JAN Pieterszoon Coen memerintahkan anak buahnya membuat lembaran berita internal. Empat halaman kertas folio ditulis tangan. Isinya berita ringkas kegiatan perdagangan serta kedatangan dan keberangkatan kapal-kapal niaga, baik di Batavia maupun di berbagai factorijen, pos-pos perdagangan Belanda.
Gubernur Jenderal keempat Serikat Dagang Hindia Timur atau VOC (1617-1623) tersebut menamai lembaran berita itu Memorie der Nouvelles. “Memorie diedarkan di kalangan pejabat dan pegawai kompeni setelah melalui proses pemeriksaan,” ungkap F. de Haan, sejarawan kolonial penulis buku Oud Batavia.
Karena prosesnya manual, oplah “surat kabar” yang coba-coba dirintis Coen itu tentu sangat terbatas. Andai saja saat itu sudah ada mesin mungkin akan lain ceritanya, mengingat sejarah pers berpaut dengan keberadaan mesin cetak.
Mesin cetak baru masuk ke Hindia Timur pada 1668, ada juga yang menyebut 1659. Yang terakhir merujuk laporan Niehoff dalam Zae en Lantreise, dilansir dari Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007 karya Agung Dwi Hartanto. Mulanya mesin cetak hanya untuk menggandakan laporan-laporan VOC terkait negeri jajahan. Istilahnya bookbinder.
Baca juga: Koran De Locomotief, Corong Kaum Etisi
Pada masa mesin cetak inilah Jan Erdman Jordens punya gagasan menerbitkan koran yang jauh lebih modern dibanding Memorie. Pegawai VOC yang punya bisnis kecil-kecilan itu pun menyampaikan idenya ke Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff.
Gayung bersambut. Pendek kisah, 7 Agustus 1744, edisi perdana Bataviase Nouvelles terbit empat halaman. Dicetak dalam layout dua kolom. Ukurannya sedikit lebih besar daripada folio.
Bataviase merujuk pada sebutan untuk orang-orang Batavia, mereka yang hidup di Batavia dan mereka yang berselera Batavia. Istilah Bataviase ini, mengingatkan kita pada istilah Parisian untuk orang-orang Paris, New Yorker untuk orang-orang New York atau Berliner untuk orang-orang Berlin. Sedangkan Nouvelles serupa dengan news. Kurang lebih artinya berita baru.
Koran pertama di negeri yang hari ini bernama Indonesia itu, “terbit seminggu sekali. Tapi Jordens punya angan menjadikannya harian,” tulis Kasijanto Sastrodinomo dalam “Media dan Monopoli Dagang, Percetakan dan Penerbitan di Indonesia Pada Masa VOC,” jurnal Wacana, Vol. 10 No. 2, Oktober 2008.
Mula-mula beritanya hanya seputar perdagangan dan tetek bengek VOC. Mulai dari berbagai ketentuan administrasi, kedatangan kapal, pengangkatan dan pemberhentian pejabat hingga pemecatan dan kematian pegawai kantor dagang itu. Sebagai koran dagang, Batavise Nouvelles memenuhi sebagian besar halamannnya dengan iklan dan berita lelang.
Baca juga: Pers Perjuangan di Kalimantan
Kemudian tentang pesta-pesta, jamuan, obituari dan doa-doa keselamatan bagi kapal yang akan berlayar jauh menyeberang ke negeri induk. “Dalam beberapa edisi, koran itu juga menerbitkan karangan tentang sejarah awal koloni, dan sejarah gereja secara singkat. Semacam feature yang banyak ditulis dalam media sekarang,” tulis Kasijanto.
Karena mendapat sambutan hangat dari masyarakat Batavia, pada 9 Februari 1745 surat izin usaha Bataviase Nouvelles diperpanjang hingga tiga tahun ke depan. Namun, lain lubuk memang lain pula ikannya. De Heeren Zeventien (Tuan-tuan XVII, yakni 17 anggota Dewan Direktur VOC) di Amsterdam, Belanda, khawatir koran itu akan membuka informasi yang sifatnya “rahasia.” Maka, melalui sepucuk surat bertanggal 20 November 1745, De Heeren Zeventien meminta van Imhoff memberedel Bataviase Nouvelles.
Gubernur Jenderal VOC ke-27 itu pun terkejut. Jordens tak kalah kaget, mengingat selama ini berita-berita di koran itu tak pernah mengkritisi VOC. Akan tetapi, van Imhoff tak kuasa melawan perintah atasan. Sejak 20 Juni 1746, Bataviase Nouvelles tidak lagi menjadi bagian dari sarapan pagi masyarakat Batavia.