiasi Hak Pilih Perempuan (Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht, VVV) di Hindia Belanda. Ketika Dewan Rakyat (Volksraad) didirikan tahun 1918, VVV langsung merespons dengan mengajukan usul soal hak pilih aktif perempuan. Mereka juga mendesak gubernur jenderal memberi kesempatan pada perempuan ikut pemilihan dewan kota.
Di Dewan Rakyat, baik anggota yang orang Belanda maupun Indonesia sebetulnya sepakat Dewan Rakyat boleh diisi perempuan. Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia mencatat beberapa dukungan dari laki-laki Indonesia pada rapat Dewan Rakyat tanggal 5 Juli 1919. AL Wawo Runtu, bupati Sonder di Minahasa, mendukung hak-hak perempuan untuk hadir menyuarakan pendapat baik di Dewan Rakyat maupun jenjang di bawahnya. Kedudukan perempuan Jawa pun dibela oleh Tjipto Mangunkusumo dan Achmad Djajadiningrat.
Dukungan para lelaki terhadap kedudukan perempuan di Dewan Rakyat terjadi lantaran belum adanya perempuan yang bisa masuk ke Dewan Rakyat dan minimnya perempuan Indonesia yang tertarik dengan ide hak pilih. Pandangan itu sejalan dengan pandangan Menteri Kolonial Belanda Plyte. Dia mendukung hadirnya perempuan di Dewan Rakyat karena tak ada alasan kuat untuk melarang kehadiran perempuan di Dewan Rakyat.
Bermula di Tahun 1930-an
Dari penelusuran Historia, pembahasan tentang hak pilih pertamakali muncul di Kongres Perikatan Perempuan Istri Indonesia (PPII) I yang dilaksanakan di Surabaya, 13-18 Desember 1930. Hasil kongres menyepakati dibentuknya Badan Perantara (BP). Selain menjadi perantara pengurus PPII dengan organisasi anggota, BP bertugas mempelajari hak pilih.
Namun, kongres-kongres berikutnya tak lagi membahas hak pilih perempuan. Kongres Perempuan lebih menitikberatkan perjuangannya dalam masalah pendidikan, perburuhan, dan perkawinan.
Suara perempuan tentang hak pilih kembali terdengar pada 1935 ketika pemerintah kolonial menunjuk Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer, seorang perempuan Belanda, sebagai anggota Dewan Rakyat. Penunjukan itu melukai hati aktivis perempuan Indonesia lantaran usulan mereka menghadirkan wakil perempuan Indonesia di dewan itu tak digubris.
Ketika pemerintah kolonial akhirnya memberikan hak pilih pasif Dewan Kota pada Februari 1938, para perempuan kembali berkumpul. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) III di Bandung, Juli 1938 membahas tentang hak pilih aktif bagi perempuan. Aktivis VVV Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung juga hadir di pertemuan itu untuk memberi ceramah. Hasil kongres menyepakati bahwa hak pilih harus terus diperjuangankan sekaligus mendeklarasikan perjuangan KPI di ranah politik.
“Jika kita kaum perempuan cuma diberi hak dipilih maka itu suatu kepincangan. Kita boleh duduk dalam Dewan Gemeente (Kota) tapi kita tidak boleh memilih wakil kita sendiri. Artinya, seorang perempuan harus dipilih oleh kaum lelaki. Jadi, jika kita ingin mempunyai wakil di Dewan Gemeente kita harus meminta-minta pada saudara kita kaum lelaki yang punya actief kiesrecht (hak pilih aktif),” tulis Maria Ulfah dalam “Soal Hak Pilih” yang dimuat di Isteri Indonesia No. 8, Agustus 1941.
Menjelang pemilihan Dewan Kota tahun 1939 para perempuan tak patah arang untuk mengusulkan wakil mereka di Dewan Rakyat. Mereka mengajukan wakil dari perempuan Indonesia yang dirasa layak menjadi anggota Dewan Rakyat: Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung dan Maria Ulfah.
Lagi-lagi, suara para perempuan Indonesia tak diacuhkan. Cornelia terpilih lagi. Sebagai wujud protes, mereka merencanakan demonstrasi, namun dilarang pemerintah. Empat puluh lima organisasi perempuan kemudian mengadakan pertemuan umum memprotes ketidakpedulian pemerintah.
Tuntutan perempuan Indonesia akan hak pilih secara menyeluruh kembali dibahas pada KPI IV di Semarang, Juli 1941. Hasil kongres kemudian dikirim melalui telegram pada anggota Dewan Rakyat. Soeroso, anggota Dewan Rakyat, membacakan tuntutan para perempuan di sidang Dewan Rakyat tangal 4 September 1941. Sidang berlangsung cukup alot lantaran beberapa anggota Dewan Rakyat, T de Raadt, Soeangkoepon, dan Loa Sek Hie, menolak tuntutan itu.
Pemerintah Kolonial menanggapi tuntutan dari KPI pada sidang kedua, 9 September 1941. Mr. Van Hasselt sebagai perwakilan dari Pemerintah Kolonial menyatakan belum saatnya memberi hak pilih pada perempuan Indonesia dan perempuan bangsa asing. Akan tetapi, secara prinsip pemerintah tidak keberatan dengan hak pilih perempuan Indonesia dan bangsa asing. Pernyatan ini mengecewakan para perempuan.
Perjuangan para perempuan didukung pula oleh perempuan Belanda yang duduk di Dewan Rakyat. “Apakah perempuan di sini, sama seperti di negara beradab lain, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam menentukan hukum yang akan dibuat kemudian dipatuhi? Tidak? Lalu, harusnya perempuan Belanda juga tidak bisa. Ya kan? Lalu, itu (hak pilih) seharusnya berlaku untuk semua perempuan yang punya bekal pendidikan,” kata Neuyen Hakker, anggota Dewan Rakyat yang aktif di VVV.
Atas desakan dari berbagai pihak, pemerintah akhirnya memberikan hak pilih untuk perempuan Indonesia.Tanggal 20 September 1941 keluar keputusan pemerintah tentang hak memilih secara penuh untuk Dewan Kota. Tapi karena hak pilih ini menyasar perempuan berpendidikan, hanya mereka yang mendaftarkan diri yang bisa ikut memilih anggota Dewan Kota.
Meski demikian, hak itu tidak bisa dilaksanakan. Pemerintah kolonial tidak pernah menyelenggarakan pemilihan lagi karena Jepang keburu menduduki Indonesia. Tapi setelah Indonesia merdeka, perempuan langsung memiliki hak pilih yang sama seperti laki-laki walaupun angka partisipasinya masih sangat minim.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar