Masuk Daftar
My Getplus

Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI

Kasih tak sampai. Begitulah kisah cinta antara Ramonah, warga Siaua, Sumatra Barat dengan Umar, juru radio AURI.

Oleh: Petrik Matanasi | 22 Jan 2024
Umar Said Noor, salah satu juru radio AU di Sumatra Barat semasa PDRI. Mendapatkan cinta di pedalaman Sumatra. (Ilustrasi: Yusuf "Gondrong"/Historia)

Belum juga rampung kursus kepolisian yang diadakan pimpinan Angkatan Udara Republik Indonesia, Opsir Muda Udara III (setara Pembantu Letnan) Umar Said Noor dan beberapa rekannya malah ditugaskan ke Sumatra. Para siswa itu baru belajar tiga bulan. Padahal rencananya kursus itu akan diadakan enam bulan. Kala itu Sumatra sedang butuh personel.

Untuk menuju Bukittinggi, Umar dkk. naik pesawat amfibi Catalina (RI-005) dari Campurdarat di pesisir selatan Tulungagung, Jawa Timur. Pilot pesawat itu seorang Australia bernama Cobley dan teknisinya seorang Manado bernama belakang Londa. Setelah perjalanan panjang, pesawat itu mendarat di Danau Singkarak. Mereka tiba tepat tanggal 17 Agustus 1948.

Umar –kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah pada 24 Maret 1924– kemudian menuju ke lapangan terbang Palmerah di Jambi. Selanjutnya, sejak 28 Agustus 1948 dia menjadi operator stasiun radio AURI di pangkalan udara tersebut. Tugas pentingnya adalah mengirim berita-berita rahasia dari Jambi ke pusat pemerintahan di daerah lain.

Advertising
Advertising

Namun dia tidak lama bertugas di sana. Tentara Belanda keburu menyerbu Jambi. Lari bersama peralatan radio adalah jalan terbaik dalam perjuangannya sebagai kru radio AURI. Namun Tak semua alat perjuangan bisa selamat.

Menurut Soewardi Idris dkk. dalam Pengalaman Tak Terlupakan Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau, pesawat yang dipiloti Cobley ketika serangan Belanda itu terjadi sedang berada di Jambi. Ketika hendak meninggalkan Jambi pada 29 Desember 1948, pesawat itu  terkena benturan benda keras saat akan lepas landas. Akibatnya, kata buku Sejarah TNI Angkatan Udara: 1945-1949, pesawat carteran itu tenggelam di Sungai Batanghari. Pilot RR Cobley dan Opsir Muda Udara I JN Londa terbunuh dalam peristiwa tersebut.

Sementara, Umar bergerilya dengan Sawir, Sjarkawi, Sawal Wahidin, Sriyono, Zainal Abidin, Nuainah, Zubaidah, Tondowibowo dan lain-lain. Dari Jambi mereka berjalan kaki Sumatra Barat. Selain menyusuri hutan, mereka juga memasuki banyak kampung. Penduduk kampung yang mereka singgahi biasa memberi mereka makan.

Jelang tahun baru 1949 dijalani Umar dan kawan-kawan dengan berperjalanan ke Desa Merlung.  Mereka melewati Desa Sangeti. Tepat tahun baru 1949, mereka berada di tengah kebun singkong milik transmigran dari Tegal.

Di masa gerilya itu Umar berperan penting lantaran terlibat dalam komunikasi antara Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat dengan para pemimpin lain Republik Indonesia (RI) di luar Sumatra, termasuk perwakilan RI di India maupun petinggi militer yang sedang gerilya di Jawa. Selain untuk mengkoordinasi perjuangan, komunikasi tersebut menjadi bukti RI masih eksis walau Sukarno-Hatta dan para pejabat teras lain ditawan tentara Belanda.

Salah satu peran terpenting jaringan radio AURI (kini TNI AU) di masa clash ke-2 itu adalah penyiaran Serangan Umum 1 Maret 1949. Siaran itu dilakukan oleh stasiun radio “PC2” di Gunungkidul, Yogyakarta.

“PHB AURI di Playen, Wonosari pada tanggal 2 Maret dini hari, memberitahukan kepada PHB AURI di Bukittinggi bahwa pada tanggal 1 Maret, Yogyakarta diduduki kembali oleh TNI. Berita langsung dikirikm ke Takengon, Aceh. Selanjutnya diteruskan ke Rangoon, Burma. Sore harinya, Kusnadi dan kawan-kawan sudah mendengar berita tersebut disiarkan oleh Radio di New Delhi, All India Radio menyiarkan berita kemenangan ini ke seluruh penjuru dunia, hingga sampai ke PBB,” tulis Irna Hanny Nastoeti dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950.

Untuk bisa terus menyiarkan berita kondisi tanah air dalam masa perjuangan itu, para awak radio rutin berpindah dari satu kampung ke kampung. Sebagaimana Opsir Oedara III Boediardjo di pedalaman Yogyakarta, Umar pun berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di Sumatra Barat dan sekitarnya.

Pengalaman tidak terlupakan yang dialami Umar di masa gerilya itu terjadi di Desa Siaua, pedalaman Sumatra Barat. Desa ini aman dari jangkauan tentara Belanda. Lantaran cukup lama di desa ini, Umar dkk. tentu berinteraksi dengan penduduk desa ini. Termasuk dengan Ramonah, gadis yang lirikannya mengaduk hati Umar. Pemuda Umar yang masih berusia 25 tahun ini pun jatuh cinta kepadanya.

Suatu hari, sebuah bingkisan datang kepada Umar dengan diantar oleh dua anak kecil.

“Dari siapa ini?” tanya Umar, dikutip buku berjudul Pengalaman Tak Terlupakan Pejuang Kemerdekaan Sumbar-Riau.

“Dari Uni Monah, Ramonah,” jawab anak itu, “untuk Bapak Umar.”

Setelah itu, Umar dan Ramonah sering bertemu di tepi kolam, sebuah tempat umum yang terbuka. Tak ada yang mereka sembunyikan dari orang lain. Dalam pertemuan-pertemuan itu, mereka biasa membicarakan soal apa saja.

Suatu hari, rombongan Umar diundang ke rumah keluarga Ramonah. Di rumah Ramonah, Umar salah tingkah ketika acara makan. Kegugupannya itu membuat Umar susah membedakan mana air kobokan dan mana air minum. Umar mengira air minum sebagai air kobokan untuk cuci tangan.

“Habis, kamu pikirkan Ramonah,” kata kawan-kawan seperjuangannya meledek Umar.

Setelah acara makan itu, rombongan pulang ke pondokan mereka. Umar diantar Ramonah ke pintu. Ramonah rupanya ingin mengatakan sesuatu.

“Hati-hati di jalan. Dan maaf, tadi aku menumpahkan air di depan Bapak,” kata Ramonah.

“Ah tentu saja kumaafkan seribu kali. Ini justru kenangan yang tak mungkin terlupakan. Akan kutulis dalam buku kenanganku kemudian hari,” jawab Umar yang tak melupakan peristiwa itu.

Lebih dari 42 tahun kemudian, Umar tetap tak bisa melupakannya. Pada 1991, Umar sudah menjadi bapak lima anak dan suami dari Suratmi. Pada tahun itu, Umar diajak Marsekal Sibun (Kepala Staf Angkatan Udara waktu itu) ke Paraklubang. Di sana Umar bertemu warga Sumpukuduih. Rupanya mereka ini tahu siapa Ramonah ketika Umar bertanya tentang Ramonah dari Desa Siaua itu.

“O, gadis yang jatuh cinta pada orang radio di Gaguak itu?”

“Orang radio itu adalah saya,” jawab Umar.

Orang-orang yang mendengar percakapan itu bersorak. Mereka lalu bercerita bahwa Ramonah telah menikah setelah Umar dan kawan-kawan diperintahkan bertugas di daerah lain. Namun, Ramonah yang ditanyakan Umar ternyata sudah tutup usia beberapa tahun sebelum 1991. Umar pun sedih mendengarnya. Dia pun berdoa agar Ramonah diterima disisi-Nya.

TAG

pdri perang kemerdekaan agresi militer belanda

ARTIKEL TERKAIT

Ketika Insinyur Jadi Menteri Kesehatan Lika-liku Opsir Luhukay Bela Negara dari Belantara Minangkabau Museum PDRI Riwayatmu Kini Menanti Museum PDRI yang Tak Kunjung Berdiri Jalan Panjang Menuju Museum PDRI Mangkraknya Museum Kami Sjafruddin Prawiranegara: Sebenarnya Saya Seorang Presiden Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi