Jam baru menunjukkan pukul 21.00 WIB. Warung Cak Sairin di Jalan H.M. Usman, Kukusan, Depok, sudah sepi. Dua pelanggan baru saja menuntaskan makan. Di etalase, hanya tersisa beberapa potong daging ayam. Agaknya peruntungan Cak Sairin (45) sedang bagus malam itu. Seorang laki-laki datang dan memesan lele terakhirnya.
“Padahal biasanya bisa sampai jam dua,” ujar Cak Sairin kepada Historia.id di sela-sela menyiapkan pesanan.
Cak Sairin berasal dari Sukodadi, Lamongan. Bersama istrinya, Cak Sairin membuka warung pecel lele Lamongan di halaman depan rumah kontrakannya delapan tahun lalu. Dia tak sendirian. Ada sekira 15 warung pecel lele Lamongan di Jalan H.M. Usman.
Baca juga: Pesona Nasi Goreng
“Beberapa tetangga sini juga orang Lamongan. Tetangga samping saya ini orang Lamongan. Dia punya rumah asrama kos, yang ngekos anak-anak Lamongan juga,” ujar Cak Sairin.
Warung pecel lele Lamongan adalah salah satu jejaring kuliner lokal yang ekspansif. Tak kalah dari warung Tegal, rumah makan Padang, atau lapo Batak. Kehadiran warung pecel lele Lamongan di kota-kota besar berkelindan dengan urbanisasi orang-orang Lamongan demi mencari nafkah.
Terdorong Kondisi Alam
Karena dekat dengan kampus Universitas Indonesia dan Politeknik Negeri Jakarta, pelanggan warung Cak Sairin kebanyakan mahasiswa. Tak jarang warungnya menjadi tempat kumpul mahasiswa atau perantau asal Lamongan yang indekos di sekitarnya.
Umumnya orang Lamongan memilih merantau karena kondisi alam di kampung halamannya yang keras dan kering sehingga tak cocok untuk pertanian. “Lamongan bagian selatan, meskipun dilintasi Bengawan Solo, tidak terlalu subur. Saat kemarau sering kekeringan dan kerap banjir saat penghujan. Lamongan utara lebih kering karena tanahnya berkapur,” ujar Najmuddin (24), salah satu pelanggan Cak Sairin yang juga asli Lamongan.
“Orang-orang utara seperti di kampung saya umumnya jadi TKI. Kalau yang berdagang pecel lele atau soto Lamongan itu biasanya orang selatan,” lanjut Najmuddin yang lulus dari Universitas Indonesia.
Baca juga: Menusuk Sejarah Sate
Menurut laporan Kompas, 16 Februari 2014, orang Lamongan berurbanisasi setidaknya dalam tiga gelombang. Gelombang pertama diperkirakan terjadi pada 1965–1966 karena situasi keamanan seiring pembersihan orang-orang kiri di sana. Orang Lamongan yang sukses mengajak kerabat dan tetangganya pindah ke Jakarta. Terjadilah urbanisasi gelombang kedua pada 1970-an hingga 1980-an. Umumnya mereka datang ke Jakarta dan magang di tempat usaha generasi pertama. Setelah cukup modal, mereka membuka warung sendiri. Gelombang terakhir terjadi pasca krisis 1998. Bukan hanya Jakarta, para perantau ini melirik kota-kota besar lain di Indonesia. Cak Sairin adalah salah satu perantau gelombang terakhir ini.
Para pedagang pece lele kemudian membentuk sejumlah paguyuban seperti Kelompok Kerukunan Besar Siman Jaya (KKBSJ), kelompok pedagang warung tenda pecel lele Al-Mubarokah, kelompok pedagang warung tenda pecel lele Al-Islah, kelompok pedagang warung tenda pecel lele desa Kembangan-Lamongan, serta Forum Silarurahmi Putra Asli Lamongan (Pualam). Dari paguyuban ini pula mereka berkontribusi bagi kemajuan desa mereka.
Tak Ada Sea Food
Lazimnya, orang mengenal pecel sebagai makanan rebusan sayur-mayur yang diguyur sambal kacang. Tapi pecel lele sama sekali berbeda. “Di Lamongan yang disebut pecel itu sebenarnya lauk yang dimakan sama sambal. Apapun lauknya, kalau dimakan sama sambel, itu pecel. Makanya ada pecel lele, pecel ayam, pecel terong, atau pecel bebek,” ujar Najmuddin.
Selain pecel lele, menu-menu di warung Lamongan di mana pun hampir selalu sama. Ada pecel ayam, ati ampela, terong, tahu-tempe, dan tak ketinggalan soto Lamongan. Sajian-sajian ini menjadi tengara warung milik orang Lamongan.
“Orang Lamongan biasanya titen (mengerti) mana warung punya orang Lamongan asli,” ujar Najmuddin. “Orang Lamongan kebanyakan juga tak menawarkan menu sea food. Jadi, kalau ada spanduk warung pecel lele yang menyediakan sea food, bisa jadi itu bukan asli Lamongan.”
Tidak adanya sea food bisa jadi karena umumnya penjual pecel lele adalah warga Lamongan bagian selatan yang cenderung agraris.
Baca juga: Dari Tangan hingga Prasmanan
Di antara sekian jenis ikan air tawar, mengapa Lamongan identik dengan ikan berkumis?
Lele adalah salah satu produk perikanan unggulan Lamongan. Bahkan untuk meningkatkan produksi, pemerintah daerah setempat memberikan bantuan ikan lele agar bisa dibudidayakan di lahan sempit dengan media terpal. Karena lele menjadi ikon, pemerintah setempat bahkan mengembangkan batik motif bandeng lele.
Uniknya, sebagian orang Lamongan asli pantang makan lele. Lele hanya bisa dinikmati pembeli. Mitos ini berakar dari cerita tutur tentang Ki Bayapati, salah satu tokoh leluhur orang Lamongan, yang berkembang di daerah aliran sungai Bengawan Solo.
Suatu ketika pada abad ke-16, Sunan Giri III mengadakan perjalanan dakwah dengan menyusuri Bengawan Solo ke arah selatan. Ketika sampai di Desa Barang (sekarang masuk wilayah Kecamatan Glagah, Kabupaten Lamongan) hari sudah malam. Sunan memutuskan menginap di gubuk seorang janda tua, yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan nama Mbok Rondo. Sewaktu meninggalkan gubuk itu, Sunan lupa mengambil keris pusakanya yang diletakkannya di bale-bale. Dia baru ingat setelah sudah kembali dan tiba di Giri Kedaton. Sunan lalu menitahkan salah seorang cantriknya, Ki Bayapati, untuk mengambil pusaka itu.
Baca juga: Balada Ikan Asin dari Zaman Jawa Kuno
Bayapati berangkat ke Desa Barang. Sesampai di sana, dengan ilmu sirepnya, Bayapati mengambil keris itu diam-diam. Tapi ulahnya ketahuan Mbok Rondo yang langsung berteriak maling. Alhasil, Bayapati dikejar-kejar warga kampung. Saat melarikan diri itulah Bayapati mendapati sebuah danau yang dipenuhi ikan lele. Dia menceburkan diri untuk bersembunyi. Ajaibnya, seakan mengerti kesulitan yang menimpa Bayapati, lele-lele itu berenang memenuhi permukaan danau. Bayapati selamat dan meneruskan perjalanan pulang ke Gresik. Oleh Sunan Giri III, keris itu dihadiahkan kepada Bayapati.
“Keris hadiah Sunan Giri inilah yang kemudian sampai sekarang disebut ‘Mbah Jimat’, tersimpan dengan baik dalam suatu bangunan di Dusun Rangge, Lamongan. Sedang penduduk Lamongan asli sampai sekarang pantang makan ikan lele, karena menganggap ikan lele itu bertuah dan pernah berjasa melindungi Bayapati,” tulis Naskah Riwayat Hari Jadi Lamongan yang bersumber dari Pemerintah Kabupaten Lamongan.
Benar atau tidak, ikan lele telah menjadi penolong orang-orang Lamongan dalam mencari penghidupan di perantauan.