Masuk Daftar
My Getplus

Dari Tangan hingga Prasmanan

Etika makan berubah dari zaman ke zaman. Pengaruh keragaman budaya menjadi penyebabnya.

Oleh: Hendi Jo | 21 Des 2017
Gaya prasmanan, sudah mentradisi di Indonesia. Foto: Nugroho Sejati/Historia.

Orang Pasundan tentu akrab dengan tradisi ngaliwet. Kegiatan mengolah nasi liwet di atas hamparan daun pisang lalu menyantapnya bersama-sama konon sudah dikenal sejak ratusan tahun lalu. Banyak kalangan menyebut tradisi makan ini bukan berasal dari tanah Jawa melainkan diadopsi dari budaya orang-orang Arab lewat dunia pesantren.

“Memang tradisi makan berjamaah di Nusantara awalnya diperkenalkan para imigran Arab sebagai bentuk pelaksanaan sunnah Nabi,” ujar jurnalis sejarah Alwi Shahab kepada Historia.

Dalam kitab Fathul Baari karya Ibnu Hajar al Asqalani, ulama besar dan ahli hadist kelahiran Mesir, disebutlah sebuah hadits Nabi Muhammad yang berbunyi: “Makanlah bersama-sama dan janganlah sendiri-sendiri karena sesungguhnya makanan satu orang itu cukup untuk dua orang”. Karena hadits inilah orang-orang Arab membiasakan diri makan bersama-sama dalam shahfah (piring besar untuk makan lima orang) atau qas’ah (piring besar untuk makan sepuluh orang).

Advertising
Advertising

Pada abad ke-18, para imigran Hadrami (Yaman), Hijaz, dan Mesir membanjiri Nusantara. Bersama kedatangan orang-orang Asia Barat itu, dibawa pula berbagai tradisi budaya mereka termasuk soal etika makan. Seiring menguatnya pengajaran agama Islam, etika makan gaya Arab itu diadopsi para kyai dan santri lantas lambat-laun menyeruak ke khalayak.

Tradisi Bumiputra

Sejatinya, cara makan bersama-sama dalam satu wadah tidak dikenal dalam tradisi Nusantara. Menurut sejarawan Fadly Rahman dalam Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, pada umumnya kaum bumiputra duduk santai di lantai ketika makan dan mengalasi makanan mereka dengan selembar daun pisang atau piring kayu. Sebelum makan, tangan kanan dicuci dengan air supaya nasi yang dikepal tak lengket di tangan sehingga mudah disuapkan ke mulut.

“Mencuci tangan dan makan dengan menggunakan tangan kanan adalah penting dalam budaya makan di kalangan pribumi,” tulis Fadly.

Kebiasaan makan seperti itu sudah lama dianut bukan saja oleh orang-orang Nusantara tapi nyaris semua penduduk yang tinggal di kawasan Asia Tenggara. Di lain tempat wadah nasi dan lauk-pauk diganti daun-daun lebar sejenis daun pisang. Penduduk di pedalaman Ponorogo dan sebagian kawasan Jawa Timur menggunakan daun jati.

Namun tentu saja, ada perbedaan gaya antara khalayak dan kaum ningrat dalam soal etika makan. Kendati sama-sama menggunakan tangan, ada aturan khusus yang dianut para bangsawan. Di antaranya saat makan dilarang keras bercakap-cakap atau mengangkat satu kaki serta harus mendahulukan orang yang paling tua.

Sebagian kaum elit bumiputra kemudian mulai menerima kebiasaan makan orang-orang Eropa. Contohnya dengan menggunakan sendok dan garpu. Tentunya penggunaan alat-alat makan khas Eropa itu sudah mengalami penyesuaian mengingat pisau tak biasa digunakan. Sebab, sebagaimana halnya masakan Tionghoa, masakan Jawa disiapkan untuk sesuap-sesuap dan tak perlu dipotong di piring.

“Pada umumnya sendok dipegang di tangan kanan lalu diisi makanan yang didorong dengan garpu,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan. “Meskipun begitu, ritus meja tidak seketat di Barat. Orang makan dengan cepat, tanpa saling menunggu dan tanpa berbicara dengan tetangga sebelah.”

Selain pengaruh Eropa, tradisi makan Nusantara diselusupi tradisi makan orang-orang Tionghoa. Salah satu pengaruh nyata adalah penggunaan sumpit, terutama saat mencicipi sajian sejenis mie.

Prasmanan

Etika makan orang Eropa yang masih terjejaki hingga kini adalah prasmanan. Cara penyajian makanan ala Prancis ini mulai tren di Hindia Belanda pada 1896, saat seorang penulis resep masakan bernama Njonja Johanna menulis buku Boekoe Masakan Baroe yang memuat resep pembuatan berbagai kue dengan “tjara Blanda, Tjina, Djawa dan Prasman.” Kata “prasman” mengacu pada cara makan orang “fransman”, sebutan orang Belanda kepada orang Prancis, yang sering menyajikan makanan dengan ditaruh di atas meja.

“Orang-orang Prancis sendiri menyebut cara ini dengan nama buffet,” tulis Suryatini N. Ganie dalam Upaboga di Indonesia.

Istilah buffet sendiri diartikan sebagai meja besar yang ditaruh dekat pintu masuk restoran-restoran. Di atas meja, hidangan disusun para pelayan dengan maksud agar para tamu mendatangi meja tersebut dan memilih sendiri makanan yang diminatinya.

Cara “fransman” ini kemudian diikuti orang-orang Belanda. Menurut Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara, cara ini juga diadopsi orang-orang bumiputra dan cukup diminati hingga kini. Karena kaum bumiputra sulit melafalkannya, cara ini pun disebut “makan prasman” lantas menjadi “makan prasmanan”.

Pengadopsian prasmanan oleh kaum bumiputra, terutama kaum ningratnya, “menghancurkan” secara perlahan tradisi makan cara lama. Sebelumnya tradisi makan dalam suatu perhelatan diberlakukan dengan konsep selamatan: para tamu dibawakan berbagai sajian untuk disantap bersama dalam masing-masing piring atau wadah lain.

Uniknya, di luar Jawa, prasmanan masih dimaknai bukan bagian dari tradisi makan lokal. Di Palembang misalnya. Menurut pengalaman Gustaaf Kusno, seorang penulis asal-usul dari Palembang, sebagian orang Pelembang masih menyebut prasmanan sebagai ’makan prancis’.

“Bahkan di undangan pernikahan orang Palembang masih sering tertulis ’Resepsi ala Prancis’,” tulis Gustaaf dalam kolomnya di Kompasiana.

Mengapa pencantuman “resepsi ala Prancis” itu dilakukan? Menurut Gustaaf, itu karena di Palembang ada tradisi makan lain yang dinamakan ’chia tuk’ (layanan per meja). Dalam tradisi khas Tiongkok ini, undangan dipersilakan duduk melingkari meja bundar dan hidangan akan dihantarkan pelayan secara berurutan.

“Dengan mencantumkan apakah pada resepsi tamu akan ’makan prancis’ atau ’makan chia tuk’, maka para undangan diberi ’sandi’ seberapa besarnya angpao yang akan diberikan. Diharapkan angpao yang lebih besar untuk makan ‘chia tuk’ ini,” tulis Gustaaf, yang sudah menebitkan buku bunga rampai bahasa berjudul Gara-gara Alat Vital dan Kancing Gigi.

Beragam pengaruh bangsa-bangsa lain memperkaya khazanah seni kuliner Nusantara. Apapun makanannya, disajikan di atas daun atau piring, orang bisa makan sendirian atau bersama-sama, pakai tangan atau sendok dan garpu, dengan cara prasmanan atau selamatan.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Cerita Presiden RI dan Mobil Mercy-nya Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru Mengungkap Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah Tuan Tanah Cakung Indo-Priangan Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang Letnan Rachmatsyah Rais Gugur saat Merebut Tank Belanda