Masuk Daftar
My Getplus

Sepenggal Kisah dari Kolonel Hidajat Martaatmadja

Berjuang di tengah rimba raya Sumatra, sang kolonel meninggalkan anak dan isteri di daerah pendudukan Belanda.

Oleh: Hendi Johari | 20 Okt 2020
Kolonel Hidajat Martaatmadja saat akan memulai perundingan dengan militer Belanda di Tasikmalaya. (Arsip Nasional Belanda).

Bukittinggi, 19 Desember 1948. Hawa dingin masih membekap pagi, ketika Mayor Chairun Basri (Kepala Intelijen Panglima Komandemen Sumatra) mendengar suara ketukan. Begitu pintu dibuka, nampaklah Kapten Islam Salim, ajudan Kolonel Hidajat Martaatmadja (Panglima Teritorium Sumatra). Setelah memberi hormat, dia menyampaikan pesan Hidajat supaya Chairun cepat datang menemui sang kolonel di markas besar. Ada rapat penting terkait rencana penyerbuan Belanda ke seluruh wilayah di Indonesia.

Singkat cerita bertemulah mereka bertiga dengan staf lainnya di kantin markas. Baru saja rapat dibuka Kolonel Hidajat, tetiba terdengar raungan suara pesawat tempur musuh di langit Bukittinggi.Raungan bak suara ribuan tawon itu kemudian diikuti ledakan bom dan rentetan senjata otomatis. Markas Komandemen Sumatra dan Markas Komando Sumatra Barat yang posisinya berdampingan seketika porak poranda.

Tak ada yang bisa dilakukan oleh Kolonel Hidajat dan anak buahnya kecuali bertiarap di lobang-lobang perlindungan yang memang sudah tersedia sekitar markas. Ketika sebuah bom jatuh menimpa sebuah lubang perlindungan, baru saja Mayor Chairun meninggalkannya.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Menegangkan Kala Yogyakarta Diserang Belanda

“Beberapa korban jatuh. Saya terelak dari sebuah pemboman. Tuhan Maha Besar,” kenang Chairun seperti diceritakannya dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Perngorbanan Jilid Pertama.

Atas saran Chairun pula, Kolonel Hidajat beserta seluruh staf-nya kemudian mundur ke Pasaman, wilayah yang terletak di utara Sumatera Barat. Pasaman merupakan daerah yang strategis secara militer. Selain merupakan gudang beras, Pasaman pun adalah akses yang mudah untuk berhubungan dengan luar negeri, terutama Singapura, tempat suplai logistik dan persenjataan buat para gerilyawan republik.

Pada 20 Desember 1948, rombongan Kolonel Hidajat memulai gerakan mundur dari Bukittinggi ke Pasaman. Usai melakukan konsolidasi antar pasukan, Kolonel Hidajat mulai merencanakan perjalanan untuk mengunjungi front-front terdepan di seluruh Sumatra. Jika dihitung dari segi jarak, maka perjalanan tersebut harus menempuh ribuan kilometer.

“Semua itu harus dilakukan lewat jalan kaki, di sela-sela pertahanan dan kedudukan Belanda,” ungkap Chairun.

Perjalanan dimulai dari arah selatan guna membangun komunikasi dengan Kolonel M. Simbolon. Mereka bergerak melalui rute Pekanbaru-Rengat-Jambi. Dalam perjalanan panjang itu, selain Mayor Chairun, Hidayat pun disertai oleh dua ajdudannya: Kapten Islam Salim dan Kapten Jusuf Ramli beserta beberapa orang prajurit.

“Kami menempuh jarak panjang melalui hutan belantara, dengan rakit menyusuri sungai-sungai, naik-turun bukit silih berganti,” kenang Chairun.

Baca juga: D.I. Pandjaitan Bernatal di Tengah Hutan

Sejak itu pula mereka harus berkawan akrab dengan berbagai marabahaya: mulai ancaman binatang buas (harimau, gajah dan beruang) hingga serangan tentara Belanda. Setiap malam mereka berkemah di tengah hutan belantara yang kadang minim sekali tertembus sinar bulan atau bintang. Suasana memang agak mencekam, namun di tengah semua itu, mereka masih sempat memikirkan isteri yang entah  di mana berada bersama anak-anak yang masih kecil.

“Tapi semua beban dirasakan agak ringan, karena kita semua selalu berbagi…” kenang Chairun.

Begitu sampai di Riau, Kolonel Hidajat langsung melakukan konsolidasi dengan kekuatan-kekuatan republik yang ada. Dari sana, dia bergerak ke wilayah Aceh dengan hanya disertai dua ajudannya. Perjuangan yang sangat berat, karena mereka harus kembali menempuh jarak kurang lebih 1000 km dalam situasi yang penuh ancaman buat jiwa mereka.

*

Yogyakarta, beberapa hari setelah Agresi II Belanda. Pagi baru memasuki beberapa jam, saat sebuah mobil sedan terbuka berhenti di depan rumah keluarga Hidajat Martatmadja. Seorang perwira pertama dari Dinas Intelijen Belanda (IVG) bernama Letnan Bakker kemudian menemui Ratu Aminah (isteri Hidajat). Dia menyatakan bahwa Aminah dipanggil oleh atasannya Kapten Vosfeldt untuk suatu keperluan pemeriksaan. Aminah menyanggupi. Namun dia minta izin untuk membawa Dewi, salah seorang putrinya yang sudah mulai beranjak besar. Permintaan itu diluluskan.

Baca juga: Mereka Ingin Sukarno Mati

Begitu sampai di markas IVG, Aminah diperiksa terlebih dahulu di ruangannya. Itu berlangsung selama kurang lebih tiga perempat jam. Selama itulah Dewi merasakan kekhawatiran yang sangat terhadap keselamatan ibunya.

“Hatiku berdebar dan serasa panas dingin karena takut ibu akan dianiaya,” kenang Dewi seperti dikisahkan dalam bukunya, Hidajat: Father, Friend dan A Gentleman.

Barulah dirinya merasa lega ketika dilihatnya sang ibu keluar dari ruangan Vosfeldt dalam keadaan utuh. Namun baru saja akan berkemas untuk pulang, tetiba Letnan Bakker memanggil Dewi untuk masuk ke ruangan sang kapten.

“Apa perlunya?” tanya Ratu Aminah dalam bahasa Belanda.

“Kapten hanya ingin berkenalan saja,” jawab Letnan Bakker.

Di ruangan Vosfeldt, putri kolonel republik itu dipersilakan duduk di seberang meja kerjanya sang kapten. Dengan ramah, dia lantas bertanya dalam bahasa Belanda: berapa usia Dewi, hobi Dewi, apa masih sekolah dan jika masih di manakah dia bersekolah. Setelah dijawab semua pertanyaan itu, Vosfeldt menatap mata Dewi sambil berkata:

“Segeralah tulis surat kepada ayahmu! Suruh ia kembali dari petualangannya di rimba Sumatra. Dan kamu akan bisa kembali ke sekolah secara normal dan meneruksan lagi hobimu main piano dan main tenis secara teratur.”

Baca juga: Dilema Menak Sunda di Era Revolusi

Alih-alih langsung mengiyakan apa yang diperintahkan Vosfeldt, Dewi malah merasakan dirinya marah. Dengan air mata bercucuran karena menahan emosi, Dewi malah menjawab:

“Nooit van m'n leven zal ik mijn vader schrijven om thuis te komen (Tak akan pernah saya menyurati ayah untuk pulang). Jika itu saya lakukan sama saja saya menyuruhnya untuk berhenti berjuang!”

Vosfeldt agak terkejut mendengar jawaban itu. Setelah menatap Dewi sebentar, dia lantas memanggil Bakker untuk membawa Dewi ke luar rungannya dan mengantarkan kembali Aminah dan Dewi ke rumah mereka.

*

Pasca Perjanjian Roem-Royen. Indonesia dan Belanda akhirnya sepakat untuk menuju sebuah jalan damai. Gencatan senjata diberlakukan. Hidajat pun bisa pulang ke rumahnya di Yogyakarta.

Segala hal yang terkait kejadian yang sudah-sudah selama Hidajat berjuang di Sumatra, dikisahkan oleh Aminah dan Dewi. Termasuk pengalaman Dewi kala diperiksa oleh Kapten Vosfeldt. Mendengar kisah menegangkan sekaligus mengharukan dari putrinya, Hidajat hanya tersenyum.

“Anak Kiblik (Republik) ni ya…”

Ada nada bangga dalam kata-kata Hidajat itu.

TAG

hidajat-martaatmadja komandemen sumatra bukittinggi agresi belanda

ARTIKEL TERKAIT

Lika-liku Opsir Luhukay Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Hukuman Penculik Anak Gadis Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret Dokter Soetomo Dokter Gadungan Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI