Louisa Johanna Theodora Wieteke van Dort kena imbas hubungan Indonesia-Belanda yang memanas akibat konflik Irian Barat pada 1957. Perempuan kelahiran Surabaya itu terpaksa angkat kaki dari tanah kelahirannya dan pulang ke negeri leluhurnya, Belanda.
Setibanya di Den Haag, Wieteke berkeluh kesah. Dia tak pernah menyangka iklim di Belanda begitu dingin. Namun yang paling buruk di sana adalah makanannya. Lebih buruk daripada makanan yang didapatnya dalam kapal selama perjalanan menuju Eropa.
“Benar-benar payah!” ungkap Wieteke merujuk makanan Belanda. “Beri saja aku nasi goreng dengan omelet (telur dadar),” demikian harapannya.
Selama bertahun-tahun, Wieteke tak bisa melupakan kelezatan nasi goreng. Makanan berbahan pokok beras disertai aneka bumbu itu masih terasa lekat dalam dekapan lidahnya. Pada 1979, Wieteke yang kemudian kondang sebagai aktris kabaret menyalakan kerinduannya lewat sebuah lagu berjudul “Geef Mij Maar Nasi Goreng” (Beri Saja Aku Nasi Goreng).
“Lantunan Wieteke van Dort mengandung makna kenangan terhadap hidangan pribumi dan memperlihatkan betapa besar pengaruh kuliner pribumi terhadap orang-orang Belanda yang pernah hidup di Hindia Belanda,” tulis sejarawan kuliner Fadly Rahman dalam Rijstafel: Budaya Kuliner di Indonesia masa Kolonial 1870-1942.
Tak pelak, lagu itu memopulerkan nasi goreng (juga makanan Indonesia lainnya) ke seantero Eropa.
Dari Tionghoa ke Nusantara
Hanzi, demikian nasi goreng disebut di tempat asalnya, Tiongkok. Diperkirakan, hanzi sudah ada sejak 4000 SM. Namun secara pasti, nasi goreng tercatat di era Dinasti Sui (589-618 M), di kota Yangzhou, Provinsi Jiangsu Timur.
“Nasi goreng yang berasal dari Yangzhou adalah hidangan serbaguna yang menggabungkan nasi, bawang, kecap, kadang-kadang telur, dan hampir semua bahan lainnya –sisa atau segar,” tulis Gloria Bley Miller dalam The Thousand Recipe Chinese Cook Book.
Baca juga: Nasi Sejak Dulu Kala
Nasi goreng sebenarnya muncul dari adab budaya Tionghoa yang tak suka menyantap makanan dingin tapi juga tak boleh membuang sisa makanan. Karena filosofi itu, nasi yang dingin sisa semalam kemudian digoreng kembali keesokan harinya. Dengan tambahan bumbu dan racikan dalam kuali, nasi goreng ternyata menghasilkan citarasa yang nikmat di lidah.
Nasi goreng kemudian tersebar ke Asia Tenggara. Ia dibawa perantau-perantau Tionghoa yang menetap di sana. Pada abad ke-10, nasi goreng telah diperkenalkan pedagang Tionghoa yang menyinggahi kawasan kerajaan Sriwijaya. Mereka mulai menciptakan nasi goreng yang disesuaikan dengan bumbu dan cara menggoreng khas lokal.
Baca juga: Sehidup Semati Bersama Nasi
Seiring waktu, makin banyak varian nasi goreng yang dipadu-padankan dengan citarasa, bumbu, dan lauk khas Nusantara. Racikan pendukungnya pun kian kaya. Mulai dari ikan asin, aneka sea food, kambing, dendeng, petai, hingga nenas. Menu-menu yang tersaji memperlihatkan adanya akulturasi nasi goreng dengan kultur kuliner Nusantara. Beberapa di antaranya seperti: nasi goreng teri medan, nasi goreng bumbu rendang, nasi goreng kambing dari Betawi, nasi goreng petai dan kencur ala pasundan, nasi goreng jawa, hingga nasi goreng rica-rica dan cakalang khas Minahasa.
Budayawan Omar Kayam dalam kumpulan tulisannya Mangan ora Mangan Ngumpul menyebut bahwa nasi goreng yang nikmat tak perlu memakai mentega. Racikan uniknya itu justru menggunakan minyak jelantah bekas gorengan telor dan teri yang dikocok menjadi satu. Sambalnya diulek dengan terasi.
“Pokoknya bumbu itu semangkin mbleketek dari dapur sendiri semangkin enak,” tulisnya dalam “Teori Nasi Goreng.” Nasi goreng Umar Kayam ini dikenal dengan nasi goreng jawa.
Mendunia
Catatan sejarah menunjukkan nasi goreng adalah makanan semua kalangan. Nasi goreng disebut dalam roman Student Hidjo karya Marco Kartodikoromo, cerita bersambung di suratkabar Sinar Hindia tahun 1918 lalu diterbitkan setahun kemudian. Novel itu menceritakan kisah Hidjo, pelajar Jawa yang dikirim ke Belanda untuk menuntut ilmu dan jatuh cinta Betje, anak perempuan induk semang Hidjo di Amsterdam. Betje gemar masakan Jawa, bahkan punya buku resep masakan ala Jawa. “Nasi goreng itu enak, saya pernah makan di warung Jawa,” ujar Betje.
Dalam novelnya Bumi Manusia, yang berlatar masa pergerakan nasional, Pramoedya Ananta Toer menceritakan tokoh Minke ketika ditangkap dua agen polisi dan menumpang kereta kelas satu. Di dalam kereta, Minke disodorkan nasi goreng berminyak mengkilat, dengan sendok dan garpu, dihias matasapi dan sempalan goreng ayam dalam wadah takir daun pisang. Bagi Minke, hidangan itu terlalu mewah untuk dirinya.
Baca juga: Pram Menemukan Minke
Pada masa kolonial, nasi goreng menjadi santapan kelas elite. Fadly Rahman mengungkap, pada waktu tertentu banyak keluarga Belanda yang menghidangkan Indische rijsttafel (makanan lokal Hindia). Dari menu lokal yang disajikan dalam rijsttafel itu dapat dipastikan salah satunya adalah nasi goreng.
Setelah Indonesia merdeka, nasi goreng dianggap sebagai salah satu hidangan nasional. Ia termasuk salah satu menu yang diperkenalkan dan bisa disantap di Indonesian Theatre Restaurant pada New York World’s Fair 1964.
Baca juga: Dari Tangan hingga Prasmanan
Howard Palfrey Jones, duta besar AS untuk Indonesia, dalam memoarnya Indonesia: The Possible Dream mengatakan menyukai nasi goreng. Dia bahkan menceritakan kegemarannya akan nasi goreng buatan Hartini, salah satu istri Sukarno, sebagai nasi goreng yang paling enak.
Barack Obama, presiden Amerika Serikat yang melewati masa kecil di Menteng, Jakarta, selama 1969-1971 tentu tak melupakan kelezatan nasi goreng. Ketika berkunjung ke Indonesia pada 2011, nasi goreng pula yang dipesannya.
Baca juga: Mengunyah Sejarah Randang
Banyak pesohor dunia menyukai nasi goreng. Rupanya ia bukan hanya bisa ditemui di Indonesia. Menurut pakar kuliner, William Wongso, nasi goreng sudah masuk set menu restoran umum di Eropa, terutama rumah makan yang menampung turis Asia. “Judulnya pun tetap nasi goreng, meski dibubuhi terjemahan bahasa Inggris menjadi ‘nasee gorank’,” ujarnya, dikutip Kompas, 26 Maret 2010.
Pada 2011, situs berita internasional CNN dalam surveinya menobatkan nasi goreng sebagai makanan terlezat nomor dua di dunia. Di Indonesia, pesona nasi goreng tak pernah pudar. Selain mudah cara pembuatannya, ia mudah ditemui di warung jalanan hingga restoran.