Di twitter tengah terjadi perbincangan soal panggilan “mbak”. Gara-garanya seorang penumpang ojek online yang memberi rating bintang satu hanya karena dipanggil “mbak”. Penumpang itu menulis komentar: “Don’t call me ‘mbak’. You are in Jkt! Say it ‘non’ or ‘kak’.”
Perempuan itu tidak suka dipanggil “mbak” kemungkinan karena menganggap panggilan itu biasa digunakan untuk asisten rumah tangga atau karena sekarang sapaan yang biasa digunakan, umumnya diucapkan oleh pramuniaga kepada konsumen adalah “kakak”.
KBBI Daring mengetri “mbak” sebagai “kata sapaan yang lebih tua di daerah Jawa; mbakyu; dan kata sapaan untuk perempuan muda”.
Panggilan “mbak” yang awalnya di lingkungan keluarga atau masyarakat, kemudian menjadi sapaan yang menunjukkan keakraban, diterapkan di lingkungan pendidikan Taman Siswa.
“Ciri Taman Siswa yang khas adalah hubungan yang sangat erat antara pamong (guru) dan siswa maupun antara siswa. Siswa laki-laki selalu memanggil ‘mbak’ (kakak perempuan) kepada sesama siswa wanita. Panggilan ‘bapak’ dan ‘ibu’ kepada para guru pada saat itu telah meresap di kalangan Taman Siswa di samping panggilan ‘juffrouw’ dan ‘meneer’ pada sekolah-sekolah lain,” demikian disebut dalam Bunga Rampai Soempah Pemoeda.
Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar
Menurut Saya S. Shiraishi dalam Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik, Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa, menyebut tentang asal dari sebutan “bapak” dan “ibu” dalam sejarah Taman Siswa:
“Kami menggunakan istilah ‘bapak’ dan ‘ibu’, sebab kami menganggap istilah panggilan yang digunakan sekarang ini, seperti ‘tuan’, ‘nyonyah’, ‘nonah’, atau istilah sejenis dalam bahasa Belanda, ‘meneer’, mevrouw’, dan ‘juffrouw’, dan juga sebutan Jawa macam ‘mas behi’, ‘den behi’, dan ‘ndoro’ yang menyiratkan superioritas dan inferioritas status, harus dihapus dari Taman Siswa. Kami memperkenalkan sebutan ‘bapak’ dan ‘ibu’, tidak saja untuk murid yang berbicara dengan guru, tapi juga untuk guru muda yang berbicara dengan yang lebih tua. Kami tidak pernah sekalipun menyebut hal ini sebagai ‘peraturan’, tapi ini hanya semacam imbauan yang nantinya akan digunakan di seluruh lembaga pendidikan di Indonesia. Bukan itu saja, setelah Republik Indonesia merdeka nanti, sebutan itu disarankan untuk digunakan secara formal oleh pejabat muda untuk memanggil mereka yang lebih tua.”
Baca juga: Bung, Saudara Serevolusi
Setelah Indonesia merdeka, rakyat Indonesia memasuki masa revolusi mempertahankan kemerdekaan dari upaya penjajahan kembali oleh Belanda. Di medan juang, para pejuang bertemu dan saling menyapa dengan sapaan yang bermakna persaudaraan: “bung” untuk laki-laki dan “mbak” atau “zus” (dari bahasa Belanda, zuster) untuk perempuan.
Prof. Sardanto Cokrowinoto, guru besar Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, menyebut bahwa panggilan “bung” dan “mbak” sudah populer sejak zaman revolusi. Dia yang juga mengalami zaman revolusi sebagai anggota Tentara Pelajar (TP) merasakan kehangatan dengan panggilan seperti itu, sehingga semua pejuang pada waktu itu dianggap kawan.
Menurut Sardanto, panggilan itu menunjukkan tak ada perbedaan kelas, sehingga tak ada klasifikasi jabatan atau pangkat, yang kadang-kadang bisa menimbulkan semacam jarak antara satu orang dengan yang lainnya. Akibatnya bisa membedakan dalam pergaulan.
Demikian pula menurut Harmoko, menteri penerangan (1983–1997), bahwa panggilan “bung” dan “mbak” memang telah populer sejak lama. Terutama zaman revolusi. Panggilan seperti itu untuk keakraban dalam rangka mengembangkan kebersamaan, keharmonisan, dan kekeluargaan.
“Dia memberi contoh, dulu untuk memanggil Trimurti umpamanya, maka cukup dengan panggilan Mbak Tri. Begitu pula untuk Lasmijah, juga dipanggil Mbak Las. Sedangkan untuk 'bung' pada waktu itu populer dengan sebutan Bung Tomo, Bung Hatta, Bung Karno dan sebagainya,” tulis Amal Kusnadi dalam Bung Harmoko, Golkar & Mayoritas Tunggal.
SK Trimurti dan Lasmijah adalah dua tokoh perempuan pergerakan kemerdekaan. Bahkan, Trimurti sempat menjabat menteri perburuhan pertama.
Baca juga: SK Trimurti, Menteri Perburuhan Pertama
Oleh karena itulah, Harmoko sebagai ketua umum Partai Golkar (1993–1998), mengusulkan agar di antara kader Golkar saling menyapa dengan sapaan “bung” dan “mbak”. Tujuannya untuk mengikis budaya feodal menuju kesetaraan sebagai sesama kader Golkar. Selain itu, mungkin saja Harmoko memberlakukan panggilan “mbak” karena terinspirasi panggilan akrab dan populer Siti Hardijanti Rukmana, anak Presiden Seoharto, yaitu Mbak Tutut.
“Sebutan ‘bung’ dan ‘mbak’ selalu dikumandangkan Bung Harmoko di setiap temu kader yang meriah dengan warna-warna kuning. Ini memang kesepakatan rapat pleno pertama seusai Munas V tahun 1993,” tulis Motinggo Busye dalam Golkar dan Harmoko.
Baca juga: Harmoko dan Aneka Safari
Awalnya, lanjut Motinggo, para kader Golkar merasa sungkan apabila harus menyebut “bung” atau “mbak” kepada kader yang kebetulan mempunyi kedudukan terpandang. Tentu saja, secara guyon Harmoko mengingatkan, kalau kebetulan kader Golkar itu seorang bupati yang tengah memakai seragam dinasnya, sapalah “pak” atau “bu”. “Kalau nggak nyebut begitu, bisa-bisa kalian dipecat,” kata Harmoko.
Menurut Motinggo, Harmoko memberlakukan sapaan “bung” atau “mbak” sebagai upaya untuk merebut kembali suara Golkar yang turun (68,10 persen) pada Pemilu 1992 dari 73,11 persen pada Pemilu 1987. Pada Pemilu 1997, Golkar meraih suara 74,51 persen.
Apakah kader Golkar pasca Reformasi masih saling menyapa dengan “bung” dan “mbak”? Saat ini justru partai baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang memberlakukan sapaan antarkader, yaitu “bro” dan “sis”. Bagaimana dengan partai-partai lain, apakah juga punya sapaan antarkader?