SUATU hari, seorang perwira menengah melapor kepada Ibu Negara Tien Soeharto. Perwira itu melapor karena habis ditindak oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Rudini akibat keseringannya “ngobyek” dan bisnis tanah. Perwira itu dekat dengan Tien Soeharto.
Rudini tak tinggal diam menanggapi kasak-kusuk si perwira tadi. Sebab, namanya di mata ibu negera bisa terancam rusak. Dia lalu mengajak Direktur Jenderal (Dirjen) Agraria menemui istri Presiden Soeharto untuk meluruskan dan mengoreksi apa yang disampaikan perwira tadi.
Menurut Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno Sampai SBY, kala itu Rudini bertemu Soeharto yang sedang menghisap cerutu. Jika sedang menghisap cerutu, mood Soeharto biasanya bagus. Setelahnya Rudini dan dirjen agraria menunjukkan bahwa sertifikat tanah yang diurus perwira bawahan yang ditindak Rudini itu palsu.
”Lho, bagaimana saya sudah menghabiskan uang ratusan juta?” ujar Tien Soeharto kaget setelah sadar sertifikat tanahnya palsu.
Baca juga: KSAD Pilihan Ibu Tien Soeharto
“Tidak apa-apa, Bu. Yang melakukan kesalahan ini adalah perwira Angkatan Darat. Maka saya bertanggungjawab. Saya mohon Ibu menyerahkan kembali sertifikat-sertifikat yang aspal itu kepada Dirjen Agraria dan ini yang asli. Selanjutnya menjadi urusan Angkatan Darat,” jawab Rudini.
Setelah mengoreksi Tien Soeharto sewaktu menjadi KSAD, Rudini sewaktu menjadi menteri dalam negeri juga mengoreksi Soeharto. Padahal, dia baru saja jadi menteri. Kisahnya bermula ketika Rudini disuruh menjadi ketua umum Golongan Karya (Golkar) oleh Presiden Soeharto. Perintah itu datang melalui Menteri Sekretaris negara Letnan Jenderal Soedharmono. Bukannya menerima perintah, Rudini malah menolak.
“Itu tidak baik, Pak,” koreksi Rudini.
“Lho, kenapa?” tanya Sudharmono.
“Saya ini Mendagri merangkap Ketua LPU (Lembaga Pemilihan Umum) yang harus memimpin pemilihan umum yang pesertanya adalah Golkar, PPP (Partai Persatuan Pembangunan), dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Kalau saya Ketua Umum Golkar, berarti saya ini Ketua Umum Golkar yang sekaligus memimpin Pemilu. Ini kan tidak fair! Wong, saya peserta pemilu, masa saya juga yang memimpin pemilu. Sama saja saya memenangkan diri saya. Jadi, tidak baik, Pak,” terang Rudini seperti dicatat Tjipta Lesmana.
Baca juga: Golkar Sebagai Pengganti Partai
Meski Soeharto terdiam dengan penolakan Rudini, sejatinya Soeharto diselamatkan Rudini dari sebuah kekonyolan sejarah. Sikap korek Rudini kepada atasan sejatinya tak hanya dilakukannya ketika dia menjadi pejabat tinggi saja.
Ketika baru menjadi letnan dua di Angkatan Darat, alumni Akademi Militer Breda 1955 ini juga sudah berani menolak perintah atasannya. Ia menolak saat hendak ditempatkan di Batalyon infanteri 511 di Blitar ketika baru lulus.
“Tapi, setelah saya tahu istri komandannya adalah teman SMA saya, Narsih namanya, saya melapor kepada pimpinan agar saya tidak di sana, tapi di Batalyon 518 Surabaya, ” kata Rudini seperti diakuinya dalam Rudini, Jejak Langkah Sang Perwira yang disusun Hendrajit.
Rudini hanya ingin menjadi perwira profesional. Permintaannya pun disetujui. Pelan-pelan, kariernya di Angkatan Darat naik hingga mencapai puncak (KSAD).*