MENJELANG Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, Sumatra Utara (Sumut) sebagai daerah berpenduduk paling banyak di Sumatra menjadi ladang suara potensial bagi partai-partai peserta. Tiap-tiap partai mengerahkan juru kampanye terbaiknya ke daerah ini. Golongan Karya yang juga ikut pemilu untuk kali pertama mengutus salah satu pengurus pusatnya yang juga putra daerah: Mayor Jenderal Djamin Gintings. Kebetulan, di Angkatan Darat Gintings sedang “diparkir” alias tidak punya jabatan.
Di masa kampanye, Gintings berkunjung dari satu kabupaten ke kabupaten di Sumut. Mulai dari Kabupaten Langkat, Serdang, Dairi, Kota Sidikalang, Tiga Lingga, Kuta Buluh Berteng, hingga Tanah Karo. Sewaktu di Tanah Karo, kampung kelahiran Gintings, rakyat "bejibun" menyaksikan kampanye pemenangan Golkar.
“Suamiku disambut gegap gempita oleh tidak kurang 45 ribu orang yang memadati rapat raksasa di Stadion Kabanjahe. Memasuki kota dan desa di Sumatra Utara yang pernah dia perjuangkan mati-matian semasa agresi militer Belanda dulu, seolah-olah membangkitkan kenangan kembali akan perjuangannya dulu. Tidak pelak lagi Golkar meraih kemenangan mutlak di Sumatra Utara,” kenang Likas Tarigan, istri Ginting, dalam otobiografinya Perempuan Tegar dari Sibolangit yang ditulis Hilda Unu-Senduk.
Baca juga: Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Gintings bukan orang baru dalam Golkar. Dirinya terlibat dalam pembentukan Golkar yang didirikan pada 20 Oktober 1964, sebelum organisasi itu menjadi partai politik. Waktu itu namanya masih Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Semula, organisasi ini merupakan kelompok fungsional dalam Front Nasional yang didukung oleh TNI Angkatan Darat. Dalam Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Sekber Golkar, Gintings menjabat ketua merangkap ketua urusan pembangunan keuangan. Gintings, seperti dicatat Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, tergolong tokoh cendekiawan Kristen generasi pertama dalam Golkar bersama tokoh lain seperti Maraden Panggabean, G.A. Siwabessy, J.B. Sumarlin, dan Radius Prawiro, kendati mereka tidak membawakan bendera atau kepentingan agama masing-masing.
Dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Sekber Golkar ke-2, Gintings ditunjuk secara aklamasi menjadi ketua Kelompok Induk (Kino) Gabungan Karya Rakyat Indonesia (Gakari). Pada 1969, Kino Gakari mewadahi 12 kelompok organisasi dan 100 kelompok organisasi kemasyarakatan (ormas). Secara umum, ada sekira 201 organisasi yang tergabung dalam tujuh kelompok induk organisasi Sekber Golkar.
Aktivitas Gintings dalam menggarap Gakari dan turun dalam kampanye pemenangan tampaknya berpengaruh dalam perolehan suara Golkar dalam pemilu. Di Sumatra Utara, Golkar meraup sebanyak 2.546.564 suara atau sekira 70 persen dari total konstituen. Pun demikian dengan perolehan suara nasional, dominasi Golkar menyisihkan sembilan partai lain.
Baca juga: Korpri Bantu Orde Baru Menangi Pemilu
Setelah pemilu, Gintings yang karier militernya sudah sekian lama mandek di pangkat mayor jenderal, naik setingkat menjadi letnan jenderal. Selain itu, dia tepilih juga menjadi anggota DPR dan duduk dalam Komisi II merangkap sebagai ketua Diskusi Luar Negeri. Tapi, Gintings tak lama berkhidmat sebagai legislator Golkar.
Pada 1972, Presiden Soeharto menunjuk Gintings menjadi Duta Besar Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Kanada. Semula, Gintings enggan menerima jabatan non-militer ini. Tapi sebagai seorang prajurit dan militer yang masih aktif, ia mesti patuh. Sejak ditunjuk jadi duta besar, menurut Likas, Gintings didera perasan galau dan mudah tersinggung.
“Kita sudah kenyang naik-turun gunung, Pak. Setiap saat nyawa taruhannya. Kini, pemerintah memberi kesempatan kepada kita untuk beristirahat. Senang-senangkanlah hati Bapak. Nanti, kalau sudah kembali Jakarta, kita mulai lagi,” demikian Likas menghibur suaminya.
Baca juga: Ketika Djamin Gintings Rindu Tanah Air
Menurut Salim Said, pakar politik militer Indonesia, istilah “didubeskan” menjadi populer di masa awal kekuasaan rezim Presiden Soeharto. Para jenderal yang tidak bisa dimanfaatkannya, atau dipandang berpotensi membahayakan kekuasaannya, dengan mudah dialihtugaskan menjadi duta besar (dubes) dan diparkir di luar negeri.
Jabatan duta besar, kata Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto, “Terhormat, tapi jauh dari kekuasaan.” Sementara itu, peneliti sosial-politik Dhianita Kusuma Pertiwi dalam Mengenal Orde Baru mencatat, jabatan duta besar ibarat hadiah lain dari Soeharto kepada jenderal-jenderal yang tidak disukainya, yang sering disebut dengan istilah “didubeskan” alias dibuang.
Dalam kasus Gintings, menurut Sayidiman Suryohadiprodjo --mantan anak buah Gintings di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) yang kelak menjadi Wakil KSAD periode 1973-1974, bukanlah jenderal dalam lingkaran utama Presiden Soeharto. Gintings merupakan perwira tinggi di lingkungan Markas Besar Angkatan Darat semasa A. Yani menjadi panglima Angkatan Darat. Pada 1962, Gintings ditunjuk menjadi Asisten II/Operasi Menteri Panglima Angkatan Darat. Dengan kata lain, Ginting merupakan orangnya Yani yang loyal pada Sukarno namun anti-PKI.
Baca juga: Jenderal Yani dan Para Asistennya
Setelah didubeskan, Likas mendapati kekecewaan yang mendalam pada diri Gintings. Dalam lubuk hatinya, Gintings sejatinya tidak menerima penempatan di Kanada. Acara perpisahan dengan rekan-rekannya menambah kepedihan hatinya.
“Bagi suamiku, berpisah dengan teman-teman sesama tentara di Angkatan Darat terasa sangat berat. Kepedihan hatinya dan rasa kecewanya yang menggunung dapat kurasakan,” kenang Likas.
Setelah dua tahun menjalani tugas duta besar, Gintings wafat di Ottawa, Kanada, pada 23 Oktober 1974. Permintaanya untuk pulang ke Indonesia tidak digubris oleh Presiden Soeharto. Kendati demikian, tidak membuat keluarga Djamin Gintings jadi antipati pada Golkar. Setidaknya dibuktikan dari kesediaan Likas meneruskan kiprah suaminya sebagai juru kampanye Golkar dalam Pemilu 1977, 1982, dan 1987. Likas pun menjadi anggota MPR-RI dari Golkar selama dua periode (1978—1988). Djamin Gintings sendiri, dalam 20 Tahun Golkar, diakui sebagai salah satu dari 16 pinisepuh pendiri Golkar.