Masuk Daftar
My Getplus

Obrolan Ringan Noerdin Pandji dengan Tentara Belanda

Hadir ketika gencatan senjata RI-Belanda di Lampung Utara, Noerdin Pandji sempat berbincang dengan beberapa orang Belanda.

Oleh: Petrik Matanasi | 25 Mei 2023
Noerdin Pandji (Ilustrasi: Awaluddin Yusuf/Historia)

Di sekitar Lampung Utara, Noerdin Pandji harus repot pada akhir 1949 karena adanya gencatan senjata. Dia adalah komandan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Front Utara Lampung. Kala itu, Mayor Noerdin Pandji sudah turun pangkat menjadi kapten.

Di sebuah kampung, Noerdin bertemu beberapa anggota Koninklijk Landmacht (KL). Tembak-menembak tak ada lagi. Anak-anak kecil bahkan berani bermain di bawah kolong jembatan yang dijaga serdadu Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) sambil duduk-duduk di sebuah kuris reyot. Noerdin kemudian bertemu seorang kopral.

 “Saya tidak pernah berpikir akan menjadi tentara,” kata Noerdin.

Advertising
Advertising

 "Aku juga tidak," aku kopral KL bule itu.

 "Apa yang kamu lakukan di Belanda?" tanya Noerdin.

 “Saya adalah seorang koki kue. Saya akan kembali ke bisnis ayah saya,” jelas kopral KL itu."Apa yang kamu lakukan sebelum perang, Kapten?"

“Saya berada di MULO di Batavia. Orang Jepang datang dan saya pulang ke rumah, di sini di Sumatera. Saya sebenarnya ingin kuliah, tapi saya mengikuti pendidikan perwira dan kemudian menjadi anggota TNI,” jawab Noerdin.

"Ya, saya mengerti. Kamu bilang belajar, kapten, apa yang sebenarnya ingin kamu pelajari?" tanya si kopral.

“Teknologi, khususnya pembangunan jembatan. Sumatera membutuhkan jembatan. Maka negara ini bisa berarti sesuatu,” kata Nordin sambil berpikir sejenak. "Ya. Sayang sekali perang ini.”

"Ya. Itu bisa sangat berbeda. Anda merusak jembatan di sini, bukan?" tanya kopral.

“Ya. Ya, kami mendapat perintah. Gerak maju Anda harus dihentikan,” jawab Noerdin, dikisahkan koran De Noord-Ooster, 17 Sepetember 1949.

Setelah bertemu kopral itu, Noerdin bertemu seorang perwira pada 10 Agustus 1949. Menurut pengakuan Noerdin dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan, perwira itu adalah Mayor Ranzouw. Gencatan senjata antara tentara RI dan Belanda pun tersepakati.

Pada akhir persetujuan, Mayor Ranzouw bertanya siapakah yang akan jadi presiden Indonesia setelah Belanda pergi. Setelah Noerdin menjawab Sukarno, Noerdin terkejut dengan kata-kata Ranzouw.

“Kalau saya, Mayor Noerdin, tentu saya pilih Hatta,” kata Ranzouw.

“Apa alasannya?” tanya Noerdin.

“Alasannya ialah Hatta lebih baik dan lebih mampu membawa negara dan rakyat Indonesia pada tujuan kemerdekaannya,” kata perwira Belanda itu.

Setelah tentara Belanda angkat kaki pada 1950, Noerdin Pandji bertahan setahun di TNI. Pada 1951, Noerdin keluar dari TNI dengan pangkat mayor. Dia tidak meneruskan cita-citanya sebagai insinyur dengan masuk sekolah tinggi. Sekeluar dari tentara, Noerdin terjun ke dunia politik Di sekitar Palembang, bukan di Lampung seperti di masa revolusi dulu.

Pada 1960, Noerdin anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Selatan. Dia pernah mencalonkan diri sebagai gubernur Sumatra Selatan pada 1963, 1967 dan 1978. Tak sekalipun dia terpilih.

Meski begitu, putranya, Alex Noerdin, pada 2008 hingga 2018 menjadi gubernur Sumatra Selatan. Sebelum jadi gubernur, Alex Noerdin pernah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumatra Selatan. Tak hanya anak Noerdin saja yang terjun ke dunia politik, cucunya yang bernama Dody Reza, juga terjun ke dunia politik dan pernah menjadi bupati Musi Banyuasin.

TAG

perang kemerdekaan

ARTIKEL TERKAIT

Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret Dokter Soetomo Dokter Gadungan Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI Panglima Alex Kawilarang dan Letnan Songong Buronan Singapura Lari Ke Gorontalo Jenderal Yani Memiting Anaknya